Halaman

Minggu, 26 November 2017

BFF - Does It Exist? (Bab VI - Sahabat Jadi Cinta)

Strangers

Sebelumnya aku pernah berkata tentang persahabatan lelaki dan perempuan tidak selalu ada rasa yang terlibat. Iya, itu antara aku dan Dedi, tapi tidak antara aku dan Iwan. Iwan, sangat dekat dengan Dedi, dan aku sangat dekat dengan Dedi juga, mau tidak mau kami sering bersama. Sebenarnya aku tidak secara langsung dekat dengan Iwan, aku hanya pergi ke mana Dedi pergi, sayangnya Dedi selalu pergi dengan Iwan, jadilah kami bertiga sering bersama.
Seperti yang aku katakan, aku dan Iwan tak pernah benar-benar dekat sebagai teman dekat. Bahkan aku sempat tak suka dengannya saat pertama bertemu di OSPEK. Iwan, pria berkulit sawo sangat matang (Hahaaa), cukup tinggi, dan kurus. Sebagai sesama mahasiswa baru kami tak saling mengenal, aku tak berusaha mengenalnya, begitu pula dia.
“Heh, titip salam buat temenmu.”
“Ha? Siapa?”
“Cici, itu yang cantik, putih. Yang giginya gingsul.”
“Oh, iya.”
Itulah percakapan pertama kami saat OSPEK sesi Fakultas. Aku pikir, ini anak pasti playboy, sukanya sama cewek-cewek cantik, putih, gigi gingsul, rambut lurus teruari, badan langsing, agak pendek, imut-imut, ya cewek masa kini lah. Euwh, cowok alay, gondes, yang dicari dari perempuan adalah fisiknya. Berasa ingin muntah aku mengingatnya.

Saat OSPEK sesi Jurusan, tak tahunya dia, si Iwan, satu jurusan denganku, hadeeeeh. Kegiatan kami di sebuah aula dengan tempat duduk dibagi dua sisi, berhadap-hadapan. Dan ternyata si playboy ini duduk berhadapan denganku. Dari apa yang aku deskripsikan tentangnya, tentu dia tidak akan ada rasa suka denganku yang biasa-biasa saja ini. Tapi anehnya, sepanjang acara dia terus-terusan menatap  ke arahku. Entah ini memang karena kami berhadapan atau bagaimana, yang jelas aku merasa sangat tidak nyaman.
Matanya begitu tajam menatap. Beberapa kali aku balas menatap tapi dia tidak mengalihkan pandangannya. Sebentar, ini bukan seperti tatapan suka, tapi tatapannya seperti tatapan penasaran dan lama-lama seeprti penjahat yang menatap bagaikan mengancam ingin membunuh seseorang di hadapannya. Anak ini pasti gila, hiiiii, aku tak sukaaa.
Beberapa waktu berlalu, ternyata dia masuk ke kelompok heboh, dan ternyata dia dekat dengan Dedi, di mana aku juga sejak awal dekat dengan Dedi. Tapi aku tak pernah terlalu suka dengannya walau kami satu gerombolan, terlebih di awal-awal dia dekat dengan Nana. Nana yang pernah menajdi teman dekatku. Aku tak mau ikut campur dengan hubungan mereka. Yang jelas yang aku tahu Nana banyak merasa tak senang saat dengan Iwan.
Singkat cerita aku, Dedi, dan Iwan banyak menghabiskan waktu bersama, khususnya di secretariat HMJ. Kali ini Iwan punya pacar, Ica, kakak tingkat dari jurusan lain. Dan aku, aku masih menjalin hubungan dengan Anton. Hari demi hari kami bersama, Iwan bukan sosok mahasiswa pintar yang bisa mengerjakan tugas sendiri, aku sebagai teman kadang berusaha membantunya. Selain urusan organisasi, tugas, kami sering makan bersama, bertiga tapi.
Aku dan Iwan terlihat dekat, sampai aku juga dekat dengan Ica, pacarnya. Tadinya biasa-biasa saja, sampai akhirnya terlihat bahwa Ica gampang cemburu melihat Iwan memang punya potensi playboy.
“Davina, kalau Iwan macem-macem bilang aku ya.”
“Siap mbak.”
Ica tahu bahwa aku sering bersama Iwan, di sini bukan dia yang cemburu padaku, tapi justru dia hanya percaya padaku, melihat ada sejarah beberapa mahasiswi sekelas yang pernah didekati Iwan, Ica hanya percaya padaku. Dengan begitu ke manapun kami pergi ramai-ramai, mau tidak mau Iwan hanya bisa dekat denganku, jika Ica tahu Iwan dekat dengan yang lain dia bisa marah.
Dengan dekatnya kami karena keadaan, aku mulai merasa dekat pula dengan Iwan, tetap, sedekat apapun aku tak suka curhat. Tapi kali ini dia yang mulai curhat. Lama-lama dia curhat tentang Ica yang sepertinya dekat dengan orang lain. Aku, hanya bisa mendengarkan dan sesekali menanggapi, tak lebih.
Berawal dari curhat itu Iwan semakin berubah. Dia jadi lebih sering ingin berdua denganku saja, tidak dengan Dedi, padahal kami biasa bertiga. Aku mulai mencium bau-bau tak sedap di sini, haduuuuuh, kenapa ini anak. Bahkan dia mulai intens chat denganku. Tak lama kemudian Iwan berkata bahwa dia dan Ica sudah putus karena terbukti Ica punya gandengan lain. Aku mulai berpikir keras, apa-apaan ini. Dan aku, aku selalu tak bisa menolak jika seseorang butuh bantuan, aku sepertinya terlalu baik, tunggu, terlalu baik dan goblok mau dimanfaatkan sepertinya beda tipis.
“Davinaa, Iwan mana?”
“Lhah, mana ku tahu, emang aku emboknya ?”
“Ya kan biasanya di mana ada kamu ada dia.”
“Hish, apa sih.”
“Beneran ini, aku ada perlu sama dia.”
O o o u, sekarang gossip sudah mulai merebak. Sepertinya satu kampus mulai berpendapat bahwa kami ada apa-apa. Tapi aku kan ada Anton, ya meskipun tak ada yang tahu aku tak jomblo. Iwan sendiri lucu, dia jelas-jelas tahu aku ada Anton, kenapa dia tetap mendekatiku?
“Berangkat kuliah sama siapa?”
“Biasa, sendiri. Kenapa Wan?”
“Aku jemput ya.”
Anak-anak kelas mulai memandangku dengan pandangan sinis saat tahu aku dan Iwan datang bersama. Ya jelas, mereka tahu aku ada pacar di sana. Tapi saat di kelas kami berusaha bersikap seperti biasa. Kami tak terlalu terlihat bersama, bahkan Iwan seperti dengan sengaja mengeluarkan jurus ganjennya pada anak-anak yang lain. Tapi lama-kelamaan kenapa aku merasa tak suka saat dia menggoda yang lain? Lhoh, ada apa ini denganku?
“Makan yuk.”
“Makan apa?”
“Bakmi Jawa mau? Aku bungkusin nanti di maem di kos.”
“Boleh. Ati-ati Wan.”
Yak, aku sepertinya mulai merasa nyaman dengannya, sepertinya aku mulai berbuat tak baik. Di satu sisi, seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku dan Anton hampir setiap hari dan  hampir setiap hari pula aku harus menangis sendiri di kamar karena pertengkaran kami. Di sisi lain ada Iwan yang semakin menunjukkan bahwa dia care padaku.
Kami tak pernah mengatakan kepada satu sama lain jika kami suka atau sayang, kami hanya terus berjalan seperti biasanya. Aku mulai tak suka saat Iwan ganjen di hadapanku, ini, aku rasa ini tanda aku mulai suka dengannya. Akhirnya beberapa dari kami pun mulai mencium kedekatan kami, namun tak ada dari mereka yang berusaha memisahkan kami atau berusaha mengingatkan bahwa aku punya Anton. Aku rasa mereka pikir kami cukup dewasa untuk mengelola hati.
“Aku diare Ton, sakit banget, lemes.”
“Ya ampun, minum oralit, tetep makan ya.”
Saat itu aku sakit, dan tentu orang sakit butuh diperhatikan dan dirawat. Anton masih sangat sayang dan peduli padaku, meskipun kami setiap hari bertengkar. Entah bagaimana mendefinisikan hubungan ini. Aku sendiri bingung dengan kondisi saat ini.
“Tak belikan makan ya, tak anter sekarang ke kos.”
“Iya, makasih ya Wan, ati-ati.”
Yak, di satu sisi ada yang perhatiannya lebih nyata padaku. Aku tahu Anton jauh, tapi kondisiku saat ini sedang butuh yang ada di sampingku. Tapi ternyata tiba-tiba Anton mengirim pesan.
“Aku udah mau nyampe kota mu, mau nitip dibeliin apa?”
“Ha? Kapan berangkatnya?”
“Tadi buru-buru, gak sempet bilang.”
“Gak usah, udah beli maem. Nitip oralit aja.”
Matih, sebentar lagi Iwan datang dan Anton tiba-tiba juga hampir sampai. Aku benar-benar deg-deg an saat itu, bagaimana jika mereka datang bersamaan? Bisa berantakan semuanya. Namun untungnya Iwan datang lebih dulu.
“Makasih Wan ya. Tapi gak usah mampir gakpapa? Anton mau ke sini ternyata.”
“Oh, iya, gakpapa. Di makan dulu, aku pulang.”
“Ati-ati ya, makasih.”
Heuh, untung saja kali ini nasib masih berpihak padaku. Dengan kondisi lemas aku menunggu Anton di ruang tamu kos. Dia pun datang dengan jas hujan abu-abunya, karena hari itu sedang hujan. Aku tak menyangka Anton datang, biasanya sesakit apapun aku dia tak pernah datang, paling hanya mengingatkan atau minta tolong temanku untuk datang menemaniku. Tapi kali ini berbeda.
“Makasih ya udah dateng ngrawat aku.”
“Iya, mumpung weekend juga, sakitmu pas banget hari libur.”
“Hahahaaa…”
Tapi beberapa waktu kami bersama, entah bagaimana kami tiba-tiba mulai beradu mulut. Suasana mulai tegang, kami mulai bertengkar. Sedang aku masih dalam keadaan lemas. Gila, dalam kondisi seperti ini kami masih bisa bertengkar.
“Kalau kamu datng cuma mau ngajak berantem, sana pulang!! Aku gak butuh!!”
“Kamu ini udah didatengin jauh-jauh bukannya terima kasih.”
“Buat apa terima kasih kalau cuma diajak berantem?!”
“Arghhh.”
“Apa?! Apa?! Males, pusing kepalaku. Tahu orang sakit tetep egonya nomer satu.”
Keesokan harinya dia pulang. Meski pertengkaran sudah berakhir, taoi aku tak habis pikir hal itu bisa terjadi. Dia sama sekali tak bisa melihat keadaan dan mengontrol emosinya di saat yang tepat. Singkat cerita, seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, aku dan Anton putus.
Aku tak langusng menceritakan hal itu pada Iwan, kami hanya terus berjalan seperti biasanya sampai akhirnya dia tahu juga. Tapi dengan putusnya aku tak ada gerak-gerik dia ingin menyatakan cintanya padaku. Sampai suatu saat aku tahu dia sedang dekat pula dengan orang lain. Sakit rasanya, dan aku marah, lalu dia meminta maaf.
Sampai suatu hari seseorang datang, Arya, nanti akan kuceritakan tentangnya. Yang jelas aku dan Arya semakin dekat, sampai akhirnya dia berani menyatakan perasaannya padaku. Kuceritakan bahwa posisiku saat ini sedang dekat dengan seseorang, dan mantan masih terlihat berusaha mendekati. Tapi Arya dengan mantab tetap ingin denganku.
Aku sepertinya memang tak bisa sendiri, aku merasa aku terlalu rapuh untuk sendiri. Aku tak lagi memikirkan Anton, aku terlalu sakit dan tak ingin kembali dengannya, yang aku pikirkan Iwan. Sebenarnya bagaimana perasaannya padaku? Aku bingung jika terus digantung, sementara di sini muncul orang baru yang menawarkan rasanya padaku. Tak berpikir lama aku mengiyakannya. Sedangkan Iwan, aku masih bingung dengannya.
Rasaku kepada Iwan nyata, aku sayang, tapi aku tak bisa jika harus digantung. Lebih dari teman, lebih dari teman dekat, tapi bukan yang tersayang, di mana posisiku? Sampai akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. Meskipun aku telah mengiyakan Arya, tapi aku tetap berusaha mencari kejelasan, karena aku tahu dia akan berkata tidak jika aku meminta kejelasan hubungan. Ini hanya strategi untuk menyudahi semua ini.
“Kita ini sebenarnya gimana Wan?”
“Ya gini ini. Cinta kan tak harus memiliki?”
What?!”
“Ya mau kamu sama siapa aja aku tetep pengen kita dekat.”
“Kenapa kalau sayang gak jadian aja?”
“Gak, aku belum siap.”
Gila kayaknya ini orang, dia mau jadi selingkuhanku selamanya? Di mana harga diriku jika aku harus mengkhianati banyak orang. Aku tidak bisa terus begini, memang aku belum mantab dengan Arya, tapi aku tidak mau menyakitinya. Jadi aku beri pilihan yang sudah aku tahu jawabannya, jadian atau udahan. Dan ya, dia memilih pilihan yang kedua.
Setelah itu, kami begitu jauh. Bahkan untuk memandang saja tak pernah, seperti orang yang tak lagi saling kenal. Di mana ada aku, tak mungkin ada dia, Iwan selalu menjauhiku. Iya, karena perasaan, persahabatan yang sempat ada langsung rusak.
Wait, jika kalian bingung, bukankah seharusnya ini menjadi cerita tentang sahabat, kenapa sekarang menjadi tentang cinta? Aku hanya ingin menyampaikan, berhati-hatilah dengan hubungan yang kalian katakana sahabat, dan hati-hatilah dengan perasaan kalian. Jika salah dalam megatur hati, tak hanya cinta yang hilang, sahabat juga akan hilang. Lagi, selain itu, berhati-hatilah kalian para perempuan. Mereka yang datang dan ingin mendekatimu bisa saja berkedok sebagai sahabat, padahal niatnya karena ingin mendekatimu atau memanfaatkanmu saja.
Aku tak tahu Iwan yang mana, sahabat jadi cinta, atau cinta berkedok sahabat. Aku tak lagi mau tahu, yang jelas kami sekarang begitu aneh. Saling menjauh, tapi seperti tak ingin mengakui apa yang pernah ada.

Berhati-hatilah menata hati…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar