Halaman

Rabu, 19 April 2017

Cinta Monyet Raka dan Syifa (Bab II - Ku Panggil Apa Cinta Monyetku?)


Hey kalian, kalian anak-anak kelahiran tahun 90’an, jaman masih sekolah dulu kalian panggil apa pasangan (cinta monyet) kalian?
“Sayang…”
“Cintaa…”
“Hunny…”
“Hubby…”
Atau
“Ayah – Bunda”, dan
“Papa – Mama”
Panggilan apa yang pernah kalian gunakan? Kalau aku dulu dengan Raka sering sekali berganti-ganti panggilan, karena kami mudah sekali bosan, dan dengan berbagai pertimbangan yang tidak penting maka kami sering mengganti panggilan.
Aku tak ingat betul apa saja panggilan yang kami gunakan dulu. Yang jelas yang paling ku ingan adalah 4 (empat) panggilan. Yang pertama adalah,
“Cintaa.”
Hahaaa, lucu bukan, sepasang remaja yang bahkan belum memiliki KTP saat itu sudah berani-beraninya memanggil satu sama lain dengan sebutan CINTA. Padahal tahu apa itu cinta saja belum tentu. Tapi kami begitu menikmati panggilan itu, tapi jika dirasa-rasakan panggilan itu begitu aneh terdengar jika harus memenggal suku katanya. Coba saja, jika kupenggal dengan “Cint” maka kesannya seperti kami sedang berdialog layaknya para pria yang kewanitaan, iya kan (*peace) ? Kemudian jika yang dipakai adalah suku kata terakhir yaitu “Ta”, maka juga terdengar aneh, seperti sebua film tanpa klimaks, begitu datar dan aneh. Sampai pada akhirnya kami mengganti panggilan entah karena apa.
“Papa – Mama”

Eeewwhhh. Risih rasanya sekarang kalau inget dulu pernah paki panggilan itu. Jijik banget gak sih. Ya bukan berarti sebutan itu jijik, tapi, helloooooo… anak seusia itu sok-sok an panggil Papa – Mama, nikah aja belum udah pake panggilan kayak gitu. Entah dulu dari mana asalnya sebutan itu. Yang jelas entah mengapa saat itu rasanya biasa saja, tapi setelah semakin dewasa dan mengingatnya, rasanya benar-benar,…argh. Euwh, hish, iiihhhh. Bisa-bisanya dulu panggil begitu. Udah kayak orang tuaku aja panggilnya begitu. Parahnya, saking terbiasanya memanggil dengan panggilan itu, kadang di depan umum atau di sekolah pun secara tidak sengaja kami saling memanggil dengan sebutan itu. Dan alhasil, teman-teman sekelas masa SMA jadi memanggil kami dengan sebutan itu, seolah kami berdua menjadi Pak-Mbok mereka di kelas. Sampai sekarang pun meski kami sudah tidak bersama, beberapa dari mereka masih menyebut kami begitu. Panggilan itu begitu melekat. Jadi heran, tapi aku menerima saja sih sampai sekarang, karena bagiku mereka yang memanggilku begitu bukan lagi ingin mengingatkanku pada masa itu, tapi memang karena panggilan “Mamah” ditujukan atas sikap keibuanku, hahahaaa. Cukup lama nyaman dengan panggilan itu, kami kemudian beralih ke panggilan lain karena merasa “Papa-Mama” terlalu euwh untuk remaja, haha.
“Hunny”
Entah kapan tepatnya kami berganti memanggil satu sama lain dengan panggilan “Hun”, tapi seingatku sekitar setelah kenaikan kelas XII SMA. Yakali…, semakin bertambah umur mungkin kami semakin sadar atas ke-alay-an kami, dan entah juga datangnya dari mana panggilan itu, mengalir saja rasanya dan kami mengiyakan untuk terbiasa memanggil “Hun” satu sama lain. Kami sangat menikmati panggilan itu, karena rasanya lucu, lebih dewasa, dan lebih romantis. Iya gak sih? Atau menurutku saja? Haha. Namun tidak lama setelah masuk kuliah kami berganti panggilan. Tidak lagi dengan panggilan yang menurutku lebih lucu dan romantic itu.
“Abang – Eneng”
Sama seperti panggilan-panggilan sebelumnya, entah apa sejarah yang melatarbelakangi panggilan ini. Semakin ke sini memang kami semakin realistis dan lebih dewasa aku pikir. Dan aku begitu menikmati panggilan tu, berharap Raka menjadi sosok Abang untukku dan dapat mengerti, melindungi, dan mengayomi. Hahaa, macam polisi saja bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun nyatanya, meski aku pikir evolusi panggilan yang menjadi semakin dewasa ini juga sejalan dengan pribadi kami berdua yang semakin dewasa pula, ternyata tidak seindah harapanku. Justru di fase dengan panggilan paling dewasa menurutku inilah ternyata kami malah mengakhiri hubungan. Hahaaa, lucu ya, hati memang tak bisa dihitung dengan rumus ilmu pasti apakah berbanding lurus atau berbanding terbalik dengan variabel yang lain.  Setelah semuanya berakhir, tentu tak ada lagi panggilan khusus selain nama kami.
“Raka – Syifa”
Semua kembali seperti awal, kami pun sekarang memanggil dengan sekedar panggilan nama. Lebih parahnya, sepertinya kami sudah tidak pernah saling memanggil lagi kali ini. Banyak hal yang membuat kami justru menghindari untuk bertemu satu sama lain meski itu dalam kegiatan bersama kawan-kawan jaman sekolah dulu. Hahaa, soal itu akan aku ceritakan nanti. Tapi yang jelas kami sudah seperti orang asing lagi saat ini, tak perlu bingung bagaimana cara memanggil satu sama lain, karena kami tidak akan saling memanggil lagi.

#To be continued
#Gambar di atas bukan milik penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar