Six Girls |
Dari
seluruh kelompok heboh dengan seleksi alam kemudian semakin berkurang
anggotanya. Kebanyakan dari kami lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman,
beberapa dari kami yang masih di sini bekerja dan menjadi semakin sulit
berjumpa, beberapa dari kami masih terlibat konflik yang meskipun konflik itu
seolah hilang dengan sendirinya tapi tetap saja hubungan tak lagi sama.
Sampailah
pada masih terus terjalinnya komunikasi dan silaturahmi antara kami ber-enam.
Aku, Uli, Yuli, Ria, Ana, dan Ifa. Iya, cewek-cewek, awalnya kami berenam dan
empat perempuan yang lain masih tergabung dalam satu group WA. Setidaknya
walaupun mereka sudah berada di tempat jauh namun ingin rasanya tetap
berkomunikasi, bertukar kabar, layaknya kawan. Namun setelah konflik dengan
Alda dan sikap anehnya dengan Sahrul suaminya, dia keluar dari group, dan
rasanya semakin lama semakin berbeda.
Kemudian,
Aya, anggota lain yang juga sudah pulang ke rumahnya, sikapnya mendadak menjadi
aneh. Semua diawali dari Aya yang tiba-tiba memberi kabar mencengangkan.
“Temen-temen,
do’ain ya, BESOK PAGI jam 07.00 aku menikah.”
Respon
kami? Semua kaget dengan kabar dari Aya. Setelah dia wisuda dia langsung pulang
ke kampong halamannya, dan beberapa waktu kemudian dia memberi kabar ini. Kami
kaget, karena begitu mendadak, dan kagetnya lagi ia menikah secara diam-diam,
sangat rahasia sepertinya. Dengan siapa? Bukan yang selama ini dia kenalkan
pada kami.
“Aku
dijodohin, ini pilihan Papaku. Awalnya aku gak mau, tapi yam au gimana lagi.”
Semakin
heran, tapi kami berusaha begitu positif dengan berita ini. Respon kami hanya
berisi ucapan selamat, do’a, dan turut berbahagia, semoga ini memang yang
terbaik untuknya. Di hari H, via group, kami hanya rebut ikut merasa deg-deg
an, kami meminta live report atau setidaknya video dan foto saat pernikahan
berlangsung.
“Maaf
ya temen-temen, tadi gak bawa HP, gak ada acara besar juga, cuma syukuran, jadi
gak ada dokumentasi. Tapi lancar kok, makasih ya do’anya.”
Lagi,
kami heran. Kami rasa, sesederhana apapun pernikahan, bukankah ini sebuah
moment bahagia?
Bagaimana bisa tidak ada dokumentasi sama sekali? Aneh,
lagi-lagi kami merasa ada yang aneh sebenarnya. Tapi kami hanya bisa merasa
bahagia dan positif jika salah satu dari kami berbahagia.
Setelah
kabar menikah, Aya selalu terlihat bahagia. Statusnya di semua media sosial
seperti menunjukkan betapa bahagianya dia. Melihat hal itu, kami ikut senang
dan bahkan merasa ingin cepat menikah pula karena sepertinya terlihat begitu
bahagia.
“Sore
ini mau masak ayam goring kesukaannya, biar nanti pulang dia langsung bisa
makan lahap. Gak lupa sambelnya yang mantab.”
“Duuuh,
Aya, senengnya.”
“Ya
ampuun, jadi ikut gak sabar bisa masak buat suami. Heheee”
“Istri
yang luar biasaaa.”
Iya,
respon kami biasanya hanya seperti itu. Tapi anehnya, Aya benar-benar
menyembunyikan siapa suaminya. Tak pernah ia memasang fotonya dengan suami,
namanya pun tak pernah disebut meski kami sesekali menanyakannya. Bukankah
meskipun ia tunjukkan pada kami siapa suaminya kami tak akan mengenalnya jika
memang ia adalah orang dari kampung halamannya, mengapa harus benar-benar
ditutup-tutupi? Lagi-lagi keanehan kami rasakan.
Sampai
akhirnya Aya menyatakan kalau dia hamil. Siapa yang tak bahagia melihat
kawannya hamil, menyenangkan sekali, sebentar lagi kami akan punya keponakan.
Kami begitu excited dengan Aya dan
kehamilannya. Tapi semua berubah begitu cepat saat kami mulai terlalu excited.
“Ayaa,
foto dong yang keliatan perutnya, atau foto perutnya ajaa. Kita pengen tahu
bentuk Aya pas hamil. Heheee.”
“Hahaaa,
iya yaa, nanti.”
“Ditunggu
yaa Mommy.”
“Mom,
udah berapa bulan nih? Dedeknya cewek apa cowok?”
“Udah
7 bulan. Cowok nih. Hehee.”
Lhah,
beberapa waktu aku sendiri sempat kaget. Sepertinya dari kabar dia menikah
sampai sekarang belum sampai 7 bulan. Tapi kami tetap berusaha terlihat supportif. Tapi tiba-tiba Aya
mengeluarkan statement aneh di tengah
pembicaraan.
“Kalian
gak usah mikir yang macem-macem ya, aku tu udah menikah sejak sebelum wisuda
tahu. Yang kemarin itu cuma syukurannya aja.!!”
Daaaan,
betapa bingungnya kami. Kami bahkan berusaha tak berpikir macam-macam dan hanya
berusaha selalu positif karena memang kami tidak tahu menahu soal kehidupan
pribadinya, dan itu hak Aya untuk tidak menceritakannya pada kami.
Tapi
justru dengan statement itu kami
semakin berpikir aneh-aneh. Jika Aya memang sudah menikah sebelum wisuda,
mengapa saat wisuda suaminya tidak hadir? Yaaa, mungkin karena sedang
berhalangan. Tapi mengapa ia tak pernah bercerita jika sebelumnya dia sudah
menikah, mengapa ia baru memberi kabar tentang syukurannya? Yaaa, mungkin
karena ada alasan tertentu. Tapi lagi, mengapa saat wisuda, selama di sini Aya
masih ke mana-mana bersama Aji yang kami pikir saat itu masih kekasihnya? Aaahhh, terserah lah. Terlalu rumit jika
harus memikirkannya. Kami lebih memilih untuk masa bodo.
Sejak
itu Aya tak pernah lagi muncul di obrolan group
seperti biasa. Ia seolah menarik diri secara perlahan tapi tidak langsung
keluar dari grup. Aku dan lima kawan yang lain ingin sekali membicarakan hal
ini, hingga akhirnya kami membuat grup sendiri berisi lima orang ini yang
memang saat ini masih berada di sini. Karena Aya diam seribu bahasa, dan yang
lain memang sudah sangat jarang mengikuti obrolan kami, kami pun pindah ke grup
baru untuk berbagi soal apapun itu.
Hingga
kami tahu Aya sudah melahirkan. Kami tahu dari facebook Aya, bukan soal dia mengunggah tentang kelahirannya, tapi
saat dia memang sedang menulis status biasa dan beberapa kawannya berkomentar.
“Waaah,
Aya udah lahiran yaaa. Aku main ke rumah ya Ay..”
Kebanyakan
isi komentar seperti itu, sampai kemudian Ifa ikut berkomentar seperti itu.
Tapi tak ada respon balasan. Setelah di cek, komentarnya memang tak dibalas,
sementara seluruh komentar yang lain baik sebelum atau sesudah komentar Ifa,
hanya komentar Ifa yang tak dibalas. Hmmmm, Aneh.
“Males
aku, sakit hati aku dicuekin. Gak inget apa dulu selama masih di sini
ngapa-ngapainnya sama siapa. Hiiiih.!!!”
Ifa
tiba-tiba menulis itu di grup kami. Yang lain pun tentu ikut merasa sebal. Kami
seolah sudah dilupakan. Aneh sekali anak ini.
“Trus
ini ngucapin selamat gak di grup yang ada dianya?” Ana menambahkan
Sementara
yang lain enggan memulai, Ana lah yang kemudian memulai mengucapkan selamat
pada Aya di grup yang masih ada Aya di dalamnya. Setelah itu kami berlima
mengikuti mengucapkan selamat, dengan singkat.
“Selamat
ya Aya.”
Benar-benar
bukan seperti apa yang biasa kami ucapkan. Saat memberi selamat dan ikut
berbahagia kami lebih sering berkata-kata mutiara panjang kali lebar, tapi kami
terlanjur sebal dan hanya menulis demikian. Keesokan harinya barulah Aya
merespon.
“Terima
kasih ya teman-teman.”
Hmmmmm.
Dan setelah itu grup kembali sunyi senyap tak ada bahasan, karena tentu kami
berpindah ke grup baru yang selalu ramai setiap hari. Heran rasanya mengapa
mereka-mereka yang telah menikah menjadi bersikap sangat aneh. Pertama Alda,
sekarang Aya, apakah pernikahan semengerikan itu sampai-sampai mereka harus
meninggalkan dan melupakan teman-teman yang selama ini ada untuk mereka dan
bahkan jauh sebelum mereka bertemu dengan suami mereka saat ini.
Semua
ini masih menjadi misteri. Sampai akhir-akhir ini sikap Alda dan Aya agak
berubah. Alda terkadang mengomentari statusku, dan Aya terkadang mengomentari
status Ifa. Jadi mau tidak mau kami mengobrol via chat. Aneh bukan, seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya,
padahal jelas-jelas perang dingin itu membekas di hati. Tapi yasudahlah,
mungkin mereka sendiri yang lelah. Kami? Kehidupan kami bahkan tidak pernah
terpengaruh dengan perginya mereka, terlebih karena kami merasa tak pernah
berbuat salah pada peristiwa itu, jadi kami selalu bersikap biasa-biasa saja.
Beberapa
waktu lalu Ifa keluar dari grup yang ada Aya di dalamnya, tak berapa lama
kemudian Aya keluar, dan diikuti yang lainnnya. Bubaaaar. Hahaaa. Tapi kami
berenam masih memiliki grup bersama, dan meski tak sering bertemu kami masih
hampir setiap hari bertanya kabar dan berbagi pengalaman sehari-hari di tempat
kerja masing-masing atau bahkan soal hati.
Kami
yang masih berada di satu wilayah, sebisa mungkin paling tidak satu bulan
sekali menyempatkan waktu untuk bertemu, meski kadang tak lengkap tapi
setidaknya kami bisa berjumpa dan berbagi. Meski aku sendiri sudah mati rasa
dengan yang namanya sahabat, dan aku tak juga menganggap mereka sahabat sejati,
tapi setidaknya menyenangkan jika ada tempat berbagi.
Meski
tak selalu bersama, kadang merasa lega jika masih ada yang mau bercerita dan
mendengarkan ceritamu. Meski kadang yang dibahas adalah hal tak penting untuk
sekedar bisa tertawa bersama di tempat masing-masing, tapi rasanya bahagia,
bahagia bahwa masih ada warna-warni di dalam hidupmu.
Mungkin
benar kata pepatah,
“Keep your circle small.”
Setelah
bertahun-tahun mencari yang cocok, akhirnya kami terkumpul. Bukan sebuah
perkumpulan sahabat yang selalu ada bahkan seperti saudara, tapi setidaknya ada
tempat berbagi dan menghiburmu, dan mereka yang tak pernah berusaha menyakiti
dan pergi dengan meninggalkan bekas luka di hati.
Ciwi-ciwi,
terima kasih ya. Keep solid girls…!!!
Love You…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar