Halaman

Selasa, 04 Juli 2017

Putri & Pangeran (Bab III: Pangeran Tak Suka Menanti)


Kriiiiiiiiiiiiiing……….!!! Alarmku berbunyi.
Good morning Sun Shine..!!!
Rasanya masih sangat lelah dan mengantuk. Bagaimana tidak, tengah malam aku baru pulang. Hari telah berganti. Saat membuka mata saat itu aku bertanya-tanya, akankah Pangeran terus berjuang mendekatiku atau tidak. Aku sedikit pesimis sebenarnya, aku takut setelah bertemu dia tidak menyukai kepribadianku. Secara, saat bertemu aku tidak butuh waktu lama untuk nyaman bersendagurau dengannya. Pangeran sangat humoris dan banyak membuatku tertawa. Ketika aku sudah merasa nyaman, aku lebih sulit megendalikan diri. Saat dia melucu dan memang aku merasa itu lucu, aku tertawa terbahak-bahak begitu keras. Meski aku masih merasa bahwa aku saat itu jaim, tapi aku rasa tertawaku begitu lepas dan mungkin terlalu keras untuk ukuran wanita kalem. Hahaaa
Aku tidak ingin memulai pembicaraan terlebih dahulu, seperti biasa aku hanya akan menunggu HP berdering. Sembari melakukan kegiatanku di hari Minggu seperti biasa aku masih menunggu kepastiannya dan juga berpikir apa yang harus aku lakukan. Di waktu yang sama, sebenarnya aku masih terus berhubungan dengan Mamat. Aku semakin berpikir, apakah salah apa yang aku lakukan saat ini? Karena aku dan Mamat memang sudah sangat dekat, kami sudah menaruh hati, tapi aku tidak tahu sebenarnya bagaimana status kami. Terlebih lagi ketika aku teringat saat dia dengan sengaja menuliskan nama seorang perempuan lain sebagai temporarily tattoo di dadanya itu. Memang dia sudah meminta maaf, tapi jujur aku masih merasa sakit dan aku pikir-pikir aku berhak mendapat kepastian, bukannya digantung.
Oke, sedikit cerita tentang Mamat. Mamat selama ini aku rasa belum bisa terbuka denganku. Setiap dia pergi entah ke mana, dia hanya pamit dengan alasan ada urusan. Jika aku bertanya ke mana, urusan apa, dengan siapa, dia jarang sekali menjawab. Pernah aku bertanya seperti itu,
“Ke mana?”
“Pokoknya ada urusan.”
“Aku gak boleh tahu?”
“Emang kamu harus tahu semua urusanku?”
Jika aku pikir-pikir, untuk apa dia menyembunyikan sesuatu dariku? Aku juga tidak pernah tahu siapa saja yang ia hubungi di HP nya itu. Tak pernah ada kesempatan untukku bisa mengecek, meski aku sebenarnya tipe orang yang cuek, dan dia pun sama cueknya tidak pernah mengecek aku berhubungan dengan siapa saja, tapi dengan kejadian yang pernah ada aku menjadi mencurigainya, sebenarnya selain ada aku apa iya ada yang lain? Hmmm.
Namun selain hal-hal yang membuatku ragu itu, sebenarnya ada hal lain yang perlu aku pertimbangkan. Kami sudah sangat dekat selama ini, dan Mamat sangatlah humoris dan santai, aku suka pria yang seperti itu. Terlebih lagi kami sama sekali tidak pernah ada pertengkaran dan masalah sebelumnya, hanya urusan tato itu saja yang menjadi maslah pertama dan membuat geger. Aku semakin berpikir bagaimana caranya memilih nanti jika Pangeran benar-benar meneruskan fase pendekatannya ke step yang lebih jauh denganku?

Eits, pergulatan batin tidak berhenti sampai di situ. Beberapa waktu setelah proses putus dengan Raka, dia justru kembali menghubungiku. Kami masih sering berkirim pesan, kadang dia masih meneleponku. Bahkan beberapa minggu setelah kami putus aku masih sempat pulang ke rumah bersamanya. Tapi memang aku tidak suka menjilat ludah sendiri, jadi jika aku memutuskan semua sudah selesai aku tidak ingin mengulanginya lagi. Jadi meski kami masih sangat dekat (aku rasa aku sudah menceritakannya di kisah sebelumnya), aku sama sekali tidak ada niatan untuk kembali dengannya. Meski begitu aku tidak tahu dengan Raka, apakah dia menganggap kami ini memang hanya sebatas teman yang pernah dekat, atau justru jangan-jangan dia masih ingin bersamaku? Semua kode itu sebenarnya ada, aku bisa memecahkannya, tapi seperti yang aku katakana sebelumnya, aku terlalu takut untuk meyakininya, aku takut salah mengartikan sesuatu.
Sesekali aku mencoba memancing Raka, aku bercerita bahwa aku sekarang dekat dengan Mamat. Dia hanya menjawab santai,
“Tuuh kan bener dugaanku, pasti si Mamat tu suka sama kamu bahkan sejak aku masih sama kamu pasti. Yaudah terserah kamu aja. Kalo kamu seneng ya monggo.”
Setelah ia menjawab seperti itu, aku sebenarnya berpikir, pasti itu hanya basa-basi dan bukan jawaban sebenarnya yang ingin dia utarakan. Tapi itu jawaban hasil dari kegengsiannya untuk tetap memperjuangkanku. Tidak mungkin jika dia bisa melupakanku secepat itu. Hei para pria, jika memang cinta kenapa tidak ingin berjuang? Jika hanya mengikuti gengsi, maka jangan sekali-kali menyesalinya nanti jikalau dia benar-benar pergi. Aku tidak ingin terlalu banyak berspekulasi, apa yang ia katakan, itu yang aku anggap benar-benar apa yang ia rasakan, aku sudah cukup lelah hanya untuk mengikuti sesuatu yang tak pasti, kali ini akan aku lakukan apa yang ingin aku lakukan.
Di samping bercerita tentang Mamat, aku juga bercerita tentang Pangeran. Aku hanya sedikit bercerita bahwa sedang ada seseorang yang mendekatiku juga. Dan Raka memintaku untuk mengirimkan foto Pangeran padanya. Aku pikir, untuk apa dia meminta foto Pangeran, jangan-jangan mau disantet. Hahaaa, tidak mungkin lah sepertinya, jadi aku kirim saja.
Picture Received.”
“Lumayan juga, hidungnya juga lumayan mancung. Kok kamu cari yang mancung-mancung e, kamu kan pesek. Mau memperbaiki keturunan?”
Apa sih ini anak. Mungkin dia hanya ingin membandingkan dirinya dengan Pangeran secara fisik saja. Ishh, apa sih, aku bukan tipe wanita yang melihat dari fisik saja. Memang fisik juga penting, tapi itu bukan satu-satunya. Jika aku nyaman maka aku akan menjalaninya. Dan aku rasa memang kebanyakan wanita seperti itu, menilai sesuatu tidak semata-mata dari penampilan.
Oke, setelah sedikit selipan soal Mamat dan Raka, back to Pangeran. Aku masih belum tahu kepastiannya bagaimana. Hari Minggu itu sampai agak siang dia belum menghubungiku. Jika aku berpikir negatif, mungkin dia kapok, dan kesan pertama kami mungkin tidak sesuai dengan ekspektasinya. Tapi jika aku berpikir positif, mungkin saja dia masih tertidur, ya kan semalam kita pulang sangat larut, jadi mungkin dia belum terbangun dari tidurnya.
”Baru bangun nih.”
“Hloh, eh. Aku pikir kamu gak bakal hubungi aku lagi.”
“Kok gitu ngomongnya.”
“Ya siapa tahu kamu kapok liat aslinya aku. Heheee”
“Gak yaa, kamu ternyata seru orangnya. Ketawamu itu lho, hmmm jan.”
Heheeee, hati kembali berbunga-bunga. Ternyata Pangeran masih melanjutkan perjalanannya. Dan sekarang aku semakin dibuat bingung bagaimana aku harus menghadapi ketiga orang itu, bagaimana caranya aku harus memilih, dan bagaimana caranya aku harus melepas yang lainnya. Saat itu aku mulai menulis dan bercerita sedikit di diary yang tak pernah aku isi. Terkadang kita perlu menulis dan berbicara dengan diri sendiri untuk benar-benar memahami apa yang kita butuhkan, bukan hanya sekedar apa yang kita inginkan.
Beberapa hari ini aku jarang bertemu dengan Mamat, entah mungkin dia yang begitu sibuk atau aku memang juga sedang tak ingin bertemu, secara aku masih berbunga-bunga dengan hadirnya Pangeran. Pangeran pun semakin intens menggali banyak hal tentangku. Sedangkan aku justru masih sama seperti aku biasanya, tidak terlalu suka bertanya tentangnya, keluarganya, latar belakang, dan lain sebagainya. Aku hanya sesekali melontarkan pertanyaan-pertanyaan ringan, jadi aku juga masih belum terlalu tahu banyak tentangnya. Tapi semua proses ini tetap aku nikmati.
“Udah makan? Ayo makan malem bareng.”
“Belum, ayok. Di mana.”
“Terserah kamu aja pengennya apa.”
Haiiish, aku saja jika ditanya akan menjawab terserah, lalu aku harus bilang apa kalau justru dia yang menjawab terserah. Hmmm, yasudah, saat itu aku ajak saja dia ke warung makan dekat kost. Kami memesan makanan, dan dia tidak menghabiskannya. What?! Again?! Kalian tahu kan aku ini anti mubadzir jika makan, jadi aku merasa risih jika dia tidak menghabiskan makanannya.
“Kok gak dihabisin sih? Gak suka ya?”
“Bukan, udah kenyang aja.”
“Kok maemmu dikit?”
“Iya, emang gak begitu doyan makan.”
“Pantes kurus.”
Dalam hati sebenarnya, yaaaa, kalian tahu, aku risih dan sebenarnya ingin sekali menghabiskan makanan yang masih tersisa itu. Bukannya aku ini rakus, yaa mungkin sedikit, tapi rasanya kurang menghargai saja jika kita mubadzir, kasihan penjualnya juga, harus membuang makanan sisa itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku masih dalam posisi jaim, tidak mungkin aku menghabiskan makanannya, nanti dia pikir aku rakus. Padahal jika sedang makan dengan kawan-kawan, jika mereka tidak habis biasanya akulah sampah mereka. That’s why gaining weigt is an easy thing for me. Hahaaa. Kadang aku juga berpikir, apa Pangeran tidak merasa aneh jika jalan berdua denganku, karena aku lumayan semok berisi sedangkan dia agak kurus dan karena dia tinggi jadi terlihat lebih kurus. Tapi ya jika memang dia nyaman dan mau menerima aku yang berisi ini jadi tidak masalah. Setelah selesai makan kami meneruskan mengobrol di depan kost ku. Seperti sebelumnya, kami masih dalam rangkan mengenal satu sama lain dan bercanda ria bersama.
“Ulang tahunmu kapan?”
“8 Januari 1992.”
“Eh sama.”
“Ah masa?”
“Tanggalnya doang sih. Aku 8 Mei 1994.”
“Sini lihat KTP mu, kamu mengada-ada paling.”
“Hahaaaa, niih.” (Pangeran menyodorkan KTP nya dari dompet)
Setelah cukup malam dan aku merasa mengantuk, dia memutuskan untuk pulang ke rumah. Keesokan harinya, seperti biasa, hari Senin pagi aku pergi kuliah. Sepulang kuliah Pangeran menghubungiku.
“Aku kan udah tahu kost mu, sini main kostku.”
“Lha kan aku gak tahu kost mu.”
“Aku jemput ya.”
“Sekarang?”
“Iya, tunggu depan kost ya.”
Hmmmm, aku rasa step kami sudah semakin jauh lagi. Aku pun bersiap dan menunggunya di depan kost. Saat dia datang, kami langsung menuju kost nya. Sesampainya di sana, kami duduk dan dia mengawali perbincangan dengan basa-basi tentang kuliah pagi tadi. Kemudian perbincangan pun berlanjut semakin luas, aku bercerita tentang banyak hal, tentang keluarga, dan bahkan mantan. Aku jelaskan padanya bahwa posisiku saat itu sedang berada di antara ketidakjelasan para pria. Dia hanya menanggapi santai saja. Kemudian kami memutuskan untuk menonton film, dan dia malah tertidur. Tidak terlalu suka menonton dia bilang, dia mudah bosan dan tidak sabar menunggu jawaban dari semua pertanyaan di film. Oke, padahal aku sangat hobi menonton film, jadi mungkin aku tidak akan memintanya untuk menonton film bersama lagi. Yaaa meskipun harus menerima kenyataan bahwa kami berbeda hobi, tapi setidaknya karena dia terbuka aku jadi tahu dan bisa mengambil langkah tepat untuk tidak mengajaknya nonton film nantinya. Heheee
Setelah agak sore pun aku pulang karena malamnya aku ada janji makan malam bersama kawan-kawan, biasaaa, makan dan nongkrong untuk membicarakan banyak hal, entah tentang masalah pribadi masing-masing dari kami, perkuliahan, dan juga organisasi, karena kebetulan saat itu aku baru saja selesai turun dari jabatan wakil ketua himpunan mahasiswa program studi, dan kawan-kawan dekatku saat itu juga mereka yang pernah berjuang bersama di organisasi. Malam itu Mamat tidak ada, dia sedang ada shift karena dia bekerja part time di sebuah toko oleh-oleh khas Jogja. Oiya, aku pun sudah beberapa kali diajaknya main bersama kawan-kawan kerjanya, aku sudah diperkenalkan pada mereka, dan aku jadi merasa dianggap. Tapi semua itu terjadi setelah insiden tato menyebalkan itu. Jujur semenjak itu dia jadi lebih manis padaku. Bahkan malam itu dia memasang Display Picture foto berdua denganku. Semua orang tahu dan menyorakiku saat itu. Aku pun langsung mengirim pesan pada Mamat.
“Tumben pasang foto sama aku.”
“Gak boleh? Yaudah tak gantine.”
Aiiih, dan dia benar-benar mengganti fotonya. Ampun daaaah, padahal aku hanya bertanya kan, bukannya mengeluarkan statement larangan. Tapi yasudahlah, mungkin dia pun masih gengsi dan malu untuk mengakui dekat denganku di depan khalayak ramai. Aku jadi semakin ragu dan bimbang tentangnya. Hmmmm, yasudahlah, malam itu aku abaikan saja kejadian itu.
Berganti hari, aku ingat sekali pagi itu, di hari kartini tahun itu, pagi-pagi sekali Mamat mengirimiku pesan dengan inti mengucapkan selamat hari Kartini padaku. Aku langsung heran, manis sekali ini anak, ada apa gerangan. Tapi aku tidak terlalu tersanjung dengan sikap-sikap manisnya, entahlah, kadang jika sudah tersakiti sekali pasti semua akan berubah. Begitu juga denganku. Hari ini sepulang kuliah aku kembali mengunjungi kost Pangeran, sama seperti sebelumnya, kami masih terus menggali tentang satu sama lain dan diselingi dengan candaan-candaan segar darinya. Saat itu aku memang jujur pamit pada Mamat bahwa aku pergi ke tempat kawan bernama Pangeran. Saat bersama Pangeran memang aku tidak banyak bermain HP, jadi beberapa pesan dari Mamat mungkin terabaikan. Sampai-sampai dia membuat status di BBM menanyakan berada di mana aku saat itu, karena memang sudah hampir malam aku masih belum memberi kabar.
“Ada yang tau Annabelle ke mana? Terakhir bilang lagi di kost Pairan.”
Hiiish ini anak, memang dia sering memanggilku Annabelle, dia bilang aku manis tapi menakutkan. Dan, namanya “Pangeran” bukan “Pairan”. Dasar. Aku biarkan saja, sekarang saja dia baru mulai mencari, kemarin-kemarin ke mana? Hmmmm
Malam itu, ternyata benar-benar menjadi titik balik kehidupanku. Pangeran mulai membuka pembicaraan bukan lagi tentang diri kita masing-masing ataupun dengan banyolan-banyolan lucu nan garingnya, namun aku rasa ia mulai berbicara tentang  hati.
“Mbak, kamu nyaman gak sama aku?”
Pertanyaan pembuka itu benar-benar mengejutkanku, aku tahu apa yang akan dia katakana setelah itu. Aku rasa dia akan menyatakan perasaannya secara gamblang padaku. Dan aku rasa aku masih belum siap dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Mamat, Raka, apa yang harus aku lakukan dan katakana pada mereka jika aku benar-benar mengiyakan Pangeran nantinya.
“Yaaa, nyaman aja. Trus?”
“Kenapa?”
“Ya gak tahu. Nyaman itu kan rasa, rasa kan tak membutuhkan alasan.”
“Jadi, kesimpulannya?”
“Haaaa, kesimpulan apa?”
Dan benar saja, dia menyatakan perasaannya, intinya dia ingin bersamaku, ingin menjalin hubungan denganku. Dan aku sangat bingung untuk menjawab, kebingunganku terletak pada bagaimana dengan Mamat dan Raka di luar sana. Mamat yang sudah terlanjur dekat denganku, dan Raka yang seperti masih berusaha agar bisa bersamaku. Sebelum itu, pertanyaan yang aku lontarkan pada Pangeran adalah tentang usia kami.
“Kamu yakin? Kok aku? Aku kan lebih tua dari kamu. Kamu gakpapa sama orang tua?”
“Emang kenapa? Kan gak salah to kalau pacaran sama yang lebih tua?”
“Ya enggak sih, tapi kita lho juga baru kenal.”
“Kan bisa kenalan terus nanti, lama-lama juga saling mengenal to.”
“Tapi….”
“Tapi apalagi, katanya udah nyaman to sama aku.”
Iya Pangeran, nyaman. Tapi bagaimana dengan mereka-mereka yang ada di sana. Apa yang harus aku katakana?
“Apa aku harus jawab sekarang?”
“Ya nggak juga sih. Memang kenapa? Bingung sama mereka itu?”
“Iya.”
“Ya kamu pikirkan dulu lah. Aku juga gak maksa kok. Lagian kalo emang iya kan urusan sama mereka itu bisa kita selesaikan nanti pelan-pelan setelah ini.”
OMG, ini anak masih kecil tapi rasa-rasanya dia cukup dewasa ya. Iya, saat itu memang dia terlihat begitu dewasa dan bijak dalam berkata. Namun dibalik kata-kata bijaknya itu memang dia terus mendorongku untuk mengambil keputusan secepatnya.
“Ya udah aku pikir-pikir dulu ya.”
“Iya, jadi kesimpulannya?”
Apaaaa? Jadi aku sebenarnya tidak diberi waktu cukup lama untuk berpikir? Dia terus menekan agar aku menjawab saat itu juga, tidak ada kesempatan lain untuk mempertimbangkan hal-hal lain di luar sana. Aku yang di satu sisi kebingungan dengan orang-orang itu, di sisi lain aku pun sebenarnya tidak ingin kehilangan Pangeran yang meski baru sebentar aku seolah menemukan titik di mana aku bisa kembali lurus menjadi orang yang setia.
“Jadi kesimpulannya apa?
Dia berbisik lembut dan mulai memelukku. Bisikan lembutnya terasa sangat menekan. Aku benar-benar bingung. Di dalam kebingunganku, mulai kurasakan hangat pelukannya, kusandarkan kepalaku di dadanya, dan aku mendengar detak jantungnya yang terdengar lebih cepat dan jelas. Nyaman sekali. Rasanya sudah sangat lama aku tidak merasakan pelukan sehangat ini. Dan aku putuskan untuk mengiyakannya saja. Kupererat pelukanku, kudongakkan kepalaku padanya, dan aku tersenyum. Kulihat ia membalas senyumanku, tapi ia tetap meminta jawaban jelas dari mulutku.
“Senyam senyum. Hih, jadi apa kesimpulannya?”
Kuanggukkan kepalaku pertanda iya, aku malu untuk mengatakannya.
“Malah angguk-angguk. Apa? Bilang dong.”
“Kamu tu lho. Malu tau. Iya iya.”
“Iya apa?”
“Iya, aku sama kamu.”
“Aku sama kamu apa?”
“Hiiih. Kam utu ngejek lhooo.”
“Lhoh, siapa yang ngejek. Ayoo, aku sama kamu apa?”
Pangeran terus menekan sambil tersenyum mengejekku.
“Aku sama kamu, iya, anu, pacaran.”
“Apa? Sekali lagi.”
“Hiiiiiih. Pacaran…!!!!”
Akhirnyaaa. Aku begitu lega. Dia memelukku erat saat itu. Entah apa yang akan terjadi nanti dengan yang lain. Kunikmati saja moment ini terlebih dahulu untuk sementara ini. Kami terus saling tersenyum sampai akhirnya merasa lapar. Kalian tau kan, emosi pun bisa mengursa tenaga, jadi kami putuskan untuk mencari asupan tenaga.
“Makan yok.”
“Ayok.”
“Makan apa?”
“Cap cay mau? Di mana ya?”
“Di Bu Kirun situ aja po, deket kost.”
“Boleh.”

Malam kami akhiri dengan dinner yang anggap saja romantic, sayangnya aku masih sedikit jaim. Aku tidak menghabiskan makananku, porsinya sangat banyak, aku malu. Padahal sebenarnya aku sangat sayang meninggalkan makanan itu. Hahaaaaa

#ToBeContinued
#GambarDiAtasBukanHakMilikPenulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar