Halaman

Minggu, 19 November 2017

BFF - Does It Exist? (Bab IV: Selalu Ingat)

Guy Best Friend
Kuliah. Merantau ke kota orang, meski jarak rumah dan kotaku hanya empat jam, tapi tetap saja kan namanya merantau. Kota baru, kampus baru, lingkungan baru, teman baru, dan aku harus beradaptasi dengan segala kebaruan ini. Beruntung sebelum aku masuk kuliah terlebih dahulu aku menjalani les di salah satu lembaga bimbel yang terletak sekitar dua jam dari rumah, otomatis aku sudah terlebih dulu merasakan jauh dari rumah, jadi aku tidak terlalu sulit beradaptasi kali ini.
Hidup di tempat baru, bagiku yang penting aku tahu jalan ke kampus dan tempat-tempat makan sekitar kost, selebihnya bisa kucari nanti. Dan satu yang penting, aku rasa aku butuh teman. Tapi bagaimana aku bisa mendapatkan teman jika kepribadianku adalah aku tak begitu suka bergaul. So, let’s see who’s gonna be my next friend.
Sebagai mahasiswa baru tentu aku harus menjalani OSPEK. Hari itu kami melaksanakan persiapan OSPEK, seluruh mahasiswa telah dibagi menjadi beberapa kelompok. Karena OSPEK terdiri dari sesi Fakultas dan sesi Jurusan, maka setiap mahasiswa akan memiliki dua kelompok.
Aku masuk ke dalam kelompok Perubahan untuk sesi Fakultas. Dalam satu kelompok terdiri dari sangat banyak mahasiswa baru, kurang lebih sekitar lima puluh orang. Tentu saja aku tak bisa kenal baik dengan semua, hanya beberapa saja yang ku kenal, tapi tidak dekat, aku tak akan semudah itu dekat dengan teman baru.
Sebagai tipe maba yang tidak heboh dan terkesan invisible, aku tentu tidak terkenal. Saat pemilihan ketua kelompok, ada beberapa maba heboh yang terlihat, salah satunya Risma, dia sangat heboh, terlalu heboh menurutku. Sekali lagi, untuk kesan pertama pada seseorang, aku tidak suka dengan anak itu.
Tidak ada yang istimewa di sesi Fakultas, sesi Jurusan lebih mengena menurutku. Dalam sesi Jurusan aku masuk ke dalam kelompok Bintang, ada sekitar sepuluh orang maba. Seperti biasa, aku tidak terlalu kenal dekat dengan mereka semua. Namun saat sedang duduk mendengarkan arahan kakak tingkat, ada yang berbisik padaku.
“Hei.”
“Aku?”
“Iya, aku Ramon, kamu?”
“Davina.”

“Ini Dedi, ketua kelompok kita.”
Dua orang mahasiswa pria, mereka kemudian bercanda denganku. Saat pulang aku pun diantarkannya. Singkat cerita kami bertiga menjadi sangat dekat. Aku mulai berpikir, ada yang datang menjadi teman dekat, aku harus mulai bersiap mereka akan pergi.
“Bakso yang enak di mana Mon? Kamu kan orang asli sini.”
“Ooh, aku tahu, bakso urat di deket kodim.”
“Ke sana yok.”
“Ayok, berangkat.”
Kami sering pergi bertiga, kadang juga hanya salah dua dari kami, tapi kami memang sangat dekat di awal masa kuliah. Bahkan Anton pun sangat cemburu dengan mereka berdua. Tentu saja, karena setiap dia bertanya aku sedang di mana dengan siapa, pasti nama mereka lah yang aku sebut. Lupakan soal Anton, kali ini fokus pada Ramon dan Dedi.
“Ded, daftar kepengurusan Himpunan Mahasiswa Jurusan gak?”
“Pengen, daftar yok.”
“Ayookk. Ramon daftar yok.”
“Gak ah, aku gak tertarik kegiatan mahasiswa. Hahaaa.”
Dengan mendaftarnya aku dan Dedi maka kami lebih sering bersama, dan Ramon semakin tak sedekat sebelumnya. Memang kami bertiga ini satu kelas, dan tetap bertemu seperti biasa setiap hari, tapi lebih sering aku bersama Dedi daripada Ramon.
Semakin ke sini kelas kami mulai terpecah menajdi beberapa kelompok, ada kelompok pendiam, kelompok heboh, dan kelompok kontraktor (karena mereka kontrak satu rumah). Aku sendiri masuk ke dalam kelompok heboh, sepertinya sisi ekstrovertku mulai muncul, aku mulai menjadi ambivert. Dalam kelompok heboh ada beberapa orang anak, yang jelas ada aku dan Dedi, sedangkan Ramon, dia tak masuk kelompok apapun.
Aku dan Dedi sangat dekat, dan sangat terbuka, kami menceritakan semua hal ke satu sama lain, termasuk urusan hati. Jika orang bilang tak ada persahabatan murni antara lelaku dan perempuan, itu bohong, buktinya sampai sekarang pun tidak pernah sekalipun ada perasaan yang muncul diantara kami.
“Aku pinjam motornya, motorku turun mesin.”
“Kuliahku gimana? Jemput yaa.”
“Siappp.”
Motornya sempat turun mesin, belum sempat dia memperbaiki, sehingga motorku kupinjamkan padanya. Beberapa bulan motorku dibawanya. Tak apa, ke mana pun aku pergi biasanya juga dengan kawan-kawan dan dia. Jika hanya ke sekitar kost bisa kulakukan sendiri.
“Ded…!!!”
“….”
“Banguuuunn.!!!”
“….”
“Kuliaah ayooo.!!”
“….”
“Telat ini lhoooo..!!”
“….”
“ARGH…!!”
Kemarahan terbesarku padanya hanya jika kami harus kuliah di kampus dua yang jauh dan tak bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi Dedi malah selalu bangun kesiangan. Hanya masalah bangun pagi yang aku benci darinya. Setelah paham kebiasaan buruknya itu, pagi-pagi sekali aku harus membangungkannya dulu via telpon, jika memang dia tak bisa bangun, mau tidak mau aku harus mencari tumpangan lain.
Namun marahku tak akan berlangsung lama, aku begitu cepat kembali seperti biasa padanya. Banyak yang bingung tentang aku dan dia. Tapi aku tak mau ambil pusing, niatku hanya saling membantu. Jadi, ya sudahlah. hahaa
Saking dekatnya, bahkan ketika kami naik jabatan, Dedi terpilih menjadi ketua HMJ dan dia memilihku sebagai wakilnya. Orang-orang bahkan bilang kalau kami ini cocok, orang bilang hanya aku yang bisa mengerti dan mengatur Dedi. Tapi kami hanya tertawa saja menanggapinya.
Dari pengalaman sebelum-sebelumnya, aku sudah sangat siap jika harus ada yang pergi lagi dariku. Kesiapanku membuat aku tak lagi mempedulikan apakah orang-orang di dekatku ini menganggapku sahabat atau bukan, karena aku hanya menganggap mereka sebagai teman, termasuk Dedi.
“Davinaaa.”
“Iyaa, apaa?”
“Apa kabar? Lagi sibuk apa?”
“Baiiik, gak lagi sibuk apa-apa, biasa aja. Kenapa? Kamu kangen aku yaaa?”
“Hahaa, lama gak nongkrong bareng nih.”
Iya, kuliah selama kurang lebih empat tahun bersama belum pernah hubungan kami diguncang hal-hal aneh. Kami sering menghabiskan waktu bersama, lebih sering dengan banyak orang, tapi tidak jarang kami hanya duduk berdua di depan kost ku, ngobrol ngalor ngidul sampai lupa waktu dan ditegur tetangga karena sudah terlalu malam.
Setelah kami lulus, kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal. Meski tidak setiap hari pula kami berkomunikasi, tapi setidaknya setiap satu bulan sekali kami saling berkabar. Ingin rasanya bertemu dan bercerita, dia salah satu tempatku curhat. Pembawaannya sangat dewasa, selalu memberikan pendapat dan solusi yang tak pernah bisa kuberikan pada orang lain saat curhat.
Aku tak pernah menganggapnya sebagai sahabat, dan aku tak tahu bagaimana aku di matanya. Yang jelas, aku sangat senang bahwa sampai saat ini kami masih saling ingin tahu kondisi masing-masing, meski tidak setiap hari. Setidaknya tidak seperti mereka-mereka yang pernah kuceritakan sebelumnya.

Terima kasih Dedi, meski kadang dan seringnya kamu menyebalkan, tapi kamu begitu baik kepadaku, dan kamu masih tetap mengingatku meski tak setiap hari dalam hidupmu. Semoga kau senantiasa sehat, sukses, dan menemukan pendamping setia yang baik hati sepertimu. See you on top ya Ded, tetap jadi baik seperti ini ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar