Halaman

Jumat, 01 Desember 2017

BFF - Does It Exist? (Bab VII - Broken Duet)

lol

“Kamu nungguin siapa sih? Dari tadi lingak linguk gak jelas.”
“Sahrul Mi.”
“Sahrul sapa lagi? Hmmmm”
“Anu, panjang ceritanya. Besok-besok aja aku ceritain. Itu anaknya udah dateng, duluan ya Mi.”
“Iya wes, hati-hati.”
Hari itu hari pertama masuk kuliah setelah satu setengah bulan KKN dan satu setengah bulan berikutnya PPL. Akhirnya bisa merasakan kampus lagi dan mereka-mereka lagi. Ya, meski aku belum menemukan sosok sahabat dari mereka, setidaknya aku bisa mereka buat tertawa setiap harinya.
Sejauh ini, entah sudah berapa kali kami bongkar pasang anggota sampai akhirnya di semester-semester akhir ini kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama-sama, seluruh anggota kelompok heboh, termasuk Risma.
Masih ingat Risma kan? Iya, gadis yang saat awal OSPEK tidak begitu aku suka, dan akhirnya justru dekat denganku, sangat dekat. Dan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, yang sangat dekat justru berakhir sangat jauh. Saat itu aku berpikir, bisa jadi hal yang sama terulang lagi, aku tidak mau menganggapnya terlalu dekat, hanya saja jika memang dia membutuhkanku aku akan berusaha selalu ada. Yak, aku seperti biasa.
Jika mengingat tentang perjalananku dengan Risma, sangat panjang. Hampir setiap hari aku bersamanya. Dari duduk selalu bersebeahan di bangku paling depan saat kuliah, makan siang bersama, nongkrong bersama, jalan-jalan bersama, dan bahkan dia menginap di tempatku. Cerita-cerita drama kehidupannya selama bersamaku aku tahu. Saat dia butuh aku usahakan selalu membantu. Kembali saat kami masih sangat dekat dulu.
*Tok … Tok… Tok…*
“Mii…..”
“Yaaa bentaaar.”
“Mii….”
“Rismaaa.?! Kamu ngapain malem-malem ke sini? Kamu ngapain bawa-bawa koper segala?! Kamu nangis?! Masuk dulu.”

Malam itu Risma datang membawa koper berisi pakaian. Aku bingung ada apa, dan dia hanya menangis pelan. Aku sendiri adalah tipe yang tak suka ditanya-tanya saat sedang dalam keadaan tertekan atau terpukul, jadi aku coba diamkan saja dia, aku minta dia untuk menata barangnya dan segera beristirahat.
Keesokan harinya Risma bangun dengan mata bengkak akibat menangis semalam. Kuajak dia sarapan, dan saat di tempat makan dengan sendirinya dia bercerita. Dia bertengkar dengan keluarganya, dengan ayah tirinya dan ibunya. Entah seperti apa pertengkaran mereka, ceritanya tak begitu jelas, yang jelas ia akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah.
“Sampe kapan?”
“Gak tau Mi, kenapa? Aku gak boleh nginep sini ya?”
“Bukan gitu, nginepnya si boleh, sampai kapanpun boleh. Yang gak boleh itu kamu gak cepet baikan sama ibumu.”
“Iya sih Mi, tapi aku masih sebel banget. Jangan bilang ibuku ya Mi kalo aku di sini.’
“Lha kalo aku ditanya pie jawabnya? Nanti malah tambah khawatir.”
“Trus gimana Mi?”
“Bilang aja, kamu di tempatku, belum mau pulang, gak usah dicari.”
Dan akhirnya beberapa waktu berlalu, sekitar dua minggu Risma di tempatku. Sebenarnya aku tak masalah, aku hanya tak enak hati dengan ibunya. Sampai akhirnya Risma memutuskan untuk pulang. Dia berubah pikiran setelah pulang dari kencan dengan Wisnu, pacar barunya, entah apa yang dikatakannya tapi syukur jika Risma sudah mau pulang.
Sebenarnya hidup Risma cukup penuh dengan drama. Aku tak begitu paham karena aku tak pernah suka bertanya dan seolah ingin tahu kehidupan orang lain. Yang aku tahu, ayah ibunya bercerai, dari ayah kandungnya dia memiliki serang adik laki-laki, lalu ibunya menikah lagi dan memiliki dua orang adhik. Kehidupan percintaannya juga sedikit berliku-liku, mulai dari yang terlalu posesif, dijodohkan dengan orang yang tidak ia suka, saat ia mulai suka justru yang dijodohkan dengannya tak lagi suka, berganti-ganti dan dekat dengan beberapa lelaki entah siapa saja aku tak kenal dan tak paham. Sampai akhirnya ia menyebut nama Sahrul.
“Jadi gini Mi, kita tu KKN nya satu desa, dia temennya temenku.”
“Trus kalian kenalan trus kalian pedekatean trus kalian jalan dan trus kalian jadian?”
“Hehee, ya gitulah. Dia orangnya agak keras, tapi dia orang baik.”
“Ya syukurlah, semoga cocok.”
Perubahan mulai terlihat sejak Risma bersama Sahrul. Dia semakin tak banyak bisa menghabiskan waktu dengan kami-kami. Awalnya aku merasa hal itu wajar saja, mereka kan baru pacaran, ya maklum lah kalau ingin banyak menghabiskan waktu bersama. Sampai setiap aku mengajak Risma makan siang maka Sahrul pasti diajaknya. Okelah, aku masih berpikir positif, ya mereka mungkin ingin makan bersama juga jadi sekalian saja.
“Ayo nonton. Anak-anak ngajak nonton.”
“Aku tanya Sahrul dulu ya Mi dia mau apa gak.”
“He?”
“Kalau dia mau nanti aku ikut juga, aku ajak dia.”
“Ooh, oke, ajak aja, gakpapa.”
Sampai setiap ada Risma maka Sahrul selalu menjadi buntutnya. Ini mulai aneh, aku juga punya pacar, tapi kami punya kehidupan yang lain juga, ada kalanya kami tak bersama dan berkumpul dengan teman masing-masing. Tapi mereka berdua selalu bersama. Risma tak bisa pergi tanpa ijin Sahrul, dan jika Sahrul mengijinkan itu artinya dia juga ikut bersama Risma. Apa mereka berdua ini tidak bosan selalu bersama? Tapi yasudahlah, mungkin saking cintanya hingga ingin selalu berdua.
“Rismaa, besok ayo jalan yok. Bakal bosen banget, si Arya seharian ada acara.”
“Boleh boleh. Tapi nanti kamu jam 17.00 WA aku ya, bilang kalo kamu minta anterin ke terminal karena mau pulang.”
“Heee?”
“Iya, kalo cuma jalan mana boleh aku pergi.”
“Oalah, iya deh, terserah aja.”
“Okesipp.”
Mulai lebih aneh lagi. Tidak sekali dua kali kami membuat scenario dan diminta berbohong agar kami bisa pergi bersama, atau kadang agar Risma bisa pergi dengan teman-temannya yang lain tanpa harus diikuti Sahrul. Mengapa dia harus berbohong? Karena Sahrul over protective. Tak jarang katanya Sahrul marah-marah dan mereka bertengkar hebat saling meneriaki, apalagi mereka berdua sama-sama keras. Jika hari ini Risma curhat panjang lebar tentang bagaimana ia tak suka sifat Sahrul, keesokan harinya mereka bisa terlihat begitu mesra di kantin. Bukankah mereka sudah cukup dewasa untuk tak bersifat aneh seperti itu. Aneh memang, tapi biarlah. Mereka sendiri yang menjalani.
“Kamu sakit?”
“Aku? Gak kok Mi, aku sehat.”
“Lha itu background fotomu kayak situasi rumah sakit.”
“Haha, aku kan orang kaya, aku bisa ngrubah kamarku jad situasi apapun yang akum au termasuk rumah sakit.”
“Hiih.”
Aku yakin dia sedang dirawat di rumah sakit. Saat itu beberapa waktu setelah kami wisuda bersama, dan tiba-tiba setelah itu kami tak sesering dulu bertemu, bahkan berkomunikasi pun jarang, Risma pun jarang nimbrung di grup juga. Aku jadi bingung, dia begitu sering update bahwa dia seperti sedang sakit, seperti sedang di rumah sakit, tapi mengapa dia tak mau menjawab?
“Sahrul, apa kabar?”
“Baik Mi. Kamu?”
“Baik juga. Gak jadi pulang ke Padang?”
“Belum Mi. Ini masih persiapan.”
“Persiapan? Waaaah, tanggal berapa? Kok gak bilang-bilang sih, aku bisa bantu apa?”
“Hehee, nanti pasti dikabari, rencananya bulan depan.”
Karema penasaran dengan keadaan Risma aku WA si Sahrul, tapi pembicaraan kami justru tentang mereka yang katanya sedang persiapan menikah, dan akhirnya aku tidak jadi menanyakan keadaan Risma.
Beberapa hari kemudian Risma mulai update bermain-main di beberapa tempat dengan Sahrul. Ooh, berarti dia sudah sembuh, syukurlah, meski aku tak tahu apa sakitnya yang penting dia sudah sembuh sekarang. Sampai akhirnya lagi-lagi dia melakukan hal yang sama, update  menunjukkan bahwa dia sedang sakit. Tapi ketika ditanya, jawabnya sama saja, tak mengaku. Pikirku, kenapa dia harus menunjukkan pada dunia bahwa dia sedang sakit tapi tak mau menjawab jika benar-benar ditanya?
“Kamu sakit?”
“Aku sehat Mi.”
“Hih, percuma tanya sama kamu.”
“Hehee, gakpapa Mi.”
“Kamu dirawat di mana?”
“Gak boleh dijenguk Mi, cuma boleh ditunggu satu orang, Sahrul gentian sama ibu.”
Aku bingung, sakit apa anak ini sampai tak boleh dijenguk. Aku rasa orang sakit parah pun boleh dijenguk. Ada apa ini? Kenapa ditutup-tutupi? Aku coba bertanya pada Sahrul dan ibunya, jawabnya sama saja. Tapi dari Sahrul aku tahu di mana Risma dirawat, hanya saja tetap tak dijawab ada di ruang mana, tak boleh dijenguk katanya.
“Gais, Risma dirawat di RS Kampus Gedhe.”
“Kok tau Mi.”
“Sahrul yang bilang. Tapi tetep gak dikasih tahu ruangnya, gak boleh dijenguk katanya.”
“Saki tapa to kok sampe gak boleh dijenguk?”
“Gak tau, gimana? Mau jenguk gak?”
Setelah berdiskusi antara kawan-kawan perempuan, akmi memutuskan untuk mencari Risma di RS Kampus Gedhe. Meski penuh keragu-raguan kami tetap berangkat. Yang membuat kami ragu adalah kaliamat “Tak boleh dijenguk.”, kami tahu logikanya semua orang sakit boleh dijenguk kecuali sedang dioperasi atau diisolasi, dan itu pasti sakit parah, artinya kami berasumsi bahwa sebenarnya mereka tak mau kami menjenguk. Tapi, kami masih berada di satu kota, lucu jika kami tak tahu keadaannya, dan harus bersikap tak peduli, kami tidak terbiasa seperti itu.
“Sus, atas nama Risma Putri Nita Sari dirawat di mana ya?”
“Ooh, di bagian Maternal mbak.”
Kami terkejut, bagian maternal bukannya bagian para ibu hamil? Entahlah, kami coba cari gedungnya saja. Oiya, suster tidak bilang bahwa pasien ini tidak boleh dijenguk, hmmmm. Sesampainya di bagian itu kami bertanya pada Pak Satpam tempat Risma dirawat.
“Mari, saya tunjukkan tempatnya.”
“Boleh dijenguk Pak?”
“Boleh, gakpapa, paling kalau ibu hamil cuma lagi sakit karena mau melahirkan, biasa.”
WHAT?! Ini Pak Satpam gak salah ngomong apa, kami semua bingung harus berkespresi seperti apa. Dan kami masuk ke bilik Risma, terlihat Risma terbaring dan Sahrul di sampingnya menggenggam tangan Risma erat. Mereka kaget kami datang, kikuk memang, tapi kami fokus pada Risma.
“Kamu kenapa?”
“Pendarahan Mi, gara-gara kepleset jatuh dari tangga.”
“Kok bisaa, makannya jangan biayakan.”
“Aaahhhhh, aduuuh….. aahhhh.”
Kami tak banyak bercerita, lebih sering kami melihat Risma mengaduh merintih kesakitan. Tak tega rasanya melihatnya seperti itu. Akhirnya kami putuskan untuk menyudahi kunjungan, agar Risma bisa istirahat, harapan kami agar ia lekas sembuh. Dan kami ke luar.
Banyak pikiran-pikiran dan dugaan-dugaan. Tapi kami semua ingin selalu berpikiran positif tentang satu sama lain. Jadi, biarlah, semoga dia selalu diberikan yang terbaik. Aaaamiiiin.
Keesokan harinya, kami kaget saat membuka Instagram dan melihat update Risma sudah bisa berjalan-jalan, tertawa-tawa, dan bercanda, dengan sahabat-sahabatnya sejak masa sekolah. Oooh, syukurlah jika ia sudha sembuh. Tak lama kemudian Risma mengirim pesan, dia bilang, entah mengapa setelah kami datang ia sangat semangat bla..bla..bla.. dan intinya sudah pulih dan boleh segera pulang.
Tak berapa lama, malam Kamis saat itu Risma mengirim pesan di grup kawan-kawan perempuan. Dia memberitahukan bahwa besok pagi jam 07.00 dia akan menikah dengan Sahrul di rumahnya, hanya syukuran, tak ada perayaan besar, tak apa jika tak hadir. Undangan yang aneh, sangat mendadak. Tapi aku memutuskan untuk ijin masuk kerja dan menghadiri pernikahan Risma. Aku pergi dengan Lia saat itu.
Dengan membawa kado tak berarti kami datang, menyaksikan akad nikah mereka berdua. Begitu mengharukan dan membahagiakan. Aku tak mengira mereka berani menikah begitu cepat di usia yang sangat muda, bahkan saat keduanya belum memiliki pekerjaan. Mereka percaya, rejeki sudah diatur dan bisa dicari.
“Rismaa, anak-anak cewek mau kumpul nih, cuma sekedar temu kangen, udah jarang ketemu kan soalnya.”
“Iya deh nanti aku nyusul kalau Sahrul belum pulang kerja.”
“Oke.”
Setelah wisuda dan beberapa dari kami sudah bekerja tentu kami tak bisa berkumpul seperti dulu. Tapi paling tidak kami yang perempuan ini dan masih berada di sini setidaknya masih terus menjalin silaturahmi dan komunikasi. Malam itu kami janji untuk bertemu, Risma bilang dia akan menyusul. Tapi dia bilang suaminya keburu pulang dan alhasil dia tak bisa datang.
Setiap kami akan bertemu, entah mengapa dia selalu menolak dengan berbagai alasan. Aku tak pernah mau memaksanya. Terakhir bertemu dengannya saat aku memaksa ingin menginap di rumahnya dengan alasan Arya sedang pergi ke luar kota dan aku bingung karena tak ada acara. Kami bercanda semalaman, bahkan dengan Sahrul pula. Risma masih sangat sama, bedanya kali ini dia menyimpan begitu banyak misteri yang tak aku tahu, dan aku tak ingin memaksa untuk tahu, biarlah itu menajdi misterinya.
Kami tak lagi banyak berkabar, yang aku tahu terakhir Sahrul bekerja di bagian pemasaran, dan Risma diterima di sebua lembaga bimbingan belajar elit, syukurlah pikirku. Tapi, beberapa waktu setelah itu, entah bagaimana tiba-tiba Risma keluar dari grup kawan-kawan perempuan yang kami buat. Kami semua terkejut dan bingung apa yang terjadi dan salah siapa. Aku? Aku tak ingin bertanya, aku tak mau tahu, kami sudah dewasa, jadi pasti apapun yang dilakukan ada alasannya dan aku tak mau mengganggunya.
“Mii, aku kangen anak-anak, pengen rasanya kumpul-kumpul lagi.”
“Ya kumpul to Yudh, kamu lho kalau teman-teman kumpul gak pernah ikut.”
“Aku minder Mi, kalian  udah pada kerja aku masih nganggur.”
“Yudhaa, katanya menyambung tali silaturahmi itu membuka pintu rejeki. Jangan gitu. Gak usah minder.”
Yudha, salah seorang teman, karenanya kami kemudian berkumpul di suatu malam. Temu kangen, bercanda bersama, bertukar pikiran tentang banyak hal. Dan seperti biasa, semua pertemuan selalu diakhiri dengan foto bersama, sebagai kenang-kenangan memori yang pernah ada.
Keesokan harinya, aku sengaja mengunggah foto kumpul semalam ke media sosial. Bingung caption apa, aku teringat ucapanku pada Yudha sebelumnya.
*(Katanya) Menyambung silaturahmi itu membuka pintu rejeki.*
Aku pakai (katanya) karena aku lupa kalimat itu adalah sebuah hadist, atau ayat, atau dari mana, aku tak sempat mencari, aku ingin cepat-cepat mengunggah foto kenangan itu. Tapi saat aku melihat unggaha foto orang-orang lain, ternyata sebelum aku update Risma juga mengunggah fotonya dengan sahabt-sahabatnya sejak masa sekolah dengan caption,
*Semakin dewasa (seharusnya) semakin bisa memilih bergaul dengan lingkungan yang seperti apa.*
Pertama-tama, aku langsung merasa tersinggung, tidak hanya aku yang merasa tersinggung. Ternyata yang lain juga merasakan hal yang sama. Ternyata saat dia selalu menolak berkumpul dengan kami, dia berkumpul dengan temannya yang lain, dan dari caption unggahan fotonya, seolah-olah berkata bahwa kami ini lingkungan yang tidak baik baginya.
Setelah itu aku langsung berpikir, jika dia melihat unggahan fotoku barusan celaka, bisa jadi dia pikir aku berusaha membalas unggahannya. Dan terlambat, dia telah melihatnya, dari notifikasi terlihat siapa saja yang telah melihat fotoku tadi. Dan tak berapa lama dia mengunggah status,
*Menyambung silaturahmi bukan satu-satunya jalan membuka pintu rejeki, nurut sama suami membuat hidup lebih terarah. Oiya, sekarang kebiasaan di kantor kalau bikin arsip harus ditandatangani, biar jelas, gak cuma katanya.*
Yakk, sepertinya perang dingin dimulai. Anak-anak yang lain geram melihat apa yang baru saja terjadi. Aku? Aku tak masalah jika harus kehilangan, aku selalu siap kehilangan siapaun yang pernah datang. Tapi aku merasa sakit dengan apa yang dia ucapkan. Kami memang tak tahu itu ditujukan sebenarnya untuk siapa, tapi sebagai wanita kami tahu itu sangat terkait dengan kami, aku khususnya.
Entah mengapa setelah kejadian itu setiap salah satu dari kami mengunggah sesuatu atau membuat status tertentu, setelah itu pasti diikuti Risma dengan status-statusnya yang terlihat begitu jahat dan seperti menyindir kami. Heran aku, anak ini menjadi semakin caper. Aneh, sangat aneh, dan dia memang sudah aneh sejak awal.
Semua merasa sakit hati dan marah. Mereka marah lebih dari aku karena mereka melihat hal ini tidak wajar, dia keterlaluan. Aku juga marah, aku curhat pada Arya, tapi Arya dengan tegas memintaku untuk tak lagi peduli dengan Risma dan keluarganya.
Terakhir kami tahu dari status Risma bahwa dia hamil dan sedang sakit. Aku, berusaha menurunkan egoku dan menganggap tak terjadi apa-apa, aku menghubungi Sahrul dan bertanya tentang Risma.
“Risma sakit ya? Sakit apa?”
“Iya, kecapekan.”
“Ya ampun, jangan capek-capek, semoga cepat sembuh ya.”
“…”
Pesan terakhirku hanya dibaca, tak terbalaskan. Jawaban awalnya pun sangat singkat. Benar-benar aneh, yang lain justru marah melihat pesanku dengan Sahrul. Kami bertekad, tak lagi kami peduli, jika ketika kami peduli justru ditanggapi demikian. Terserah mereka berdua sekarang, kami tak mau tahu.”
“Kalau nanti Risma melahirkan, kita jenguk gak gais?”
“Kalau aku sih gak mau, males, bodo amat.”
“Uli mah emang tegaan. Hahaa.”
Candaan malam itu tiba-tiba teringat ketika suatu siang kami melihat unggahan layar hitam dengan caption,
*See you in heaven sweetheart.*
Ya, jelas bahwa Risma keguguran. Kali ini bukan lagi kami tak mau datang ke momen melahirkannya, tapi bahkan kami tak akan bisa datang karena tak ada bayi yang akan dilahirkannya. Sedih memang, kasihan, tapi kami takut sakit hati lagi jika kami mulai peduli dan justru tak direspon positif. Kami hanya mendoakan semoga adhek bayi bahagia, dan Risma sekeluarga selalu  diberi ketabahan dan kesehatan. Kami yakin meski hubungan kami tak lagi baik tapi doa kami akan sampai.
Masih tetap diam, tak ada komunikasi, tapi bedanya lama kelamaan tak lagi ada status-status keras bernada menyindir. Kami mulai benar-benar hidup di dunia masing-masing. Aku tak masalah, tak apa. Hingga akhirnya aku terpaksa ganti nomor HP karena hangus lupa tak diisi pulsa. Aku langsung membuat status,
*Nomor HP ganti, hangus, PM kalau butuh.*
Tiba-tiba Risma komentar,
“Nomor HP mu berapa Mi yang baru?”
“081223182293”
“Oke, tak save ya, WA nya ini juga kan.”
“Iyess.”
Aku sempat kaget, tiba-tiba dia berkomentar seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Sejak saat itu ketika aku membuat status yang mungkin membuatnya menarik dia akan berkomentar. Tapi hanya sekedar komentar, tak pernah kami berkomunikasi untuk benar-benar ingin tahu bagaimana kabar kami satu sama lain.
Tak apa lah, aku cukup bersyukur, meski kami tak lagi dekat, yang penting tak lagi saling bersitegang dan perang dingin. Mungkin kami belum berjodoh, aku selalu sadar tentang hal itu, dan akan selalu siap akan kehilangan. Kali ini aku dapat mengambil pelajaran, selama apapun kita berteman dan dekat dengan seseorang, tak ada jaminan jika akhirnya bersikap bagai tak saling kenal, bahkan tanpa masalah yang jelas. Dan satu lagi, tak masalah jika yang dulu dekat sekarang menjadi jauh, selama tak ada masalah berarti di antara kalian yang menyakitkan salah satu atau keduanya.
Risma, tak apa jika kau lupa apa yang telah kita alami selama ini. Aku tak apa, aku sudah siap bahkan jauh sebelum kita dekat. Yang jelas, do’aku, semoga kau selalu diberi kesehatan, kelancaran, dan kebahagiaan bersama keluargamu.
Aaaamiiiin…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar