lol |
“Kamu
nungguin siapa sih? Dari tadi lingak linguk gak jelas.”
“Sahrul
Mi.”
“Sahrul
sapa lagi? Hmmmm”
“Anu,
panjang ceritanya. Besok-besok aja aku ceritain. Itu anaknya udah dateng,
duluan ya Mi.”
“Iya
wes, hati-hati.”
Hari
itu hari pertama masuk kuliah setelah satu setengah bulan KKN dan satu setengah
bulan berikutnya PPL. Akhirnya bisa merasakan kampus lagi dan mereka-mereka
lagi. Ya, meski aku belum menemukan sosok sahabat dari mereka, setidaknya aku
bisa mereka buat tertawa setiap harinya.
Sejauh
ini, entah sudah berapa kali kami bongkar pasang anggota sampai akhirnya di
semester-semester akhir ini kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama-sama,
seluruh anggota kelompok heboh, termasuk Risma.
Masih
ingat Risma kan? Iya, gadis yang saat awal OSPEK tidak begitu aku suka, dan
akhirnya justru dekat denganku, sangat dekat. Dan dari pengalaman-pengalaman
sebelumnya, yang sangat dekat justru berakhir sangat jauh. Saat itu aku
berpikir, bisa jadi hal yang sama terulang lagi, aku tidak mau menganggapnya
terlalu dekat, hanya saja jika memang dia membutuhkanku aku akan berusaha
selalu ada. Yak, aku seperti biasa.
Jika
mengingat tentang perjalananku dengan Risma, sangat panjang. Hampir setiap hari
aku bersamanya. Dari duduk selalu bersebeahan di bangku paling depan saat
kuliah, makan siang bersama, nongkrong bersama, jalan-jalan bersama, dan bahkan
dia menginap di tempatku. Cerita-cerita drama kehidupannya selama bersamaku aku
tahu. Saat dia butuh aku usahakan selalu membantu. Kembali saat kami masih
sangat dekat dulu.
*Tok
… Tok… Tok…*
“Mii…..”
“Yaaa
bentaaar.”
“Mii….”
“Rismaaa.?!
Kamu ngapain malem-malem ke sini? Kamu ngapain bawa-bawa koper segala?! Kamu
nangis?! Masuk dulu.”
Malam
itu Risma datang membawa koper berisi pakaian. Aku bingung ada apa, dan dia
hanya menangis pelan. Aku sendiri adalah tipe yang tak suka ditanya-tanya saat
sedang dalam keadaan tertekan atau terpukul, jadi aku coba diamkan saja dia,
aku minta dia untuk menata barangnya dan segera beristirahat.
Keesokan
harinya Risma bangun dengan mata bengkak akibat menangis semalam. Kuajak dia
sarapan, dan saat di tempat makan dengan sendirinya dia bercerita. Dia
bertengkar dengan keluarganya, dengan ayah tirinya dan ibunya. Entah seperti
apa pertengkaran mereka, ceritanya tak begitu jelas, yang jelas ia akhirnya
memutuskan untuk pergi dari rumah.
“Sampe
kapan?”
“Gak
tau Mi, kenapa? Aku gak boleh nginep sini ya?”
“Bukan
gitu, nginepnya si boleh, sampai kapanpun boleh. Yang gak boleh itu kamu gak
cepet baikan sama ibumu.”
“Iya
sih Mi, tapi aku masih sebel banget. Jangan bilang ibuku ya Mi kalo aku di sini.’
“Lha
kalo aku ditanya pie jawabnya? Nanti malah tambah khawatir.”
“Trus
gimana Mi?”
“Bilang
aja, kamu di tempatku, belum mau pulang, gak usah dicari.”
Dan
akhirnya beberapa waktu berlalu, sekitar dua minggu Risma di tempatku.
Sebenarnya aku tak masalah, aku hanya tak enak hati dengan ibunya. Sampai
akhirnya Risma memutuskan untuk pulang. Dia berubah pikiran setelah pulang dari
kencan dengan Wisnu, pacar barunya, entah apa yang dikatakannya tapi syukur
jika Risma sudah mau pulang.
Sebenarnya
hidup Risma cukup penuh dengan drama. Aku tak begitu paham karena aku tak
pernah suka bertanya dan seolah ingin tahu kehidupan orang lain. Yang aku tahu,
ayah ibunya bercerai, dari ayah kandungnya dia memiliki serang adik laki-laki,
lalu ibunya menikah lagi dan memiliki dua orang adhik. Kehidupan percintaannya
juga sedikit berliku-liku, mulai dari yang terlalu posesif, dijodohkan dengan
orang yang tidak ia suka, saat ia mulai suka justru yang dijodohkan dengannya
tak lagi suka, berganti-ganti dan dekat dengan beberapa lelaki entah siapa saja
aku tak kenal dan tak paham. Sampai akhirnya ia menyebut nama Sahrul.
“Jadi
gini Mi, kita tu KKN nya satu desa, dia temennya temenku.”
“Trus
kalian kenalan trus kalian pedekatean trus kalian jalan dan trus kalian
jadian?”
“Hehee,
ya gitulah. Dia orangnya agak keras, tapi dia orang baik.”
“Ya
syukurlah, semoga cocok.”
Perubahan
mulai terlihat sejak Risma bersama Sahrul. Dia semakin tak banyak bisa
menghabiskan waktu dengan kami-kami. Awalnya aku merasa hal itu wajar saja,
mereka kan baru pacaran, ya maklum lah kalau ingin banyak menghabiskan waktu
bersama. Sampai setiap aku mengajak Risma makan siang maka Sahrul pasti
diajaknya. Okelah, aku masih berpikir positif, ya mereka mungkin ingin makan
bersama juga jadi sekalian saja.
“Ayo
nonton. Anak-anak ngajak nonton.”
“Aku
tanya Sahrul dulu ya Mi dia mau apa gak.”
“He?”
“Kalau
dia mau nanti aku ikut juga, aku ajak dia.”
“Ooh,
oke, ajak aja, gakpapa.”
Sampai
setiap ada Risma maka Sahrul selalu menjadi buntutnya. Ini mulai aneh, aku juga
punya pacar, tapi kami punya kehidupan yang lain juga, ada kalanya kami tak bersama
dan berkumpul dengan teman masing-masing. Tapi mereka berdua selalu bersama.
Risma tak bisa pergi tanpa ijin Sahrul, dan jika Sahrul mengijinkan itu artinya
dia juga ikut bersama Risma. Apa mereka berdua ini tidak bosan selalu bersama?
Tapi yasudahlah, mungkin saking cintanya hingga ingin selalu berdua.
“Rismaa,
besok ayo jalan yok. Bakal bosen banget, si Arya seharian ada acara.”
“Boleh
boleh. Tapi nanti kamu jam 17.00 WA aku ya, bilang kalo kamu minta anterin ke
terminal karena mau pulang.”
“Heee?”
“Iya,
kalo cuma jalan mana boleh aku pergi.”
“Oalah,
iya deh, terserah aja.”
“Okesipp.”
Mulai
lebih aneh lagi. Tidak sekali dua kali kami membuat scenario dan diminta
berbohong agar kami bisa pergi bersama, atau kadang agar Risma bisa pergi
dengan teman-temannya yang lain tanpa harus diikuti Sahrul. Mengapa dia harus
berbohong? Karena Sahrul over protective.
Tak jarang katanya Sahrul marah-marah dan mereka bertengkar hebat saling
meneriaki, apalagi mereka berdua sama-sama keras. Jika hari ini Risma curhat
panjang lebar tentang bagaimana ia tak suka sifat Sahrul, keesokan harinya
mereka bisa terlihat begitu mesra di kantin. Bukankah mereka sudah cukup dewasa
untuk tak bersifat aneh seperti itu. Aneh memang, tapi biarlah. Mereka sendiri
yang menjalani.
“Kamu
sakit?”
“Aku?
Gak kok Mi, aku sehat.”
“Lha
itu background fotomu kayak situasi
rumah sakit.”
“Haha,
aku kan orang kaya, aku bisa ngrubah kamarku jad situasi apapun yang akum au termasuk
rumah sakit.”
“Hiih.”
Aku
yakin dia sedang dirawat di rumah sakit. Saat itu beberapa waktu setelah kami
wisuda bersama, dan tiba-tiba setelah itu kami tak sesering dulu bertemu,
bahkan berkomunikasi pun jarang, Risma pun jarang nimbrung di grup juga. Aku
jadi bingung, dia begitu sering update
bahwa dia seperti sedang sakit, seperti sedang di rumah sakit, tapi mengapa dia
tak mau menjawab?
“Sahrul,
apa kabar?”
“Baik
Mi. Kamu?”
“Baik
juga. Gak jadi pulang ke Padang?”
“Belum
Mi. Ini masih persiapan.”
“Persiapan?
Waaaah, tanggal berapa? Kok gak bilang-bilang sih, aku bisa bantu apa?”
“Hehee,
nanti pasti dikabari, rencananya bulan depan.”
Karema
penasaran dengan keadaan Risma aku WA si Sahrul, tapi pembicaraan kami justru
tentang mereka yang katanya sedang persiapan menikah, dan akhirnya aku tidak
jadi menanyakan keadaan Risma.
Beberapa
hari kemudian Risma mulai update
bermain-main di beberapa tempat dengan Sahrul. Ooh, berarti dia sudah sembuh,
syukurlah, meski aku tak tahu apa sakitnya yang penting dia sudah sembuh
sekarang. Sampai akhirnya lagi-lagi dia melakukan hal yang sama, update
menunjukkan bahwa dia sedang sakit. Tapi ketika ditanya, jawabnya sama
saja, tak mengaku. Pikirku, kenapa dia harus menunjukkan pada dunia bahwa dia
sedang sakit tapi tak mau menjawab jika benar-benar ditanya?
“Kamu
sakit?”
“Aku
sehat Mi.”
“Hih,
percuma tanya sama kamu.”
“Hehee,
gakpapa Mi.”
“Kamu
dirawat di mana?”
“Gak
boleh dijenguk Mi, cuma boleh ditunggu satu orang, Sahrul gentian sama ibu.”
Aku
bingung, sakit apa anak ini sampai tak boleh dijenguk. Aku rasa orang sakit
parah pun boleh dijenguk. Ada apa ini? Kenapa ditutup-tutupi? Aku coba bertanya
pada Sahrul dan ibunya, jawabnya sama saja. Tapi dari Sahrul aku tahu di mana
Risma dirawat, hanya saja tetap tak dijawab ada di ruang mana, tak boleh
dijenguk katanya.
“Gais,
Risma dirawat di RS Kampus Gedhe.”
“Kok
tau Mi.”
“Sahrul
yang bilang. Tapi tetep gak dikasih tahu ruangnya, gak boleh dijenguk katanya.”
“Saki
tapa to kok sampe gak boleh dijenguk?”
“Gak
tau, gimana? Mau jenguk gak?”
Setelah
berdiskusi antara kawan-kawan perempuan, akmi memutuskan untuk mencari Risma di
RS Kampus Gedhe. Meski penuh keragu-raguan kami tetap berangkat. Yang membuat
kami ragu adalah kaliamat “Tak boleh dijenguk.”, kami tahu logikanya semua
orang sakit boleh dijenguk kecuali sedang dioperasi atau diisolasi, dan itu
pasti sakit parah, artinya kami berasumsi bahwa sebenarnya mereka tak mau kami
menjenguk. Tapi, kami masih berada di satu kota, lucu jika kami tak tahu
keadaannya, dan harus bersikap tak peduli, kami tidak terbiasa seperti itu.
“Sus,
atas nama Risma Putri Nita Sari dirawat di mana ya?”
“Ooh,
di bagian Maternal mbak.”
Kami
terkejut, bagian maternal bukannya bagian para ibu hamil? Entahlah, kami coba
cari gedungnya saja. Oiya, suster tidak bilang bahwa pasien ini tidak boleh dijenguk,
hmmmm. Sesampainya di bagian itu kami bertanya pada Pak Satpam tempat Risma
dirawat.
“Mari,
saya tunjukkan tempatnya.”
“Boleh
dijenguk Pak?”
“Boleh,
gakpapa, paling kalau ibu hamil cuma lagi sakit karena mau melahirkan, biasa.”
WHAT?!
Ini Pak Satpam gak salah ngomong apa, kami semua bingung harus berkespresi
seperti apa. Dan kami masuk ke bilik Risma, terlihat Risma terbaring dan Sahrul
di sampingnya menggenggam tangan Risma erat. Mereka kaget kami datang, kikuk
memang, tapi kami fokus pada Risma.
“Kamu
kenapa?”
“Pendarahan
Mi, gara-gara kepleset jatuh dari tangga.”
“Kok
bisaa, makannya jangan biayakan.”
“Aaahhhhh,
aduuuh….. aahhhh.”
Kami
tak banyak bercerita, lebih sering kami melihat Risma mengaduh merintih
kesakitan. Tak tega rasanya melihatnya seperti itu. Akhirnya kami putuskan
untuk menyudahi kunjungan, agar Risma bisa istirahat, harapan kami agar ia
lekas sembuh. Dan kami ke luar.
Banyak
pikiran-pikiran dan dugaan-dugaan. Tapi kami semua ingin selalu berpikiran
positif tentang satu sama lain. Jadi, biarlah, semoga dia selalu diberikan yang
terbaik. Aaaamiiiin.
Keesokan
harinya, kami kaget saat membuka Instagram
dan melihat update Risma sudah bisa
berjalan-jalan, tertawa-tawa, dan bercanda, dengan sahabat-sahabatnya sejak
masa sekolah. Oooh, syukurlah jika ia sudha sembuh. Tak lama kemudian Risma
mengirim pesan, dia bilang, entah mengapa setelah kami datang ia sangat
semangat bla..bla..bla.. dan intinya sudah pulih dan boleh segera pulang.
Tak
berapa lama, malam Kamis saat itu Risma mengirim pesan di grup kawan-kawan
perempuan. Dia memberitahukan bahwa besok pagi jam 07.00 dia akan menikah
dengan Sahrul di rumahnya, hanya syukuran, tak ada perayaan besar, tak apa jika
tak hadir. Undangan yang aneh, sangat mendadak. Tapi aku memutuskan untuk ijin
masuk kerja dan menghadiri pernikahan Risma. Aku pergi dengan Lia saat itu.
Dengan
membawa kado tak berarti kami datang, menyaksikan akad nikah mereka berdua. Begitu
mengharukan dan membahagiakan. Aku tak mengira mereka berani menikah begitu
cepat di usia yang sangat muda, bahkan saat keduanya belum memiliki pekerjaan.
Mereka percaya, rejeki sudah diatur dan bisa dicari.
“Rismaa,
anak-anak cewek mau kumpul nih, cuma sekedar temu kangen, udah jarang ketemu
kan soalnya.”
“Iya
deh nanti aku nyusul kalau Sahrul belum pulang kerja.”
“Oke.”
Setelah
wisuda dan beberapa dari kami sudah bekerja tentu kami tak bisa berkumpul
seperti dulu. Tapi paling tidak kami yang perempuan ini dan masih berada di
sini setidaknya masih terus menjalin silaturahmi dan komunikasi. Malam itu kami
janji untuk bertemu, Risma bilang dia akan menyusul. Tapi dia bilang suaminya
keburu pulang dan alhasil dia tak bisa datang.
Setiap
kami akan bertemu, entah mengapa dia selalu menolak dengan berbagai alasan. Aku
tak pernah mau memaksanya. Terakhir bertemu dengannya saat aku memaksa ingin
menginap di rumahnya dengan alasan Arya sedang pergi ke luar kota dan aku
bingung karena tak ada acara. Kami bercanda semalaman, bahkan dengan Sahrul
pula. Risma masih sangat sama, bedanya kali ini dia menyimpan begitu banyak
misteri yang tak aku tahu, dan aku tak ingin memaksa untuk tahu, biarlah itu
menajdi misterinya.
Kami
tak lagi banyak berkabar, yang aku tahu terakhir Sahrul bekerja di bagian
pemasaran, dan Risma diterima di sebua lembaga bimbingan belajar elit,
syukurlah pikirku. Tapi, beberapa waktu setelah itu, entah bagaimana tiba-tiba
Risma keluar dari grup kawan-kawan perempuan yang kami buat. Kami semua
terkejut dan bingung apa yang terjadi dan salah siapa. Aku? Aku tak ingin
bertanya, aku tak mau tahu, kami sudah dewasa, jadi pasti apapun yang dilakukan
ada alasannya dan aku tak mau mengganggunya.
“Mii,
aku kangen anak-anak, pengen rasanya kumpul-kumpul lagi.”
“Ya
kumpul to Yudh, kamu lho kalau teman-teman kumpul gak pernah ikut.”
“Aku
minder Mi, kalian udah pada kerja aku
masih nganggur.”
“Yudhaa,
katanya menyambung tali silaturahmi itu membuka pintu rejeki. Jangan gitu. Gak usah
minder.”
Yudha,
salah seorang teman, karenanya kami kemudian berkumpul di suatu malam. Temu kangen,
bercanda bersama, bertukar pikiran tentang banyak hal. Dan seperti biasa, semua
pertemuan selalu diakhiri dengan foto bersama, sebagai kenang-kenangan memori
yang pernah ada.
Keesokan
harinya, aku sengaja mengunggah foto kumpul semalam ke media sosial. Bingung caption apa, aku teringat ucapanku pada
Yudha sebelumnya.
*(Katanya)
Menyambung silaturahmi itu membuka pintu rejeki.*
Aku
pakai (katanya) karena aku lupa kalimat itu adalah sebuah hadist, atau ayat, atau
dari mana, aku tak sempat mencari, aku ingin cepat-cepat mengunggah foto kenangan
itu. Tapi saat aku melihat unggaha foto orang-orang lain, ternyata sebelum aku update Risma juga mengunggah fotonya
dengan sahabt-sahabatnya sejak masa sekolah dengan caption,
*Semakin
dewasa (seharusnya) semakin bisa memilih bergaul dengan lingkungan yang seperti
apa.*
Pertama-tama,
aku langsung merasa tersinggung, tidak hanya aku yang merasa tersinggung.
Ternyata yang lain juga merasakan hal yang sama. Ternyata saat dia selalu
menolak berkumpul dengan kami, dia berkumpul dengan temannya yang lain, dan
dari caption unggahan fotonya,
seolah-olah berkata bahwa kami ini lingkungan yang tidak baik baginya.
Setelah
itu aku langsung berpikir, jika dia melihat unggahan fotoku barusan celaka,
bisa jadi dia pikir aku berusaha membalas unggahannya. Dan terlambat, dia telah
melihatnya, dari notifikasi terlihat siapa saja yang telah melihat fotoku tadi.
Dan tak berapa lama dia mengunggah status,
*Menyambung
silaturahmi bukan satu-satunya jalan membuka pintu rejeki, nurut sama suami membuat
hidup lebih terarah. Oiya, sekarang kebiasaan di kantor kalau bikin arsip harus
ditandatangani, biar jelas, gak cuma katanya.*
Yakk,
sepertinya perang dingin dimulai. Anak-anak yang lain geram melihat apa yang
baru saja terjadi. Aku? Aku tak masalah jika harus kehilangan, aku selalu siap
kehilangan siapaun yang pernah datang. Tapi aku merasa sakit dengan apa yang
dia ucapkan. Kami memang tak tahu itu ditujukan sebenarnya untuk siapa, tapi
sebagai wanita kami tahu itu sangat terkait dengan kami, aku khususnya.
Entah
mengapa setelah kejadian itu setiap salah satu dari kami mengunggah sesuatu
atau membuat status tertentu, setelah itu pasti diikuti Risma dengan
status-statusnya yang terlihat begitu jahat dan seperti menyindir kami. Heran
aku, anak ini menjadi semakin caper. Aneh, sangat aneh, dan dia memang sudah
aneh sejak awal.
Semua
merasa sakit hati dan marah. Mereka marah lebih dari aku karena mereka melihat
hal ini tidak wajar, dia keterlaluan. Aku juga marah, aku curhat pada Arya, tapi
Arya dengan tegas memintaku untuk tak lagi peduli dengan Risma dan keluarganya.
Terakhir
kami tahu dari status Risma bahwa dia hamil dan sedang sakit. Aku, berusaha
menurunkan egoku dan menganggap tak terjadi apa-apa, aku menghubungi Sahrul dan
bertanya tentang Risma.
“Risma
sakit ya? Sakit apa?”
“Iya,
kecapekan.”
“Ya
ampun, jangan capek-capek, semoga cepat sembuh ya.”
“…”
Pesan
terakhirku hanya dibaca, tak terbalaskan. Jawaban awalnya pun sangat singkat.
Benar-benar aneh, yang lain justru marah melihat pesanku dengan Sahrul. Kami
bertekad, tak lagi kami peduli, jika ketika kami peduli justru ditanggapi
demikian. Terserah mereka berdua sekarang, kami tak mau tahu.”
“Kalau
nanti Risma melahirkan, kita jenguk gak gais?”
“Kalau
aku sih gak mau, males, bodo amat.”
“Uli
mah emang tegaan. Hahaa.”
Candaan
malam itu tiba-tiba teringat ketika suatu siang kami melihat unggahan layar
hitam dengan caption,
*See you in heaven sweetheart.*
Ya,
jelas bahwa Risma keguguran. Kali ini bukan lagi kami tak mau datang ke momen
melahirkannya, tapi bahkan kami tak akan bisa datang karena tak ada bayi yang
akan dilahirkannya. Sedih memang, kasihan, tapi kami takut sakit hati lagi jika
kami mulai peduli dan justru tak direspon positif. Kami hanya mendoakan semoga
adhek bayi bahagia, dan Risma sekeluarga selalu
diberi ketabahan dan kesehatan. Kami yakin meski hubungan kami tak lagi
baik tapi doa kami akan sampai.
Masih
tetap diam, tak ada komunikasi, tapi bedanya lama kelamaan tak lagi ada
status-status keras bernada menyindir. Kami mulai benar-benar hidup di dunia
masing-masing. Aku tak masalah, tak apa. Hingga akhirnya aku terpaksa ganti
nomor HP karena hangus lupa tak diisi pulsa. Aku langsung membuat status,
*Nomor
HP ganti, hangus, PM kalau butuh.*
Tiba-tiba
Risma komentar,
“Nomor
HP mu berapa Mi yang baru?”
“081223182293”
“Oke,
tak save ya, WA nya ini juga kan.”
“Iyess.”
Aku
sempat kaget, tiba-tiba dia berkomentar seakan tak pernah terjadi apa-apa di
antara kami. Sejak saat itu ketika aku membuat status yang mungkin membuatnya
menarik dia akan berkomentar. Tapi hanya sekedar komentar, tak pernah kami
berkomunikasi untuk benar-benar ingin tahu bagaimana kabar kami satu sama lain.
Tak
apa lah, aku cukup bersyukur, meski kami tak lagi dekat, yang penting tak lagi
saling bersitegang dan perang dingin. Mungkin kami belum berjodoh, aku selalu
sadar tentang hal itu, dan akan selalu siap akan kehilangan. Kali ini aku dapat
mengambil pelajaran, selama apapun kita berteman dan dekat dengan seseorang,
tak ada jaminan jika akhirnya bersikap bagai tak saling kenal, bahkan tanpa
masalah yang jelas. Dan satu lagi, tak masalah jika yang dulu dekat sekarang
menjadi jauh, selama tak ada masalah berarti di antara kalian yang menyakitkan
salah satu atau keduanya.
Risma,
tak apa jika kau lupa apa yang telah kita alami selama ini. Aku tak apa, aku
sudah siap bahkan jauh sebelum kita dekat. Yang jelas, do’aku, semoga kau
selalu diberi kesehatan, kelancaran, dan kebahagiaan bersama keluargamu.
Aaaamiiiin…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar