Halaman

Minggu, 05 November 2017

BFF - Does It Exist? (Bab I: Aliran Kesendirianku)

Bullied
Masa kecil anak yang lahir di tahun 90’an masih erat dengan lapangan, kebun, sungai, sawah, dan tentunya matahari. Begitu menyenangkan jika mengingat bagaimana setiap siang aku, sepupu, dan teman sebayaku selalu mempersiapkan tas yang berbentuk koper masa itu, dan mengisinya dengan berbagai perlengkapan. Kami selalu membawa boneka favorit masing-masing, aku, membawa sebuah boneka Hello Kitty putih dengan baju berwarna merah-hijau. Kusiapkan pula kotak bekal makan dan kuisi dengan biskuit atau snack yang ada di rumah dan sebotol air putih. Tak lupa kain yang kami pakai sebagai alas duduk. Dan salah satu benda yang wajib kubawa adalah selendang tipis milik nenek.
Setiap siang kami selalu sudah mempersiapkan jadwal, mau ke mana kita hari itu. Salah satu destinasi favorit kami adalah sawah di desa kami. Rumah kami berada di sebuah desa di salah satu Kabupaten di Jawa Timur, sudah bukan lagi desa yang suasananya seperti desa, sudah sedikit modern tapi masih menjunjung nilai-nilai kedesaan. Hahaa
Untuk menuju ke sawah, kami menggeledek tas koper kecil kami dari rumah dengan berjalan kaki. Berjalan panas-panasan sekitar lima belas menit sambil bercerita-cerita dan menyanyi-nyanyi di jalan. Sesampainya di sawah, kami akan mencari bagian lahan yang kering dan tidak ditanami, atau kadang kami singgal di lapangan samping sawah itu.
Sesampainya di sana kami buka tas masing-masing, aku menggelar kain alas, mengeluarkan makanan, dan tidak lupa boneka. Lalu kami akan tidur-tiduran sambil menghabiskan biskuit yang kami bawa dan bercerita, atau jika ada warga sekitar yang bermain layangan maka kami akan menikmati layang-layang itu dan kadang mencoba menerbangkan layangan meski hasilnya tak bisa terbang tinggi.
Jika mulai bosan maka kami akan mengemasi barang-barang dan berjalan menuju sungai untuk menyegarkan kaki, iya, hanya keceh karena aku tak bisa berenang dan kami tahu diri bahwa berbahaya jika masuk ke sungai. Jika bosan juga maka kami akan melanjutkan perjalanan, biasanya kami akan mencari pohon talok, kami mengambil buahnya, bahkan kami begitu lihai memanjat pohon-pohon talok tersebut. Aku rasa kami memanjat pohon sampai bisa melihat atap rumah-rumah, dan melihat matahari yang mulai menuju ufuk barat, cahaya-cahaya jingga yang mulai menyemburat mewarnai langit. Saat itulah kami memutuskan untuk pulang.
“Heuh”
Sesampainya di rumah aku merebahkan badan, lelah, tapi tak terasa, begitu menyenangkan. Ingin rasanya aku menikmati masa kecil itu lagi. Aku langsung bersiap mandi dengan air yang sangat dingin.
“Love love Minky momo, cobalah kau dengarkan, love love Minky Momo, yang ada di hatiku.”

Hahaaa, mandi sambil bernyanyi, berteriak-teriak meski tahu suaraku berisik. Menyabun badan sambil menari-nari, menggoyangkan seluruh badan, memegang wadah pasta gigi seolah memegang mic, dan belagak sedang mengadakan konser di dalam kamar mandi.
“Davinaaaaaaa…! Mandi jangan lama-lama..! Masuk angin nanti..!”
“Iyaaaa..”
Baru setelah diteriaki aku akan menyudahi konserku. Kuselesaikan mandiku dan berganti baju dengan baju tidur bunga-bunga berhiaskan kelinci favoritku. Setelah mandi aku bersiap memporakporandakan ruang TV dengan buku-bukuku. Mengerjakan PR sambil menonton kartun favoritku, iya aku tahu itu hanya akan memperlambat selesainya PR ku, tapi biar saja yang penting kan selesai.
Kuhabiskan malam dengan TV, bercanda ria dengan ibu, sepupu, dan nenekku. Setelah sekitar pukul 21.00 aku akan langsung mengantuk dan tidur. Iya, keluarga kami sangat tepat waktu untuk urusan tidur. Setiap sudah pukul Sembilan malam kami akan segera mengunci pintu-pintu rumah, mematikan lampu ruang tamu, dan masuk ke kamar masing-masing untuk tidur. Tapi seringnya aku akan tiduran di depan TV sampai TV yang menontonku tidur.
Pagi tiba, dan mulailah fase yang tidak aku suka dari hidupku saat itu, sekolah. Aku selalu sudah terbangun saat adzan subuh berkumandang, maklum, rumah nenek mepet dengan masjid, jadi suara masjid sangat terdengar. Meski sudah bangun, kadang aku memutuskan untuk memejamkan lagi.
“Davinaaa, udah jam 06.00, ayo mandi.”
Hampir setiap hari ibuku membohongiku. Jam 05.00 dibilangnya jam 06.00 agar aku bangun. Tak pernah aku berusaha mengecek jam dulu, meskipun aku tahu ibu pasti berbohong, tapi aku akan langsung bangun Terlebih mencium bau masakan ibu yang setiap setelah sholat subuh langsung menyiapkan sarapan.
Setelah mandi, ibu akan menyuapiku sembari aku mempersiapkn diri untuk sekolah. Iya, meski sudah SD aku tetap disuapi ibu, bukan karena manja atau apa, agar lebih efisien saja. Tak lupa setelah sarapan aku meminum segelas susu, lalu minum satu sloki suplemen penambah darah, wajib. Kata ibu biar sehat, terlebih karena aku pernah mengalami Demam Berdarah, jadi harus dijaga badannya. Sekitar jam enam lebih lima belas menit aku pamit, mencium tangan ibu dan nenek, lalu aku berangkat.
“Jamnya udah?”
“Udah nek.”
“Topi, dasi, ikat pinggang, bukunya jangan ada yang ketinggalan.”
“Iya nek, udah semua.”
“Kalau ketinggalan telpon ya.”
“Iya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Dan aku berangkat sekolah berjalan kaki, untuk sampai di sekolah aku butuh waktu sekitar setengah jam berjalan kaki. Saat berangkat biasanya aku menghampiri temanku, Tya dan Ina karena arah kami sejalan. Jika mereka belum berangkat maka kami akan berangkat bersama, jika mereka sudah berangkat aku akan berangkat sendiri. Tapi seringnya aku lebih suka berjalan sendiri.
Aku sudah terlatih menyeberang jalan sejak kecil karena selalu berjalan kaki ke sekolah. Berjalan melewati pasar, jembatan, alun-alun, masjid agung kotaku, gedung DPRD, dan sampailah aku di sekolahku tercinta. Aku cinta sekolahku karena aku belajar banyak hal di sini. Tapi aku benci sekolah. Bertolak belakang? Iya, memang.
Aku merasa sangat bahagia di rumah, bermain ke sawah, lapangan, bersepeda, namun itu semua sangat berbeda setelah aku di sekolah. Aku tidak pernah merasa tertekan dengan pelajaran, meskipun aku saat itu sekolah di sebuah sekolah swasta Islam. Iya, ada beberapa mata pelajaran tambahan di mana kami wajib menghafalkan hadist-hadist, Juz ‘Amma, berlatih ceramah, dan banyak lagi di samping mata pelajaran umum. Ditambah lagi sekolahku mengadaptasi sistem full day school dengan berbagai ekstrakulikuler seperti paduan suara, pramuka, pencak silat, keputrian, dan lain-lain, sehingga mulai kelas IV aku akan lebih sering pulang sore. Aku suka belajar, aku bahkan merasa sangat mudah untuk mempelajari itu semua. Tidak pernah aku merasa tertekan dengan sistem pendidikan di sekolahku, aku suka, apalagi guru-gurunya menyenangkan. Tapi aku tertekan dengan hal lain, teman-temanku.
Entah ini hanya sekolahku atau semua sekolah seperti ini, banyak hal yang aku alami. Aku tidak akan banyak menceritakn kronologinya, mungkin hanya akan aku daftar apa saja yang pernah terjadi. Yang jelas aku merasa aku adalah korban bully. Ini beberapa hal yang terjadi di sekolahku:
1.      Akan ada satu kelompok anak dengan satu pimpinan “Boss”.
2.      Geng anak-anak nakal ini suka sekali menjaili anak-anak yang lain.
3.      Aku bukan termasuk yang suka dijaili, tapi aku termasuk yang suka dijauhi karena aku tidak pernah mau membantu mereka saat ulangan. Aku selalu belajar sebelum ulangan, dan aku takut mencontek sehingga aku selalu berusaha untuk jujur mengerjakan sendiri, karena ini hasil pekerjaanku sendiri maka aku tidak mau berbagi, alhasil setelah ulangan aku selalu dijauhi alias “gak dibolo”. Hal itu membuatku menjadi penakut dan lebih suka sendiri. Sampai saat ini bahkan aku masih suka merasa lebih baik sendiri dari pada harus bersosialisasi dengan orang lain di luar sana, aku merasa aku introvert.
4.      Aku tahu mereka hobi “ngrasani” alias membicarakan kejelekan anak-anak lain di belakang mereka. Kadang aku hanya sebagai pendengar, dan seringnya akulah yang mereka bicarakan, dan aku tahu mereka sedang menjelek-jelekkanku di belakang, tapi aku tetap diam. Aku diam karena aku takut berusrusan dengan mereka.
5.   Mereka jahat hingga bermain fisik, salah satu temanku pernah didorongnya saat berlari-larian sampai jatuh dan menangis.
6.      Mereka kadang meminta uang anak lain untuk jajan.
7.   Mereka suka mengejek berlebihan jika ada yang salah menjawab di kelas, jadi aku lebih memilih diam jika guru bertanya “Ada yang bisa?”. Aku takut dijadikan bahan ejekan. Dan kebiasaan itu membuatku takut untuk beropini di depan orang banyak, dan masih membekas sampai sekarang.
8.    Mereka bahkan pernah memasukkan air kencing ke gelas berisi es sirup dan memberikannya ke teman yang lain untuk diminum. Aku tidak habis pikir betapa jahatnya mereka. Aku takut jika melaporkan mereka maka aku akan dijahati, tapi aku juga merasa kasian dengan temanku yang dijahati itu.
9.  Mereka sangat sering mengejek anak-anak lain dengan sebutan jahat seperti “Gajah”, “Tompel”, “Cebol”, dan lain-lain. Aku rasa itu jahat, aku tidak tahu yang mereka ejek sakit hati atau tidak, yang jelas bagiku itu jahat.
10.  Saat kerja kelompok terlebih jika satu kelompok dengan anak-anak nakal itu, mereka tidak mau ikut mengerjakan, alhasil aku akan mengerjakan semua sendiri, memastikan pekerjaanku selesai dan sesuai harapan. Karena itulah sejak kecil aku sulit percaya dengan orang lain, jika harus kerja kelompok, aku harus memastikan semua beres, jika tidak, aku lebih memilih mengerjakannya sendiri. Dan kebiasaan itu masih terbawa sampai sekarang.
11.  Entah siapa, tapi salah satu dari mereka pernah melaporkanku ke guru bahwa aku makan saat sholat, lalu salah satu guru mendatangiku, mencubitku, dan memarah-marahiku memintaku mengaku dan meminta maaf. Sejak saat itu, dalam hati aku membenci guru itu. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah mulutku gatal saat sholat dan aku menggaruknya, mungkin terlihat seperti aku sedang memasukkan sesuatu ke mulut, tapi mana mungkin aku makan saat sholat. Yang jelas pasti yang melapor adalah salah satu dari anak-anak jahat itu.
Masih banyak hal yang terjadi. Meski mereka jahat, aku heran mengapa aku tetap berteman dengan mereka dan menganggap seolah tak ada apa-apa saat itu. Aku bahkan tidak pernah menceritakannya pada ibuku, padahal setiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan waktu setengah jam sampai satu jam untuk menceritakan hari-hariku di sekolah, tapi aku selalu melewatkan cerita tentang hal-hal itu. Sampai lulus aku masih berteman dengan mereka, tapi dalam hati aku tetap memberi label jahat pada mereka. Kami berteman, tapi kami tidak pernah akrab.
Sampai saat ini, meskipun mereka masih ada dan menjalani kehidupannya, begitu juga denganku, aku tak pernah menganggap mereka temanku. Banyak hal bahagia saat aku kecil khususnya di masa SD, namun semua seolah tertutupi dengan sakit hatiku pada mereka. Aku bahkan sudah lupa apa saja yang mereka lakukan tapi sakit hati itu masih terasa.
Aku terkesan jahat jika aku menyimpan dendam pada mereka yang dulu bersikap nakal karena orang bilang wajar jika anak kecil itu nakal. Tapi aku justru semakin dendam dan benci karena perlakuan merekalah yang secara tidak langsung membuatku berkepribadian seperti ini. Andai saja aku tidak berkepribadian seperti ini, aku rasa aku bisa lebih baik dan lebih besar dari apa yang telah aku capai saat ini. Entah bagaimana dengan yang lain, mungkin mereka telah melupakan semuanya, tapi aku begitu sulit untuk memaafkannya.
Memang percuma menyalahkan masa lalu. Kita hanya bisa berusaha lebih untuk masa depan. Tapi semakin ke sini aku semakin merasa benci dengan masa-masa kecilku yang menahanku untuk melesat lebih jauh lagi. Iya, masa kecilku membuatku menjadi anak yang biasa-biasa saja. Karena aku tumbuh menjadi seseorang yang penyendiri, penakut, tak berani beropini, tak suka bersosialisas dan berinteraksi, takut mencoba, pendiam, pemalu, dan sangat biasa-biasa saja.
Aku benar-benar menyesal tumbuh menjadi anak yang biasa-biasa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar