Kriiiiiiiiiiiiiing……….!!!
Alarmku berbunyi.
Good morning Sun
Shine..!!!
Rasanya
masih sangat lelah dan mengantuk. Bagaimana tidak, tengah malam aku baru
pulang. Hari telah berganti. Saat membuka mata saat itu aku bertanya-tanya,
akankah Pangeran terus berjuang mendekatiku atau tidak. Aku sedikit pesimis
sebenarnya, aku takut setelah bertemu dia tidak menyukai kepribadianku. Secara,
saat bertemu aku tidak butuh waktu lama untuk nyaman bersendagurau dengannya.
Pangeran sangat humoris dan banyak membuatku tertawa. Ketika aku sudah merasa
nyaman, aku lebih sulit megendalikan diri. Saat dia melucu dan memang aku
merasa itu lucu, aku tertawa terbahak-bahak begitu keras. Meski aku masih
merasa bahwa aku saat itu jaim, tapi aku rasa tertawaku begitu lepas dan
mungkin terlalu keras untuk ukuran wanita kalem. Hahaaa
Aku
tidak ingin memulai pembicaraan terlebih dahulu, seperti biasa aku hanya akan
menunggu HP berdering. Sembari melakukan kegiatanku di hari Minggu seperti
biasa aku masih menunggu kepastiannya dan juga berpikir apa yang harus aku lakukan.
Di waktu yang sama, sebenarnya aku masih terus berhubungan dengan Mamat. Aku
semakin berpikir, apakah salah apa yang aku lakukan saat ini? Karena aku dan
Mamat memang sudah sangat dekat, kami sudah menaruh hati, tapi aku tidak tahu
sebenarnya bagaimana status kami. Terlebih lagi ketika aku teringat saat dia
dengan sengaja menuliskan nama seorang perempuan lain sebagai temporarily tattoo di dadanya itu.
Memang dia sudah meminta maaf, tapi jujur aku masih merasa sakit dan aku
pikir-pikir aku berhak mendapat kepastian, bukannya digantung.
Oke,
sedikit cerita tentang Mamat. Mamat selama ini aku rasa belum bisa terbuka
denganku. Setiap dia pergi entah ke mana, dia hanya pamit dengan alasan ada
urusan. Jika aku bertanya ke mana, urusan apa, dengan siapa, dia jarang sekali
menjawab. Pernah aku bertanya seperti itu,
“Ke
mana?”
“Pokoknya
ada urusan.”
“Aku
gak boleh tahu?”
“Emang
kamu harus tahu semua urusanku?”
Jika
aku pikir-pikir, untuk apa dia menyembunyikan sesuatu dariku? Aku juga tidak
pernah tahu siapa saja yang ia hubungi di HP nya itu. Tak pernah ada kesempatan
untukku bisa mengecek, meski aku sebenarnya tipe orang yang cuek, dan dia pun
sama cueknya tidak pernah mengecek aku berhubungan dengan siapa saja, tapi
dengan kejadian yang pernah ada aku menjadi mencurigainya, sebenarnya selain
ada aku apa iya ada yang lain? Hmmm.
Namun
selain hal-hal yang membuatku ragu itu, sebenarnya ada hal lain yang perlu aku
pertimbangkan. Kami sudah sangat dekat selama ini, dan Mamat sangatlah humoris
dan santai, aku suka pria yang seperti itu. Terlebih lagi kami sama sekali
tidak pernah ada pertengkaran dan masalah sebelumnya, hanya urusan tato itu
saja yang menjadi maslah pertama dan membuat geger. Aku semakin berpikir
bagaimana caranya memilih nanti jika Pangeran benar-benar meneruskan fase
pendekatannya ke step yang lebih jauh
denganku?
Eits,
pergulatan batin tidak berhenti sampai di situ. Beberapa waktu setelah proses
putus dengan Raka, dia justru kembali menghubungiku. Kami masih sering berkirim
pesan, kadang dia masih meneleponku. Bahkan beberapa minggu setelah kami putus
aku masih sempat pulang ke rumah bersamanya. Tapi memang aku tidak suka
menjilat ludah sendiri, jadi jika aku memutuskan semua sudah selesai aku tidak
ingin mengulanginya lagi. Jadi meski kami masih sangat dekat (aku rasa aku
sudah menceritakannya di kisah sebelumnya), aku sama sekali tidak ada niatan
untuk kembali dengannya. Meski begitu aku tidak tahu dengan Raka, apakah dia
menganggap kami ini memang hanya sebatas teman yang pernah dekat, atau justru
jangan-jangan dia masih ingin bersamaku? Semua kode itu sebenarnya ada, aku
bisa memecahkannya, tapi seperti yang aku katakana sebelumnya, aku terlalu
takut untuk meyakininya, aku takut salah mengartikan sesuatu.
Sesekali
aku mencoba memancing Raka, aku bercerita bahwa aku sekarang dekat dengan
Mamat. Dia hanya menjawab santai,
“Tuuh
kan bener dugaanku, pasti si Mamat tu suka sama kamu bahkan sejak aku masih
sama kamu pasti. Yaudah terserah kamu aja. Kalo kamu seneng ya monggo.”
Setelah
ia menjawab seperti itu, aku sebenarnya berpikir, pasti itu hanya basa-basi dan
bukan jawaban sebenarnya yang ingin dia utarakan. Tapi itu jawaban hasil dari
kegengsiannya untuk tetap memperjuangkanku. Tidak mungkin jika dia bisa
melupakanku secepat itu. Hei para pria, jika memang cinta kenapa tidak ingin
berjuang? Jika hanya mengikuti gengsi, maka jangan sekali-kali menyesalinya
nanti jikalau dia benar-benar pergi. Aku tidak ingin terlalu banyak berspekulasi,
apa yang ia katakan, itu yang aku anggap benar-benar apa yang ia rasakan, aku
sudah cukup lelah hanya untuk mengikuti sesuatu yang tak pasti, kali ini akan
aku lakukan apa yang ingin aku lakukan.
Di
samping bercerita tentang Mamat, aku juga bercerita tentang Pangeran. Aku hanya
sedikit bercerita bahwa sedang ada seseorang yang mendekatiku juga. Dan Raka
memintaku untuk mengirimkan foto Pangeran padanya. Aku pikir, untuk apa dia
meminta foto Pangeran, jangan-jangan mau disantet. Hahaaa, tidak mungkin lah
sepertinya, jadi aku kirim saja.
“Picture Received.”
“Lumayan
juga, hidungnya juga lumayan mancung. Kok kamu cari yang mancung-mancung e,
kamu kan pesek. Mau memperbaiki keturunan?”
Apa
sih ini anak. Mungkin dia hanya ingin membandingkan dirinya dengan Pangeran
secara fisik saja. Ishh, apa sih, aku bukan tipe wanita yang melihat dari fisik
saja. Memang fisik juga penting, tapi itu bukan satu-satunya. Jika aku nyaman
maka aku akan menjalaninya. Dan aku rasa memang kebanyakan wanita seperti itu,
menilai sesuatu tidak semata-mata dari penampilan.
Oke,
setelah sedikit selipan soal Mamat dan Raka, back to Pangeran. Aku masih belum tahu kepastiannya bagaimana. Hari
Minggu itu sampai agak siang dia belum menghubungiku. Jika aku berpikir
negatif, mungkin dia kapok, dan kesan pertama kami mungkin tidak sesuai dengan
ekspektasinya. Tapi jika aku berpikir positif, mungkin saja dia masih tertidur,
ya kan semalam kita pulang sangat larut, jadi mungkin dia belum terbangun dari
tidurnya.
”Baru
bangun nih.”
“Hloh,
eh. Aku pikir kamu gak bakal hubungi aku lagi.”
“Kok
gitu ngomongnya.”
“Ya
siapa tahu kamu kapok liat aslinya aku. Heheee”
“Gak
yaa, kamu ternyata seru orangnya. Ketawamu itu lho, hmmm jan.”
Heheeee,
hati kembali berbunga-bunga. Ternyata Pangeran masih melanjutkan perjalanannya.
Dan sekarang aku semakin dibuat bingung bagaimana aku harus menghadapi ketiga
orang itu, bagaimana caranya aku harus memilih, dan bagaimana caranya aku harus
melepas yang lainnya. Saat itu aku mulai menulis dan bercerita sedikit di diary yang tak pernah aku isi. Terkadang
kita perlu menulis dan berbicara dengan diri sendiri untuk benar-benar memahami
apa yang kita butuhkan, bukan hanya sekedar apa yang kita inginkan.
Beberapa
hari ini aku jarang bertemu dengan Mamat, entah mungkin dia yang begitu sibuk
atau aku memang juga sedang tak ingin bertemu, secara aku masih berbunga-bunga
dengan hadirnya Pangeran. Pangeran pun semakin intens menggali banyak hal
tentangku. Sedangkan aku justru masih sama seperti aku biasanya, tidak terlalu
suka bertanya tentangnya, keluarganya, latar belakang, dan lain sebagainya. Aku
hanya sesekali melontarkan pertanyaan-pertanyaan ringan, jadi aku juga masih
belum terlalu tahu banyak tentangnya. Tapi semua proses ini tetap aku nikmati.
“Udah
makan? Ayo makan malem bareng.”
“Belum,
ayok. Di mana.”
“Terserah
kamu aja pengennya apa.”
Haiiish,
aku saja jika ditanya akan menjawab terserah, lalu aku harus bilang apa kalau
justru dia yang menjawab terserah. Hmmm, yasudah, saat itu aku ajak saja dia ke
warung makan dekat kost. Kami memesan makanan, dan dia tidak menghabiskannya. What?! Again?! Kalian tahu kan aku ini
anti mubadzir jika makan, jadi aku merasa risih jika dia tidak menghabiskan
makanannya.
“Kok
gak dihabisin sih? Gak suka ya?”
“Bukan,
udah kenyang aja.”
“Kok
maemmu dikit?”
“Iya,
emang gak begitu doyan makan.”
“Pantes
kurus.”
Dalam
hati sebenarnya, yaaaa, kalian tahu, aku risih dan sebenarnya ingin sekali
menghabiskan makanan yang masih tersisa itu. Bukannya aku ini rakus, yaa
mungkin sedikit, tapi rasanya kurang menghargai saja jika kita mubadzir,
kasihan penjualnya juga, harus membuang makanan sisa itu. Tapi mau bagaimana
lagi, aku masih dalam posisi jaim, tidak mungkin aku menghabiskan makanannya,
nanti dia pikir aku rakus. Padahal jika sedang makan dengan kawan-kawan, jika
mereka tidak habis biasanya akulah sampah mereka. That’s why gaining weigt is an easy thing for me. Hahaaa. Kadang
aku juga berpikir, apa Pangeran tidak merasa aneh jika jalan berdua denganku,
karena aku lumayan semok berisi sedangkan dia agak kurus dan karena dia tinggi
jadi terlihat lebih kurus. Tapi ya jika memang dia nyaman dan mau menerima aku
yang berisi ini jadi tidak masalah. Setelah selesai makan kami meneruskan
mengobrol di depan kost ku. Seperti sebelumnya, kami masih dalam rangkan
mengenal satu sama lain dan bercanda ria bersama.
“Ulang
tahunmu kapan?”
“8
Januari 1992.”
“Eh
sama.”
“Ah
masa?”
“Tanggalnya
doang sih. Aku 8 Mei 1994.”
“Sini
lihat KTP mu, kamu mengada-ada paling.”
“Hahaaaa,
niih.” (Pangeran menyodorkan KTP nya dari
dompet)
Setelah
cukup malam dan aku merasa mengantuk, dia memutuskan untuk pulang ke rumah.
Keesokan harinya, seperti biasa, hari Senin pagi aku pergi kuliah. Sepulang
kuliah Pangeran menghubungiku.
“Aku
kan udah tahu kost mu, sini main kostku.”
“Lha
kan aku gak tahu kost mu.”
“Aku
jemput ya.”
“Sekarang?”
“Iya,
tunggu depan kost ya.”
Hmmmm,
aku rasa step kami sudah semakin jauh
lagi. Aku pun bersiap dan menunggunya di depan kost. Saat dia datang, kami
langsung menuju kost nya. Sesampainya di sana, kami duduk dan dia mengawali
perbincangan dengan basa-basi tentang kuliah pagi tadi. Kemudian perbincangan
pun berlanjut semakin luas, aku bercerita tentang banyak hal, tentang keluarga,
dan bahkan mantan. Aku jelaskan padanya bahwa posisiku saat itu sedang berada
di antara ketidakjelasan para pria. Dia hanya menanggapi santai saja. Kemudian
kami memutuskan untuk menonton film, dan dia malah tertidur. Tidak terlalu suka
menonton dia bilang, dia mudah bosan dan tidak sabar menunggu jawaban dari
semua pertanyaan di film. Oke, padahal aku sangat hobi menonton film, jadi
mungkin aku tidak akan memintanya untuk menonton film bersama lagi. Yaaa
meskipun harus menerima kenyataan bahwa kami berbeda hobi, tapi setidaknya
karena dia terbuka aku jadi tahu dan bisa mengambil langkah tepat untuk tidak
mengajaknya nonton film nantinya. Heheee
Setelah
agak sore pun aku pulang karena malamnya aku ada janji makan malam bersama
kawan-kawan, biasaaa, makan dan nongkrong untuk membicarakan banyak hal, entah
tentang masalah pribadi masing-masing dari kami, perkuliahan, dan juga
organisasi, karena kebetulan saat itu aku baru saja selesai turun dari jabatan
wakil ketua himpunan mahasiswa program studi, dan kawan-kawan dekatku saat itu
juga mereka yang pernah berjuang bersama di organisasi. Malam itu Mamat tidak
ada, dia sedang ada shift karena dia
bekerja part time di sebuah toko
oleh-oleh khas Jogja. Oiya, aku pun sudah beberapa kali diajaknya main bersama
kawan-kawan kerjanya, aku sudah diperkenalkan pada mereka, dan aku jadi merasa
dianggap. Tapi semua itu terjadi setelah insiden tato menyebalkan itu. Jujur
semenjak itu dia jadi lebih manis padaku. Bahkan malam itu dia memasang Display Picture foto berdua denganku.
Semua orang tahu dan menyorakiku saat itu. Aku pun langsung mengirim pesan pada
Mamat.
“Tumben
pasang foto sama aku.”
“Gak
boleh? Yaudah tak gantine.”
Aiiih,
dan dia benar-benar mengganti fotonya. Ampun daaaah, padahal aku hanya bertanya
kan, bukannya mengeluarkan statement
larangan. Tapi yasudahlah, mungkin dia pun masih gengsi dan malu untuk mengakui
dekat denganku di depan khalayak ramai. Aku jadi semakin ragu dan bimbang
tentangnya. Hmmmm, yasudahlah, malam itu aku abaikan saja kejadian itu.
Berganti
hari, aku ingat sekali pagi itu, di hari kartini tahun itu, pagi-pagi sekali
Mamat mengirimiku pesan dengan inti mengucapkan selamat hari Kartini padaku.
Aku langsung heran, manis sekali ini anak, ada apa gerangan. Tapi aku tidak
terlalu tersanjung dengan sikap-sikap manisnya, entahlah, kadang jika sudah
tersakiti sekali pasti semua akan berubah. Begitu juga denganku. Hari ini
sepulang kuliah aku kembali mengunjungi kost Pangeran, sama seperti sebelumnya,
kami masih terus menggali tentang satu sama lain dan diselingi dengan
candaan-candaan segar darinya. Saat itu aku memang jujur pamit pada Mamat bahwa
aku pergi ke tempat kawan bernama Pangeran. Saat bersama Pangeran memang aku
tidak banyak bermain HP, jadi beberapa pesan dari Mamat mungkin terabaikan.
Sampai-sampai dia membuat status di BBM menanyakan berada di mana aku saat itu,
karena memang sudah hampir malam aku masih belum memberi kabar.
“Ada yang tau Annabelle
ke mana? Terakhir bilang lagi di kost Pairan.”
Hiiish
ini anak, memang dia sering memanggilku Annabelle,
dia bilang aku manis tapi menakutkan. Dan, namanya “Pangeran” bukan “Pairan”.
Dasar. Aku biarkan saja, sekarang saja dia baru mulai mencari, kemarin-kemarin
ke mana? Hmmmm
Malam
itu, ternyata benar-benar menjadi titik balik kehidupanku. Pangeran mulai
membuka pembicaraan bukan lagi tentang diri kita masing-masing ataupun dengan
banyolan-banyolan lucu nan garingnya, namun aku rasa ia mulai berbicara tentang hati.
“Mbak,
kamu nyaman gak sama aku?”
Pertanyaan
pembuka itu benar-benar mengejutkanku, aku tahu apa yang akan dia katakana
setelah itu. Aku rasa dia akan menyatakan perasaannya secara gamblang padaku.
Dan aku rasa aku masih belum siap dengan apa yang akan terjadi setelahnya.
Mamat, Raka, apa yang harus aku lakukan dan katakana pada mereka jika aku
benar-benar mengiyakan Pangeran nantinya.
“Yaaa,
nyaman aja. Trus?”
“Kenapa?”
“Ya
gak tahu. Nyaman itu kan rasa, rasa kan tak membutuhkan alasan.”
“Jadi,
kesimpulannya?”
“Haaaa,
kesimpulan apa?”
Dan
benar saja, dia menyatakan perasaannya, intinya dia ingin bersamaku, ingin
menjalin hubungan denganku. Dan aku sangat bingung untuk menjawab,
kebingunganku terletak pada bagaimana dengan Mamat dan Raka di luar sana. Mamat
yang sudah terlanjur dekat denganku, dan Raka yang seperti masih berusaha agar
bisa bersamaku. Sebelum itu, pertanyaan yang aku lontarkan pada Pangeran adalah
tentang usia kami.
“Kamu
yakin? Kok aku? Aku kan lebih tua dari kamu. Kamu gakpapa sama orang tua?”
“Emang
kenapa? Kan gak salah to kalau pacaran sama yang lebih tua?”
“Ya
enggak sih, tapi kita lho juga baru kenal.”
“Kan
bisa kenalan terus nanti, lama-lama juga saling mengenal to.”
“Tapi….”
“Tapi
apalagi, katanya udah nyaman to sama aku.”
Iya
Pangeran, nyaman. Tapi bagaimana dengan mereka-mereka yang ada di sana. Apa
yang harus aku katakana?
“Apa
aku harus jawab sekarang?”
“Ya
nggak juga sih. Memang kenapa? Bingung sama mereka itu?”
“Iya.”
“Ya
kamu pikirkan dulu lah. Aku juga gak maksa kok. Lagian kalo emang iya kan
urusan sama mereka itu bisa kita selesaikan nanti pelan-pelan setelah ini.”
OMG,
ini anak masih kecil tapi rasa-rasanya dia cukup dewasa ya. Iya, saat itu
memang dia terlihat begitu dewasa dan bijak dalam berkata. Namun dibalik
kata-kata bijaknya itu memang dia terus mendorongku untuk mengambil keputusan
secepatnya.
“Ya
udah aku pikir-pikir dulu ya.”
“Iya,
jadi kesimpulannya?”
Apaaaa?
Jadi aku sebenarnya tidak diberi waktu cukup lama untuk berpikir? Dia terus
menekan agar aku menjawab saat itu juga, tidak ada kesempatan lain untuk mempertimbangkan
hal-hal lain di luar sana. Aku yang di satu sisi kebingungan dengan orang-orang
itu, di sisi lain aku pun sebenarnya tidak ingin kehilangan Pangeran yang meski
baru sebentar aku seolah menemukan titik di mana aku bisa kembali lurus menjadi
orang yang setia.
“Jadi
kesimpulannya apa?
Dia
berbisik lembut dan mulai memelukku. Bisikan lembutnya terasa sangat menekan.
Aku benar-benar bingung. Di dalam kebingunganku, mulai kurasakan hangat
pelukannya, kusandarkan kepalaku di dadanya, dan aku mendengar detak jantungnya
yang terdengar lebih cepat dan jelas. Nyaman sekali. Rasanya sudah sangat lama
aku tidak merasakan pelukan sehangat ini. Dan aku putuskan untuk mengiyakannya
saja. Kupererat pelukanku, kudongakkan kepalaku padanya, dan aku tersenyum. Kulihat
ia membalas senyumanku, tapi ia tetap meminta jawaban jelas dari mulutku.
“Senyam
senyum. Hih, jadi apa kesimpulannya?”
Kuanggukkan
kepalaku pertanda iya, aku malu untuk mengatakannya.
“Malah
angguk-angguk. Apa? Bilang dong.”
“Kamu
tu lho. Malu tau. Iya iya.”
“Iya
apa?”
“Iya,
aku sama kamu.”
“Aku
sama kamu apa?”
“Hiiih.
Kam utu ngejek lhooo.”
“Lhoh,
siapa yang ngejek. Ayoo, aku sama kamu apa?”
Pangeran
terus menekan sambil tersenyum mengejekku.
“Aku
sama kamu, iya, anu, pacaran.”
“Apa?
Sekali lagi.”
“Hiiiiiih.
Pacaran…!!!!”
Akhirnyaaa.
Aku begitu lega. Dia memelukku erat saat itu. Entah apa yang akan terjadi nanti
dengan yang lain. Kunikmati saja moment ini terlebih dahulu untuk sementara
ini. Kami terus saling tersenyum sampai akhirnya merasa lapar. Kalian tau kan,
emosi pun bisa mengursa tenaga, jadi kami putuskan untuk mencari asupan tenaga.
“Makan
yok.”
“Ayok.”
“Makan
apa?”
“Cap
cay mau? Di mana ya?”
“Di
Bu Kirun situ aja po, deket kost.”
“Boleh.”
Malam
kami akhiri dengan dinner yang anggap
saja romantic, sayangnya aku masih sedikit jaim. Aku tidak menghabiskan
makananku, porsinya sangat banyak, aku malu. Padahal sebenarnya aku sangat
sayang meninggalkan makanan itu. Hahaaaaa
#ToBeContinued
#GambarDiAtasBukanHakMilikPenulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar