Halaman

Jumat, 17 November 2017

BFF - Does It Exist? (Bab III - Sahabat Hati)

Boyfriend + BFF
Ketidakpercayaanku pada adanya seorang teman begitu fluktuatif. Bersamaan dengan pertemananku dan Pita, aku pun mendapat seorang teman yang lain. Tidak bersamaan sebenarnya, tapi di saat aku dan Pita mulai tak lagi sedekat biasanya, saat itu aku mulai dekat dengan yang lain. Tapi kali ini, bukan sekedar teman, tapi lebih dari teman.
Sore itu sepulang sekolah ada pesan singkat yang masuk. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Sebagai seorang gadis lugu saat itu, aku membalas ala kadarnya.
“Hei, tadi mampir ke mana dulu? Kok gak langsung masuk ke gang rumahmu?”
“He? Maap ini siapa ya?”
“Anton. Aku dapet nomormu dari Doni.”
“Anton? Anton yang mana ya?”
Keesokan harinya aku mencari yang mengaku bernama Anton di kelas Doni, kelas sebelah. Doni adalah salah satu teman SD ku yang bersekolah di SMP yang sama denganku. Saat Doni tahu aku berada di depan kelasnya, dia langsung berjalan menemuiku.
“Nyari siapa?”
“Anton. Anton temenmu?”
“Dia anak VII B. Dicari di sini gak bakal ketemu.”
“Ooh.”
“Kenapa?”

“Kamu bagi nomor aku ke dia?”
“Iya, dia tanya ya aku kasih.”
Memang dulu di usia saat itu kami tentu masih sangat lugu. Apa lagi aku bersekolah di sekolah swasta saat SD, di mana kami tidak terlalu bergaul dengan anak-anak sekolah negeri yang lain. Setelah sedikit percakapanku dengan Doni, aku memutuskan untuk masuk kelas, dan masa bodo dengan siapa Anton itu.
Sebenarnya aku masih bertanya-tanya. Bagaimana bisa si Anton itu meminta nomorku ke Doni, padahal aku tidak merasa mengenalnya, bahkan aku tidak merasa pernah bertemu dengannya. Jadi siapa si Anton ini?
Saat pulang sekolah, seperti biasa, aku berjalan kaki menuju ke rumah. Ada beberapa gerombol anak yang juga berjalan searah denganku. Beberapa adalah temanku satu kelas, beberapa yang lain aku hanya tahu, selebihnya aku tak mengenal. Di tengah perjalanan, di dekat jembatan, ada seorang Bapak-Bapak berkumis mengendarai motor, dari pakaiannya dia adalah seorang tentara. Kemudian dari belakangku ada seorang anak lelaki yang menghampiri Bapak-Bapak itu, dia lalu menaiki motor itu, dan saat akan pergi dia melambaikan tangan ke gerombolan kami.
“Aku duluan ya.”
“Yuuhuu.”
Dengan wajah kebingungan aku menengok ke belakangku, siapa yang dia ajak bicara tadi. Ternyata dia berbicara dengan Dodik, teman sekelasku. Dan aku baru sadar jika sejak dari sekolah dia berjalan dengan gerombolanku, tepat di belakangku. Karena aku sibuk ngobrol dengan kawan sebelahku, jadi aku tidak memperhatikannya.
“Itu siapa Dik?”
“Anton, anak VII B.”
“Temenmu?”
“Tetanggaku, temen SD juga.”
“Ooh.”
“Kan tiap hari jalan bareng juga, masa kamu baru tau.”
Setengah terkejut, aku tetap melanjutkan berjalan. Jadi itu tadi yang namanya Anton, itu tadi anak laki-laki yang mengirimiku pesan singkat. Dan ternyata selama ini dia selalu berada di belakangku. Lucu sekali rasanya, kami selalu berada di satu gerombolan, tapi tak saling mengenal.
“Udah sampai rumah belum?”
What?! Baru sampai rumah dan aku lihat Anton mengirimiku pesan singkat lagi. Hmmmm. Sepertinya dia ingin mendekatiku, atau aku hanya GeEr? Entahlah, ku jawab saja seperlunya.
Meski kujawab seperlunya saja, tapi aku rasa dia semakin intens, atau aku terlihat seperti memberikan harapan? Argh, aku belum siap beranjak remaja dengan urusan cinta-cinta monyet, aku tidak mau. Euwh..!!
“Davina, kamu mau gak jadi pacarku?”
Ya ampuuun, apa dia yakin apa yang dia ketik dan barusan kirim padaku ini? Sudah kuduga, pasti dia menuju kea rah ini. Tidak ah, baru juga masuk SMP, aku tidak ingin berdrama terlalu dini. Tapi apa alasannya agar dia tidak menggangguku lagi?
“Maaf ya Anton, aku lagi suka sama kakak kelas.”
Ooh tidak, kenapa aku berbohong saat itu. Aku tidak sedang menyukai siapa-siapa,  aku hanya tidak mau. Tapi satu kebohongan membuatku harus terlihat agar tidak berbohong, yaitu aku harus mencari kakak kelas dan aku harus terlihat menyukainya jika ada Anton. Argh. Apa-apaan aku ini?
Sekarang lupakan masa kelas VII itu. Aku melanjutkan hidupku sebagai seorang siswi SMP. Tibalah aku di masa kelas VIII, di mana aku tetaplah aku yang tidak popular dan hanya bergaul dengan teman sekelas, itu saja tidak sangat akrab. Sampai pada suatu hari aku dan Melati, kawan sekelasku, kami berjalan bersama menuju toilet, karena kami memang kebelet. Dari toilet menuju kelas, kami harus melewati deretan kelas VIII B sampai kelas kami. Ya, kelas kami, VIII G terletak di pojok sekolah.
Saat melewati kelas VIII D, aku melihat Anton berada di dekat seorang siswa perempuan berkerudung. Sontak aku bertanya pada Melati, siapa tahu dia mengenalnya.
“Itu siapa?”
“Yang kerudungnya mirip punyamu?”
“Iya. Siapa?”
“Imas. Katanya sih pacarnya Anton.”
“Ooh, jadi emang Anton suka sama cewek berkerudung? Syukurlah kalo udah dapet yang baru.”
“Kamu ngomong apa barusan?
“Eh, nggak, ayo cepet jalannya.”
Melihat hal itu aku tidak merasakan apa-apa, biasa saja. Sampai suatu hari Anton datang lagi. Singkat cerita, dia mendekatiku lagi. Lebih singkatnya lagi, saat itu aku pun suka dekat dengannya. Meski tidak ada pastinya tanggal berapa, tapi kami menjalaniinya, kami semakin dekat.
“Ton, aku sebel banget sama sepupu aku, aku tuh tadi beli semangka, cuma seiris, aku taruh kulkas, malah dimakan sama dia. Hiiih. Sebel banget.”
“Sabar, besok kita beli lagi.”
 “Ton, aku tu gak suka sebenernya sama si Lita, dia sok ngedeketin aku biar dia gak dicap cewek nakal. Apa-apaan.”
“Yang penting kamunya gak ketularan nakal kan.”
“Ton….”
“Ton….”
“Ton…”
Anton, bisa membuatku menjadi sosok yang lebih terbuka. Abaikan bahwa kami saling suka, tapi yang jelas, kali pertamanya aku bisa curhat lepas hanya pada Anton. Heran sebenarnya, tapi mungkin ini yang namanya kamu hanya akan menjadi dirimu yang sebenarnya saat bersama orang yang membuatmu nyaman.
Setiap hari di sekolah Pita selalu curhat padaku, dan melihat berbagai masalah di kehidupannya, aku tak berani sedikitpun menambah-nambahinya dengan curhatan masalahku. Tapi sekarang aku punya Anton yang bisa menjadi sahabatku. Dia yang bisa membuatku melepaskan segala keluh kesah yang ada.
Meski kadang tanggapannya sama sekali tidak cocok dengan harapanku, tapi aku lega bisa bercerita. Dan dia lah yang tetap menjadi sahabatku saat orang lain datang dan pergi dari pertemanan denganku. It’s good to have you, Anton.
“Ini jam berapa?! Harusnya kamu udah pulang. Ngapain malem-malem masih di luar?!”
“Aku ini lagi rapat Anton, gak lagi neko-neko, please deh. Ngertiin dikit bisa gak sih.!”
Ya, waktu berlalu, aku dan Anton terpisah jarak karena kami memutuskan melanjutkan studi di Perguruan Tinggi di beda kota. Awalnya aku masih mencoba bertahan untuk LDR. Ya, kami bisa. Apalagi setiap dua minggu sekali bisa dipastikan kami bertemu.
Tapi pertemuan itu tidak merubah apa yang terjadi setiap hari. Tiada hari tanpa pertengkaran. Mungkin kalian belum tahu, aku dan Anton menjalani hubugan yang sangat aneh. Penuh pertengkaran, bahkan sejak kami masih sekolah dulu. Hampir setiap hari bertengkar, dan hampir setiap hari pula aku menangis.
Emosinya begitu meledak-ledak. Dan aku begitu rapuh. Dan kini, saat jauh dan tetap saja seperti itu, aku merasa aku semakin gila. Iya, aku mulai merasa depresi. Memang tak terlihat dari kehidupan sehari-hariku, saat bersama kawan-kawan aku akan tertawa lepas, tapi saat berada di kamar tak jarang aku menangis meronta dan tak segan menyakiti diri sendiri dengan mencubit atau mencakari diriku sendiri. Entah sampai berapa lama aku akan begini dengan sahabatku satu ini.
“Kamu pikir selama ini aku gak nahan sakit?!”
“Jadi, selama ini kamu sakit karena aku?”
“Kamu gak pernah sadar?!”
“Kalau emang aku bikin kamu sakit hati, mending kita udahan aja. Aku gak ma uterus nyakiti kamu."
Baiklah, selama ini aku terus menahan agar tetap memiliki sahabat, tapi sepertinya sahabat yang satu ini juga sudah saatnya pergi. Padahal, bukankah jika memang sayang maka seharusnya engkau berusaha berubah, mengapa justru memilih pergi? Bukankah kekuatan cinta seharusnya bisa merubah segala yang negative menjadi positif? Atau memang sebenarnya tak cinta?
Entahlah apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas malam itu, saat aku tahu aku kembali kehilangan sahabat, aku hanya bisa menangis dengan keras, menutupi kepalaku dengan bantal, hingga air mataku kering dan mataku bengkak.

Aku kembali berpikir, lalu sahabat itu seperti apa? Apakah sahabat benar-benar ada? Karena jika dia yang aku cinta itu aku anggap sahabat, lalu sekarang kami berpisah, maka aku juga harus kehilangan sahabatku. Terlebih perpisahan ini begitu sakit, setelah kurang-lebih tujuh tahun bersahabat, kami tiba-tiba berubah menjadi tak saling kenal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar