Halaman

Minggu, 10 Desember 2017

BFF - Does It Exist? (Bab IX: Kumpulan Hati Tersakiti)

Six Girls
Dari seluruh kelompok heboh dengan seleksi alam kemudian semakin berkurang anggotanya. Kebanyakan dari kami lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman, beberapa dari kami yang masih di sini bekerja dan menjadi semakin sulit berjumpa, beberapa dari kami masih terlibat konflik yang meskipun konflik itu seolah hilang dengan sendirinya tapi tetap saja hubungan tak lagi sama.
Sampailah pada masih terus terjalinnya komunikasi dan silaturahmi antara kami ber-enam. Aku, Uli, Yuli, Ria, Ana, dan Ifa. Iya, cewek-cewek, awalnya kami berenam dan empat perempuan yang lain masih tergabung dalam satu group WA. Setidaknya walaupun mereka sudah berada di tempat jauh namun ingin rasanya tetap berkomunikasi, bertukar kabar, layaknya kawan. Namun setelah konflik dengan Alda dan sikap anehnya dengan Sahrul suaminya, dia keluar dari group, dan rasanya semakin lama semakin berbeda.
Kemudian, Aya, anggota lain yang juga sudah pulang ke rumahnya, sikapnya mendadak menjadi aneh. Semua diawali dari Aya yang tiba-tiba memberi kabar mencengangkan.
“Temen-temen, do’ain ya, BESOK PAGI jam 07.00 aku menikah.”
Respon kami? Semua kaget dengan kabar dari Aya. Setelah dia wisuda dia langsung pulang ke kampong halamannya, dan beberapa waktu kemudian dia memberi kabar ini. Kami kaget, karena begitu mendadak, dan kagetnya lagi ia menikah secara diam-diam, sangat rahasia sepertinya. Dengan siapa? Bukan yang selama ini dia kenalkan pada kami.
“Aku dijodohin, ini pilihan Papaku. Awalnya aku gak mau, tapi yam au gimana lagi.”
Semakin heran, tapi kami berusaha begitu positif dengan berita ini. Respon kami hanya berisi ucapan selamat, do’a, dan turut berbahagia, semoga ini memang yang terbaik untuknya. Di hari H, via group, kami hanya rebut ikut merasa deg-deg an, kami meminta live report atau setidaknya video dan foto saat pernikahan berlangsung.
“Maaf ya temen-temen, tadi gak bawa HP, gak ada acara besar juga, cuma syukuran, jadi gak ada dokumentasi. Tapi lancar kok, makasih ya do’anya.”
Lagi, kami heran. Kami rasa, sesederhana apapun pernikahan, bukankah ini sebuah moment bahagia?
Bagaimana bisa tidak ada dokumentasi sama sekali? Aneh, lagi-lagi kami merasa ada yang aneh sebenarnya. Tapi kami hanya bisa merasa bahagia dan positif jika salah satu dari kami berbahagia.
Setelah kabar menikah, Aya selalu terlihat bahagia. Statusnya di semua media sosial seperti menunjukkan betapa bahagianya dia. Melihat hal itu, kami ikut senang dan bahkan merasa ingin cepat menikah pula karena sepertinya terlihat begitu bahagia.
“Sore ini mau masak ayam goring kesukaannya, biar nanti pulang dia langsung bisa makan lahap. Gak lupa sambelnya yang mantab.”
“Duuuh, Aya, senengnya.”
“Ya ampuun, jadi ikut gak sabar bisa masak buat suami. Heheee”
“Istri yang luar biasaaa.”
Iya, respon kami biasanya hanya seperti itu. Tapi anehnya, Aya benar-benar menyembunyikan siapa suaminya. Tak pernah ia memasang fotonya dengan suami, namanya pun tak pernah disebut meski kami sesekali menanyakannya. Bukankah meskipun ia tunjukkan pada kami siapa suaminya kami tak akan mengenalnya jika memang ia adalah orang dari kampung halamannya, mengapa harus benar-benar ditutup-tutupi? Lagi-lagi keanehan kami rasakan.
Sampai akhirnya Aya menyatakan kalau dia hamil. Siapa yang tak bahagia melihat kawannya hamil, menyenangkan sekali, sebentar lagi kami akan punya keponakan. Kami begitu excited dengan Aya dan kehamilannya. Tapi semua berubah begitu cepat saat kami mulai terlalu excited.
“Ayaa, foto dong yang keliatan perutnya, atau foto perutnya ajaa. Kita pengen tahu bentuk Aya pas hamil. Heheee.”
“Hahaaa, iya yaa, nanti.”
“Ditunggu yaa Mommy.”
“Mom, udah berapa bulan nih? Dedeknya cewek apa cowok?”
“Udah 7 bulan. Cowok nih. Hehee.”
Lhah, beberapa waktu aku sendiri sempat kaget. Sepertinya dari kabar dia menikah sampai sekarang belum sampai 7 bulan. Tapi kami tetap berusaha terlihat supportif. Tapi tiba-tiba Aya mengeluarkan statement aneh di tengah pembicaraan.
“Kalian gak usah mikir yang macem-macem ya, aku tu udah menikah sejak sebelum wisuda tahu. Yang kemarin itu cuma syukurannya aja.!!”
Daaaan, betapa bingungnya kami. Kami bahkan berusaha tak berpikir macam-macam dan hanya berusaha selalu positif karena memang kami tidak tahu menahu soal kehidupan pribadinya, dan itu hak Aya untuk tidak menceritakannya pada kami.
Tapi justru dengan statement itu kami semakin berpikir aneh-aneh. Jika Aya memang sudah menikah sebelum wisuda, mengapa saat wisuda suaminya tidak hadir? Yaaa, mungkin karena sedang berhalangan. Tapi mengapa ia tak pernah bercerita jika sebelumnya dia sudah menikah, mengapa ia baru memberi kabar tentang syukurannya? Yaaa, mungkin karena ada alasan tertentu. Tapi lagi, mengapa saat wisuda, selama di sini Aya masih ke mana-mana bersama Aji yang kami pikir saat itu masih kekasihnya?  Aaahhh, terserah lah. Terlalu rumit jika harus memikirkannya. Kami lebih memilih untuk masa bodo.
Sejak itu Aya tak pernah lagi muncul di obrolan group seperti biasa. Ia seolah menarik diri secara perlahan tapi tidak langsung keluar dari grup. Aku dan lima kawan yang lain ingin sekali membicarakan hal ini, hingga akhirnya kami membuat grup sendiri berisi lima orang ini yang memang saat ini masih berada di sini. Karena Aya diam seribu bahasa, dan yang lain memang sudah sangat jarang mengikuti obrolan kami, kami pun pindah ke grup baru untuk berbagi soal apapun itu.
Hingga kami tahu Aya sudah melahirkan. Kami tahu dari facebook Aya, bukan soal dia mengunggah tentang kelahirannya, tapi saat dia memang sedang menulis status biasa dan beberapa kawannya berkomentar.
“Waaah, Aya udah lahiran yaaa. Aku main ke rumah ya Ay..”
Kebanyakan isi komentar seperti itu, sampai kemudian Ifa ikut berkomentar seperti itu. Tapi tak ada respon balasan. Setelah di cek, komentarnya memang tak dibalas, sementara seluruh komentar yang lain baik sebelum atau sesudah komentar Ifa, hanya komentar Ifa yang tak dibalas. Hmmmm, Aneh.
“Males aku, sakit hati aku dicuekin. Gak inget apa dulu selama masih di sini ngapa-ngapainnya sama siapa. Hiiiih.!!!”
Ifa tiba-tiba menulis itu di grup kami. Yang lain pun tentu ikut merasa sebal. Kami seolah sudah dilupakan. Aneh sekali anak ini.
“Trus ini ngucapin selamat gak di grup yang ada dianya?” Ana menambahkan
Sementara yang lain enggan memulai, Ana lah yang kemudian memulai mengucapkan selamat pada Aya di grup yang masih ada Aya di dalamnya. Setelah itu kami berlima mengikuti mengucapkan selamat, dengan singkat.
“Selamat ya Aya.”
Benar-benar bukan seperti apa yang biasa kami ucapkan. Saat memberi selamat dan ikut berbahagia kami lebih sering berkata-kata mutiara panjang kali lebar, tapi kami terlanjur sebal dan hanya menulis demikian. Keesokan harinya barulah Aya merespon.
“Terima kasih ya teman-teman.”
Hmmmmm. Dan setelah itu grup kembali sunyi senyap tak ada bahasan, karena tentu kami berpindah ke grup baru yang selalu ramai setiap hari. Heran rasanya mengapa mereka-mereka yang telah menikah menjadi bersikap sangat aneh. Pertama Alda, sekarang Aya, apakah pernikahan semengerikan itu sampai-sampai mereka harus meninggalkan dan melupakan teman-teman yang selama ini ada untuk mereka dan bahkan jauh sebelum mereka bertemu dengan suami mereka saat ini.
Semua ini masih menjadi misteri. Sampai akhir-akhir ini sikap Alda dan Aya agak berubah. Alda terkadang mengomentari statusku, dan Aya terkadang mengomentari status Ifa. Jadi mau tidak mau kami mengobrol via chat. Aneh bukan, seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, padahal jelas-jelas perang dingin itu membekas di hati. Tapi yasudahlah, mungkin mereka sendiri yang lelah. Kami? Kehidupan kami bahkan tidak pernah terpengaruh dengan perginya mereka, terlebih karena kami merasa tak pernah berbuat salah pada peristiwa itu, jadi kami selalu bersikap biasa-biasa saja.
Beberapa waktu lalu Ifa keluar dari grup yang ada Aya di dalamnya, tak berapa lama kemudian Aya keluar, dan diikuti yang lainnnya. Bubaaaar. Hahaaa. Tapi kami berenam masih memiliki grup bersama, dan meski tak sering bertemu kami masih hampir setiap hari bertanya kabar dan berbagi pengalaman sehari-hari di tempat kerja masing-masing atau bahkan soal hati.
Kami yang masih berada di satu wilayah, sebisa mungkin paling tidak satu bulan sekali menyempatkan waktu untuk bertemu, meski kadang tak lengkap tapi setidaknya kami bisa berjumpa dan berbagi. Meski aku sendiri sudah mati rasa dengan yang namanya sahabat, dan aku tak juga menganggap mereka sahabat sejati, tapi setidaknya menyenangkan jika ada tempat berbagi.
Meski tak selalu bersama, kadang merasa lega jika masih ada yang mau bercerita dan mendengarkan ceritamu. Meski kadang yang dibahas adalah hal tak penting untuk sekedar bisa tertawa bersama di tempat masing-masing, tapi rasanya bahagia, bahagia bahwa masih ada warna-warni di dalam hidupmu.
Mungkin benar kata pepatah,
Keep your circle small.”
Setelah bertahun-tahun mencari yang cocok, akhirnya kami terkumpul. Bukan sebuah perkumpulan sahabat yang selalu ada bahkan seperti saudara, tapi setidaknya ada tempat berbagi dan menghiburmu, dan mereka yang tak pernah berusaha menyakiti dan pergi dengan meninggalkan bekas luka di hati.
Ciwi-ciwi, terima kasih ya. Keep solid girls…!!!

Love You

Tidak ada komentar:

Posting Komentar