Halaman

Rabu, 19 April 2017

Cinta Monyet Raka dan Syifa (Bab III - We Were So Happy)

Aduuh, bagian ini merupakan bagian tersulit dan yang paling tidak aku sukai. Bagaimana tidak, semua ingatan dan kenangan tentang betapa bahagianya kami dulu seperti sudah luntur. Bukannya alay, berlebihan, atau mengada-ada. Nanti akan kuceritakan di akhir bab ini bagaimana itu bisa terjadi padaku. Yang jelas saat ini akan kuceritakan apa yang sekiranya masih aku ingat. Oiya, untuk Pangeran (Cintaku sekarang), maafkan aku ya, bukannya aku masih ingin mengingat-ingat tentang masa lalu yang paling tidak kau sukai dariku ini, hanya saja aku ingin menceritakan pada orang lain agar hal bodoh yang tidak menyenangkan yang pernah terjadi padaku tidak menimpa yang lainnya. Heheee, I love you Pangeran.
Okay, mungkin bagian ini tidak akan panjang, tapi akan aku coba untuk memulainya, karena percayalah bahwa sepahit apapun sesuatu hal pasti ada hal manis di dalamnya, meski sekarang manis itu sudah tertutup oleh pahit yang begitu besar. Hahaa
Dimulai dari betapa Raka bisa membuatku tertawa di masa-masa awal kita bertemu. Sebert yang sudah ku bilang, aku tidak begitu ingat bagaimana cara dia melucu atau membual dan berhasil membuatku tertawa. Yang jelas saat itu aku suka. Aku mau membuka diri juga karena dia bisa berhasil membuatku tertawa meski tadinya kita tidak benar-benar saling mengenal.
Selain itu, dengannya selalu saja mulut kami tidak bisa berhenti berbicara. Kalian pasti tahu kan bagaimana rasanya jika kalian sedang bersama seseorang dan salah satu dari kalian berhenti merespon, dan pembicaraan terhenti, kemudian kalian seolah sibuk sendiri, dan masing-masing berusaha mencari tema atau topic baru untuk diobrolkan. Awkward, iya, sangat aneh ketika harus melalui tahap itu. Tapi hal itu tidak pernah aku lalaui dengan Raka. Kami selalu menemukan sesuatu hal untuk dibicarakan, apapun itu, tidak akan berhenti sampai kami benar-benar ingin menghentikan pembicaraan.

Aku sebenarnya bukan tipe orang yang banyak bicara, aku lebih suka mendengarkan, dan aku akan mendengarkan apa pun yang dia katakana. Mulai dari gossip kawan-kawan di sekolah (jangan salah, ternyata pria juga suka menggosip), games, sampai ke pemain sepak bola dia ceritakan padaku.
“Hun, Christiano Ronaldo mendapat sepatu emas tahun ini. Luar biasa kan ya Hun?”
“Waaah, iya kah? Hebat sekali. Ngomong-ngomong, apa itu sepatu emas? Pasti mahal ya?”
Hahaa. Meski aku tak tahu dan tak mau tahu siapa itu Christiano Ronaldo, Bale, Ramos, atau meskipun aku tak tahu apa itu pangkat Tengkorak, Diamond, Bintang, Head Shot, dan apa pun itu, tetap saja dia ceritakan padaku. Raka memang sangat cerewet, padahal aku rasa aku tidak perlu tahu semua itu, tapi tetap saja dia ceritakan. Mungkin dia berharap jika aku paham maka akan semakin menyenangkan jika kami bisa membicarakan hal yang dia suka bersama. Aku iyakan saja, yang penting dia bahagia. Hahaa
Selain mendengarkannya menjadi hobi untuk menambah wawasanku, yang paling berkesan adalah, Raka lah satu-satunya tempat aku curhat. Seperti kataku, aku bukanlah orang yang terlalu suka bicara, aku tumbuh cenderung menjadi seorang pendengar. Kawan-kawan sekitarku bilang aku adalah pendengar yang baik, sangat cocok jika mereka ingin curhat, terlebih jika tujuannya hanya ingin mencurahkan isi hati dan tidak untuk meminta solusi atau bantuan. Dari situlah aku banyak mendengar curahan hati kawan-kawanku, beberapa merupakan curahan tentang hal yang kurang menyenangkan, masalah, dan bahkan menyakitkan hati. Iya, memang semua orang pasti memiliki masalah dan bisa saja sakit hati, namun karena terlalu sering mendengar curhatan tentang masalah orang lain, aku jadi segan untuk gentian menceritakan masalahku pada mereka, karena aku takut hanya menambah beban pikiran mereka, padahal bisa saja mereka juga tidak peduli dan tidak akan memikirkan curhatanku. Tapi tetap saja aku tidak mau untuk curhat pada siapapun sampai-sampai ada yang menyebutku tertutup karena mereka tidak tahu apapun tentangku. Padahal ya pasti aku pun memiliki masalah, terutama saat itu tentang keluargaku yang banyak menyita emosi. Dan satu-satunya tempat untuk curhat adalah Raka, dan dari dia lah aku belajar untuk curhat, karena masalah yang kau pendam sendiri hanya akan membuatmu stress dan bisa saja sakit. Terima kasih ya Raka sudah menajdi pendengar setiaku saat itu.
“Neng…! Halo…! Heh…! Neng…! Wes bobok to? Woooo kulino (kebiasaan)..”
Hahaaa, karena memang kampus tempat belajar setelah SMA kami berbeda, kami pun harus LDR, meski tidak terlalu jauh, namun tetap saja judulnya LDR. Raka mengambil sekolah kesehatan di Semarang, dan aku mengambil sekolah keguruan di Jogja. Iya, tidak terlalu jauh, bahkan dua minggu sekali kami pasti bertemu, namun tetap saja lebih banyak tidak bertemunya. Tapi yang aku suka, dan mungkin memang dilakukan semua pasangan LDR adalah komunikasi kami yang selalu kami coba jaga. Tanganku seolah dituntut untuk selalu memegang ponsel di mana pun aku berada. Setiap hari, dan yang pasti setiap malam kami pasti saling menelepon, jaman kami dulu belum ada telpon dengan social media seperti saat ini, sehingga kami benar-benar telepon menggunakan pulsa berjam-jam tiap malam. Waktu telepon adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu. Dan kebiasaanku adalah ketika mendengarkan dia berbicara aku bisa sampai tertidur karena aku sangat mudah tertidur jika aku sudah merebahkan badan di kasur dan baru dia akan mematikan teleponnya jika aku sudah tidak menjawabnya karena tertidur. Jika banyak dari kalian yang selalu basa-basi saling melempar untuk menutup telepon, hal itu seolah tidak berlaku bagi kami dulu. Salah satu (dan seringnya aku) akan tertidur karena sudah terlalu lelah sehingga tidak perlu bingung siapa yang harus menutup telepon, karena Raka lah yang akan melakukannya. Hehee
Seperti yang aku katakana sebelumnya, dia begitu ingin aku memahami apa yang dia suka, dan bahkan jika bisa aku juga menyukai apa yang dia suka itu. Setiap dua minggu sekali dia akan menyempatkan untuk mendatangiku ke Jogja. Dia akan berangkat di hari Sabtu setelah pulang kuliah, dan kembali ke Semarang Minggu malam atau Senin pagi. Beberapa kali aku diajaknya untuk nobar pertandingan sepak bola klub yang sangat dia sukai. Aku sih tidak begitu paham, tapi ya aku menghargai dan mengiyakan untuk diajaknya. Meski tidak paham, tapi aku suka usahanya untuk tetap melibatkanku di kegiatannya, dia tidak memberatkan salah satu sehingga aku pun juga senang-senang saja, apalagi jika klub yang dia suka menang, aku pun turut bahagia. Namun jika kalah dan dia kecewa, aku merasa di situlah tugasku untuk membuatnya kembali ceria di tengah suasana yang sedikit tegang.
Apa lagi ya…?
Hmmm….
Mungkin masih banyak momen-momen bahagiaku dengan Raka saat itu. Tapi aku benar-benar tidak bisa banyak mengingat hal manis dan segala kebaikannya padaku. Dan aku tidak ingin memaksa otak ini untuk memutar kembali apa yang pernah terjadi, karena bukannya merasa kangen atau bahagia, justru rasa sakit yang muncul bersamaan dengan memori itu. Mungkin kalian bertanya-tanya, sepahit apa akhir hubungan kami sehingga aku bisa menjadi terlalu berlebihan menanggapi rasa sakit itu. Sebenarnya kami berpisah hanya karena hal sepele, namun begitu menusuk di hati. Setelah ini pasti akan kuceritakan.

#To be continued
#Gambar di atas bukan milik penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar