Strangers |
Sebelumnya
aku pernah berkata tentang persahabatan lelaki dan perempuan tidak selalu ada
rasa yang terlibat. Iya, itu antara aku dan Dedi, tapi tidak antara aku dan
Iwan. Iwan, sangat dekat dengan Dedi, dan aku sangat dekat dengan Dedi juga,
mau tidak mau kami sering bersama. Sebenarnya aku tidak secara langsung dekat
dengan Iwan, aku hanya pergi ke mana Dedi pergi, sayangnya Dedi selalu pergi
dengan Iwan, jadilah kami bertiga sering bersama.
Seperti
yang aku katakan, aku dan Iwan tak pernah benar-benar dekat sebagai teman
dekat. Bahkan aku sempat tak suka dengannya saat pertama bertemu di OSPEK.
Iwan, pria berkulit sawo sangat matang (Hahaaa), cukup tinggi, dan kurus.
Sebagai sesama mahasiswa baru kami tak saling mengenal, aku tak berusaha
mengenalnya, begitu pula dia.
“Heh,
titip salam buat temenmu.”
“Ha?
Siapa?”
“Cici,
itu yang cantik, putih. Yang giginya gingsul.”
“Oh,
iya.”
Itulah
percakapan pertama kami saat OSPEK sesi Fakultas. Aku pikir, ini anak pasti playboy, sukanya sama cewek-cewek cantik,
putih, gigi gingsul, rambut lurus teruari, badan langsing, agak pendek,
imut-imut, ya cewek masa kini lah. Euwh, cowok alay, gondes, yang dicari dari perempuan adalah fisiknya. Berasa ingin
muntah aku mengingatnya.