Halaman

Kamis, 16 November 2017

BFF - Does It Exist? (Bab II: Hanya Bertemu)

BFF?

“Kalau kasih pengumuman di depan kelas aja, jangan di belakang, biar semua bisa  denger.” Usulku.
“Halah, udah di sini aja.! Kalau mau tahu ya sini.!”
Dengan kesal aku berkata dalam hati, aku benci anak itu, aku tidak suka perangainya. Namanya Pita, iya, meski namanya cantik dan sangat feminim, tapi perilakunya 180° berbeda. Gadis tomboy berambut pendek itu berparas cantik memang, tapi dia kasar, bahkan dia melebihi para pria.
Kami duduk di kelas yang sama saat kelas VII, yaitu VII E. Sebagai siswa baru kami satu kelas beum begitu mengenal satu sama lain. Aku tidak tahu betul bagaimana kepribadiannya, yang jelas, sejak saat itu aku tahu aku tidak menyukainya, tidak akan pernah menyukainya.
Selama satu tahun berada di kelas yang sama aku tidak pernah berusaha dekat dengannya. Kadang memang kami harus satu kelompok, kadang kami sering berjalan bersama saat pulang sekolah karena rumah kami searah, kadang pula aku memaksa diriku untuk ikut bergaul dengan yang lain di mana ada dia, ya, dia popular. Jadi, mau tidak mau kami berinteraksi, tapi aku tak pernah dekat dengannya.
Singkat cerita, setelah kenaikan kelas, seluruh kelas diacak sehingga aku tak tahu aku satu kelas dengan siapa. Hari pertama masuk kelas VIII G aku duduk di bangku tengah-tengah kelas, sendirian. Aku melihat beberapa anak dari kelas lamaku, aku tahu sebagian besar yang lain tapi aku belum mengenal mereka.
Aku tak pernah berusaha mengenal siapapun, aku hanya duduk sampai seseorang yang tak asing memasuki kelasku. Pita, dia masuk ke kelas dengan senyum lebar dan melihat seluruh kelas. Matanya memandang dari kanan ke kiri, seolah mencari sesuatu. Dan akhirnya pandangan matanya jatuh kepadaku. Tidak, jangan-jangan dia mau duduk denganku, kursi sebelahku kosong, duh.
“Davinaaaaa, ya ampun, kita sekelas lagi. Aku duduk di sini ya..”
Belum sampai aku menjawab iya, dia langsung menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku hanya bisa tersenyum, mencoba menjadi seseorang yang baik. Aku tak tahu bagaimana hari-hariku setahun ke depan jika aku harus duduk dengannya.

Gadis ini ternyata super cerewet, dia begitu santainya bercerita ngalor ngidul tentang banyak hal. Dia bercerita tanpa tahu bahwa aku tak begitu memperdulikannya dalam hati. Tapi aku selalu berusaha menjadi orang baik, setiap keluh kesahnya kudengarkan, ketika sampai pada dia meminta pendapatku, aku tak akan pernah memberikan banyak pendapat, apalagi solusi. Selain malas berpikir, sebenarnya aku tak terlalu memperhatikan ceritanya.
“Sebenarnya enak curhat sama kamu, kamu selalu jadi pendengar yang baik.”
(Kubalas dengan senyuman)
“Tapi gak cocok kalau minta solusi sama kamu, gak pernah jawab.”
“Hehee”
“Tapi aku suka, yang penting lega bisa curhat.”
Setelah hari-hari berlalu, aku mulai paham tentang anak ini. Ayah ibunya bercerai sejak saat dia masih kecil, ibunya pergi ke luar kota untuk bekerja, dan dia tinggal bersama kakek nekek dan tantenya. Kakeknya adalah seorang tentara, aku rasa itu cukup bisa menjelaskan bentuknya saat ini. Dia sangat ceria, terlalu ceria menurutku, mungkin karena latar belakangnya itu.
Kami kemudian semakin dekat, kami pindah tempat duduk di pojok atas paling belakang. Iya, kelas kami berbentuk teater, setiap baris semakin naik ke atas. Kami mulai menceritakan latar belakang masing-masing. Entah karena bersamaku atau karena apa, semakin hari Pita semakin feminim, ia mulai memanjangkan rambutnya sebahu, dulu rambutnya seperti pria. Dia mulai menguncir rambutnya dan kadang memakai bando.
Bukan sombong, tapi aku merasa lebih pandai darinya. Pita mulai sering memintaku mengajarinya untuk berbagai mata pelajaran. Aku yang sebenarnya pelit dalam hal pelajaran, mau begitu saja berbagi dengannya. Dan aku pikir tak masalah, karena kami dekat.
Setiap istirahat kami selalu ke koperasi sekolah bersama untuk jajan. Setiap pulang sekolah kami berjalan bersama. Setiap ada masalah dia selalu curhat padaku. Bahkan saat di kelas harus berkelompok, dia juga satu kelompok denganku. Sering juga dia bermain ke rumah nenekku, tempat aku tinggal, saat sudah malam, aku akan mengantarnya ke gang untuk pulang.
Kami begitu dekat memang, aku mulai berpikir, apa aku bisa dekat dengan seseorang? Apa ini yang dinamakan sahabat? Tapi kenapa Pita? Kenapa saat aku bersumpah dalam hati aku tak akan menyukainya dulu, kini justru kami begitu dekat?
“Heeeekkkkk.”
“Hahahhahahaaa…”
Pita memang selalu tertawa saat suara sendawaku yang sangat keras ini keluar. Dia sering tertawa karena hal-hal yang aku lakukan atau katakan. Padahal aku merasa aku ini pendiam, biasa saja, dan tidak lucu.
“Kamu ini ya Davina, jarang ngomog tapi sekalinya ngomong bikin orang ketawa.”
“He? Masa?”
“Nyenengin temenan sama kamu, ketawa terus, kamu sama kayak Mamamu, mbanyol terus bikin ketawa.”
Aku tak pernah berusaha melucu, bahkan untuk berbicara pun aku selalu berhati-hati agar tak menyakiti hati orang lain, itulah sebabnya aku cenderung pendiam. Aku hanya takut akan ada yang tersakiti, karena pikiranku sangat liar, dan bisa sangat menyakitkan jika aku membiarkannya keluar. Tapi syukurlah jika yang keluar dari mulutku justru bisa membuat orang lain bahagia.
Pita termasuk murid populer di sekolahku. Dia mengikuti ekstrakulikuler pramuka, dia bergaul dengan semua orang. Semua siswa mengenalnya. Sedangkan aku, ya, aku tak pernah berusaha untuk popular, aku ya aku. Mungkin yang mengenalku hanya teman sekelasku atau mereka yang pernah sekelas denganku, tapi aku tak pernah dekat dengan siapapun, hanya Pita. Kami begitu berbeda, tapi itu tak masalah.
Tak terasa kami naik ke kelas IX, penasaran bagaimana peraturan terbaru untuk kenaikan kelas. Ada yang bilang akan diacak lagi, ada yang bilang akan kembali ke kelas VII dulu. Pengumuman pun keluar, untuk kelas IX kembali seperti kelas VII tetapi lima absen teratas maju ke kelas sebelumnya. Itu artinya aku masuk ke kelas IX E, dan kembali satu kelas dengan Pita.
Sudah bisa kuprediksi, kami tetap akan duduk satu bangku. Masih dekat, dan masih sama seperti biasanya. Tidak ada yang berubah kecuali Pita semakin feminim dan beberapa ganti gebetan. Tentu saja, gadis popular pasti banyak yang mendekati. Tak pernah ada masalah berarti di antara kami.
Aku mulai bertanya-tanya, bukankah jika sahabat akan ada pertengkaran-pertengkaran yang berujung semakin solidnya mereka. Tapi kami tidak pernah melalui itu. Dia tak pernah mengeluh atas perilaku dan kepribadianku, begitupun aku. Apapun yang ingin dia lakukan tak pernah terlalu menjadi perhatianku. Aku tak pernah mau tau selain denganku dia pergi ke mana, dengan siapa, melakukan apa. Jika tak ada kabar kami tak akan saling bertanya. Jika bertemu di sekolah, kami akan berlaku seperti biasa.
Sejak perilaku teman-teman semasa SD yang membuatku tak percaya ada sahabat atau teman baik, kini aku mulai kembali ke pikiran masa itu lagi. Aku mulai berpikir, jangan-jangan Pita dekat denganku hanya karena ingin mengambil manfaat dariku? Ah picik sekali pikiranku, mungkin aku terlalu banyak nonton film. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa Pita memang tulus dan baik berteman denganku.
Satu tahun kami lewati bersama, saatnya untuk mendaftar masuk SMA. Kami memutuskan untuk mendaftar di SMA yang sama, SMA terbaik di kota. Kami yakin kami bisa masuk dan tetap bersahabat.
“Yeeeee, kita diterima.”
“Kita sekolah di sekolah yang samaaa.”
Ya, kami diterima di sekolah yang sama. Tapi kami masuk di kelas yang berbeda. Sejak saat itu intensitas komunikasi kami mulai berkurang. Aku tahu dia pasti telah menemukan teman sebangkunya yang baru.
Kami masih mengikuti ekstrakulikuler pramuka dan masuk kepengurusan OSIS. Tapi Pita dengan popularitas dan keaktifannya tetap lebih bersinar dariku. Aku tentu tetap tak bisa menggapai sisinya. Dan aku terima itu.
Pita telah menemukan teman akrabnya yang baru. Sampai SMA usai kami tak pernah berada di kelas yang sama. Setelah lulus pun kami melanjutkan studi di kota yang berbeda. Tak pernah lagi kami berkomunikasi.
Saat SMA aku dekat dengan mereka yang satu bangku denganku, namun tetap sama, setelah tak satu kelas, setelah berkuliah di kota yang berbeda, maka semua juga berbeda. Mereka muncul di sosial media dengan orang-orang yang mereka sebut sahabat. Terlihat begitu bahagia, di mana kami tak pernah sekalipun saling bertanya kabar.
Jadi, sebenarnya apa yang dinamakan sahabat? Apakah sahabat itu artinya adalah dia yang dekat saja, jika sudah jauh, selesai sudah kontraknya sebagai sahabat. Jika sudah bertemu yang baru, yang lebih asik, dan lebih kita banget, maka yang lama tak akan berbekas di hati.
Aku mulai merasa sinis, tapi semua aku kembalikan pada diriku sendiri. Apa mungkin karena aku sangat tertutup, pendiam, dan tak seceria orang-orang, sehingga aku tak pernah dekat dengan siapapun, sehingga aku tak pernah punya yang namanya sahabat. Jadi, apakah ini adalah salah kepribadianku sehingga aku merasa tak pernah punya sahabat? Atau memang aku ditakdirkan untuk tak memiliki sahabat?

Semua sekedar bertemu, dan akan berpisah. Yang datang akan pergi. Aku harus siap jika hal itu akan terjadi lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar