Halaman

Rabu, 22 November 2017

BFF - Does It Exist? (Bab V: Trio Idiot)

Three

 “Mamii, ayo nonton, The Avangers udah keluar nih yang terbaru.”
“Aku ngikut kalian aja.”
“Siippppp…”
Mami, iya, beberapa teman kuliah memanggilku dengan sebutan Mami. Panjang asal-usulnya, yang jelas, aku juga dianggap yang paling kalem dan keibuan. Memang aku lebih suka memperlakukan orang lain seperti aku diperlakukan oleh ibuku. Aku termasuk anak manja, aku selalu diladeni jika butuh apapun, aku tak pernah dimarahi sekalipun aku berbuat salah, ibu hanya akan menasihati dengan lembut menurutku, dan aku suka diperlakukan seperti itu. Dan tanpa dirasa ternyata perilaku ibu juga merasuk ke perilakuku.
Sebelumnya aku sudah sempat menyinggung bahwa dalam satu kelas kami seolah membentu kelompok-kelompok, dan aku masuk ke dalam kelompok anak-anak heboh. Di dalamnya ada Dedi, beberapa anak laki-laki, dan beberapa anak perempuan. Dari seluruh anak dalam kelompok ini pun masih terpecah lagi menjadi beberapa grup, Tri Idiot dulu kami bilang. Dedi, Miftah, dan Iwan selalu bersama, sedangkan aku selalu bersama dengan Risma dan Nana.
Risma, iya Risma, gadis super heboh yang sempat aku singgung sebelumnya. Dia yang dalam hatiku aku berkata bahwa aku tak menyukainya, sekarang justru kami begitu dekat. Lagi-lagi kasusnya begitu, aku rasa lain waktu aku harus berhati-hati jika berkata-kata dalam hati. Setelah Pita, sekarang Risma, Hahaaa. Hidup memang tak pernah bisa ditebak. Mungkin Tuhan tak suka aku menanam benih-benih kebencian pada orang lain, jadi Tuhan membuat scenario agar aku jadi dekat dengan mereka.

Aku mulai dekat dengan Risma saat dia mulai memisahkan diri dari kelompoknya sebelumku, dia agak menjauh karena menganggap gaya hidup kelompoknya terlalu hedon, dan dia merasa tak bisa jika harus terus mengikutinya. Setelah memisahkan diri kemudian dia masuk ke kelompokku, dan sebagai sesama perempuan kami bergaul bersama.
Memang, seperti apa kataku, Risma ini sangat heboh, keras kepala, dan kadang cenderung galak. Tapi lama kelamaan aku mencoba mencocokkan diri dengannya, dan kami bisa cocok untuk bergaul bersama. Sangat dekat, dia pun sering menginap di kost ku, ke mana pun jika ada aku maka ada dia. Meski aku menikmatinya, tetap aku tak percaya adanya sahabat, aku tetap tak menganggapnya lebih dari teman biasa yang kebetulan sedang dekat.
“Mii, Nana sakit.”
“Ya ampun, iya nanti aku ke kost mu ya.”
“Iya Mi.”
“Tahan ya Naa.”
Nana, usianya lebih muda satu tahun dari aku dan Risma, sehingga kami memperlakukannya seperti adik kami. Jika Risma adalah warga asli Jogja, Nana justru perantau dari Sumatra Barat, dan aku berasal dari Jawa Timur. Kami semua berbeda latar belakang, tapi kami bisa dekat saat itu.
Entah bagaimana ceritanya aku dan Nana bisa dekat, aku tak begitu mengingat momennya. Yang jelas Nana dulu sakit-sakitan, dan ibu kost nya sangat tidak ramah. Pernah aku hampir setiap hari datang untuk menungguinya, kadang aku menginap, kadang malam aku pulang. Sampai akhirnya dia tidak mau memperpanjang masa kost nya, dan belum mendapat tempat kost baru. Lalu aku ijinkan diam-diam dia menginap di kost ku sampai beberapa waktu.
Entah berapa lama Nana berada di tempatku, yang jelas kemudian kami menjadi sangat dekat saat itu, terlebih Risma juga sering menginap karena jika kami keluar terlalu malam kasian jika harus pulang sendirian. Kami sangat dekat, semua tentang mereka aku tahu. Risma si anak broken home yang mencoba tegar dan kuat sebagai anak tertua, dan Nana yang sedang dijodohkan tapi tak terlalu menyukainya. Hidup sudah seperti sinetron, bukan, memang sepertinya sinetron diambil dari kisah nyata.
“Mi, Nana gak enak di sini terus ngerepotin Mami.”
“Gakpapa Naa, selama kamu belum dapet tempat ya di sini aja. Ini kan lagi cari.”
“Gak enak ngrepotin Mami terus, Nana pindah ke asrama anak SumBar aja ya Mi.”
“Lhoh, kan jauh Na, udah di sini aja gakpapa.”
“Gakpapa Mi, kan ada motor. Besok Nana mulai pindahin barang-barang Nana ya Mi.”
“Ini beneran?”
“Makasih ya Mi, Mami selama ini udah mau nampung Nana.”
Aku memang suka jika menolong orang yang membutuhkan, terlebih lagi yang aku anggap sedang dekat denganku. Tapi setelah aku berpikir, bukankah jika merasa sangat dekat maka tak akan ada rasa terlalu tidak enak atau merepotkan? Mereka yang merasa mereka merepotkanmu, sebenarnya mencerminkan bahwa mereka tidak sedekat itu denganmu. Jadim sebenarnya selama ini aku masih dianggap orang lain olehnya. Entah mengapa itulah yang ada di pikiranku. Baiklah, sejak awal aku sudah siap, jadi aku biarkan saja bagaimana maunya.
Hari-hari berlalu masih seperti biasanya. Sepulang kuliah beberapa dari kami seperti biasa, berkumpul untuk sekedar makan malam bersama dan bercerita tentang banyak hal. Meskipun setiap hari kami bertemu, tapi selalu ada hal yang bisa dibicarakan. Tapi kami baru sadar, Nana tak lagi selalu ikut berkumpul bersama kami sejak saat itu. Yang lain bertanya padaku, aku hanya menjawab “Entahlah”.
 Di saat yang lain mulai bertanya-tanya, aku tak mau tahu apa yang terjadi. Aku tak tahu dan tak mau tahu, jika memang ia mau bercerita pasti akan diceritakan, tapi jika dia tidak menceritakan apapun maka aku tak akan berusaha bertanya atau mencari tahunya. Itulah aku saat ini, aku tak mau terlalu peduli pada orang. Jika mereka tak peduli padaku, untuk apa aku mempedulikannya.
Tak lama setelah itu aku dan Risma pun mulai tak banyak menghabiskan waktu bersama. Iya, pacarnya baru, dan mereka lebih sering menghabiskan waktu berdua. Aku, aku tak mau tahu dan tak peduli. Jika kau ada ya sudah, jika kau langsung pergi juga terserah.
Suatu saat aku terlambat saat kuliah, biasanya aku duduk di deretan kanan bersama para kubu kanan. Tapi saat itu aku terlambat, karena pintu kelas ada di dekat barisan kubu kiri, mau tidak mau aku duduk di situ. Tak lama setelah aku datang ternyata Nana juga datang, akhirnya dia duduk di sampingku. Di pertengahan kuliah kami sempat mengobrol sebentar, dan sepertinya dia pun mencium bau-bau bahwa aku dan Risma mulai tak terlihat berdua lagi.
“Mi kok duduk di sini, kok gak sama Tante Risma?”
“Aku tadi telat, makannya duduk di sini.”
“Mami sama Tante kenapa? Gak lagi marahan kan? Kayaknya jarang berdua sekarang.”
“Gak kok, gakpapa, pacarnya baru, dia lebih sering pergi sama pacarnya, ya aku sih terserah aja.”
“Tapi kalian gak marahan kan?”
“Gak kok, santai. Kamu sendiri ke mana aja?”
“Sebenarnya anu Mi, maaf, bukannya Nana menjauh, tapi Nana kadang gak bisa ngikutin bercandaan kalian. Ditambah Nana selalu dipantau dan gak boleh pulang malam sama Brian. Daripada Nana dimarahin terus jadi Nana manut aja.”
Ooh, jadi itu alasannya selama ini? Ah terserahlah. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk hidupnya. Aku, akan lebih menyibukkan diri untuk diriku sendiri, tak perlu ambil pusing dengan kehidupan orang lain.
Tak lama kemudian Risma sepertinya mulai lelah, aku tak pernah memulai mendiaminya, sehingga aku tak pernah mau memulai mengajaknya berbicara. Akhirnya suatu saat di kelas dia mengajakku berbicara, dan aku tanggapi saja seperti biasanya. Lama kelamaan dia mulai membersamaiku lagi, alias kami kembali dekat lagi seperti dulu.
Aku lihat Nana sudah menemukan grup yang lain, mereka bertiga terlihat sangat dekat dan selalu bersama. Syukurlah sekarang dia telah menemukan yang cocok dengannya. Dan aku, masih bersama Risma, berdua, dan berganti-ganti pasangan. Maksudnya, kami berdua beberapa waktu dengan dua orang lain yang memang sejak awal dekat, yaitu Rima dan Ana. Kami sering sekali menghabiskan waktu berempat. Sampai entah mengapa kami tak lagi sering berempat. Lalu, kami dekat dengan Ria dan Yuli, kalau yang ini karena kami sering menghabiskan waktu bersama di HMJ, sehingga di luar HMJ pun kami dekat. Meski berganti-ganti, tapi aku dan Risma tetap bersama.

Apakah Risma adalah sosok sahabat bagiku? Entahlah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar