Halaman

Jumat, 14 April 2017

Cinta Monyet Raka Dan Syifa (BAB I - How I Met Him)

BAB I
HOW I MET HIM


“But sometimes it can get so hard Pretending It’s Okay.”  - Little Mix
Ketika mendengar lagu ini, langsung terbesit dalam ingatanku tentang seseorang yang pernah menjalin hubungan denganku. Berpura-pura memang menjadi salah satu hal yang wajib kulakukan untuk tetap menjaga hubunganku saat itu. Aku, yang pemarah tapi tak bisa untuk marah. Aku yang ketika tak menyukai sesuatu yang dilakukannya hanya akan diam dan menangis. Setelah itu, yang harus aku lakukan adalah berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, jika tidak bisa berbeda lagi ceritanya. Namun jangan dulu ingin membaca tentang hal ini, karena aku benar-benar akan menceritakannya dari awal. Jadi, simpan dulu rasa penasaran kalian, karena paragraph awal ini justru akan kujelaskan nanti di akhir.
Oh iya, kenalkan namaku Syifa. Sepenggal cerita di atas adalah aku ketika menjalin hubungan dengan seseorang, sebut saja dia Raka. Seorang remaja satu sekolah denganku yang kemudian menyatakan cintanya padaku. Saat itu kami masih berada di Sekolah Menengah Pertama. Untuk hitungan remaja pun kami masih sangat awal, #cintamonyet orang bilang.
Saat itu aku dengan segerombolan teman sekolah di kelas VII pulang dari sekolah bersama berjalan kaki. Kami memang terbiasa pulang bersama bagi yang rumahnya tak terlalu jauh dari sekolah dan satu jalur. Satu per satu dari kami memisahkan diri pulang ke rumah masing-masing. Saat itu salah satu dari kami dijemput oleh Ayahnya di jalan, entah siapa dia, aku tak mengenalnya meski dia bersama gerombolanku saat itu. Dia pergi dan aku pun acuh karena aku tak mengenalnya.
Sampai pada suatu hari seseorang mengirim pesan singkat dan mengaku sebagai teman dari temanku satu kelas. Aku iyakan saja, aku anggap dia hanya salah seorang teman yang ingin berkenalan. Ternyata lebih dari itu, aku yang saat itu masih terlalu lugu menerima pesan bahwa dia menyukaiku dan ingin menjadi lebih dari seorang teman. Pikiran pertama yang muncul adalah,
Yuck, ill-feel. Apaan sih ni anak, kenal aja enggak.”

Bukankah ini terlalu cepat? Tidak ada PDKT dan memang aku masih belum sampai pada fase menyukai lawan jenis saat itu. Kutolak lah dia dengan alasan aku tidak menyukainya dan menyukai kakak kelas. Padahal itu hanya alasan, karena aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menolak seseorang, jadilah aku berbohong. Dari kebohonganku itu untunglah aman, dia tidak lagi menghubungi dan bahkan tidak pernah lagi berjalan pulang bersama dengan gerombolanku. Secepat itu kah dia pergi karena sakit hati kutolak? Aku tak peduli.
Kujalani hari-hari layaknya siswi SMP biasa sampai akhir kelas VIII takdir mempertemukan kami kembali. Di Minggu Pagi kala itu aku mengikuti sebuah uji coba Ujian Akhir Sekolah yang diadakan oleh sebuah Lembaga Bimbel di daerahku. Seperti biasa, ke mana pun aku selalu berjalan kaki Karen amemang saat itu aku belum begitu lancer mengendarai motor. Di tengah perjalanan tiba-tiba seseorang yang mengendarai motor berhenti dan memanggilku. Ditawarilah aku untuk pulang ke rumah berboncengan dengannya. Iya, memang benar tebakan kalian, Raka lah yang saat itu memberi tumpangan. Sampai rumah dia pun langsung pulang. Benar saja, pertemuan itu mungkin mengingatkannya bahwa ia pernah menyukaiku dulu. Dan sejak saat itu juga dia mulai mengirimiku pesan singkat lagi, semakin rutin dan semakin rutin.
Awalnya aku merasa risih dan aneh dengan perilakunya. Terlebih gossip yang muncul bahwa dia juga sedang dekat dengan seseorang di kelasnya. Namun semakin rutin dia mengirimiku pesan singkat, semakin sering pula rasanya kami berpapasan entah di jalan, atau di sekolah. Dan aku pun tak tahu apakah itu semua hanya kebetulan atau memang dia benar-benar mencari momen yang tepat untuk bisa berpapasan denganku. Ha…ha… GeEr sekali aku ini, tapi memang bisa saja kan, jika memang saat itu niatnya ingin kembali mendekatiku. Namun sayangnya saat itu aku sedang menjalin #cintamonyet dengan seorang pemuda kawan sepupuku yang sempat tinggal di tempatku saat dia melaksanakan praktik kerja lapangan, namun sekarang dia sudah kembali ke kota asalnya sehingga kami harus LDR. Yak, diumur semuda itu memang belum pernah terpikir akan sakralnya cinta dan setia, namanya juga #cintamonyet. Meskipun sedang menjalani LDR tapi di sisi lain aku merespon segala perhatian yang Raka berikan. Jahat ya aku? Ah tidak, karena diumur sebelia itu belum kurasakan yang dikatakan cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, masih benar-benar merasa biasa saja. Hingga tak begitu sulit jika harus bertindak seperti itu.
Saat itu sekolahku mengadakan kegiatan wisata ke luar kota, Malang tepatnya. Malam sebelumnya Raka menemuiku di rumah seorang tetanggaku, entah apa yang kami bicarakan saat itu di latar rumah, aku tak lagi bisa mengingatnya, namun yang jelas saat itu kami benar mulai dekat. Sampai keesokan harinya, meski kami berbeda kelas sehingga berada di bus yang berbeda, sepanjang perjalanan kami terus berkirim pesan. Dia terus mengirimiku pesan manis dan perhatian-perhatian kecil ala remaja saat itu. Kadang aku pun terbawa suasana dan tersenyum ketika membaca pesannya. Sejak saat itu pun aku mulai heran, seseorang yang berkata adalah “pacarku” saat itu justru tak mengirimiku pesan sama sekali. Ya, ternyata di waktu yang bersamaan aku mulai renggang dengannya, sedangkan di sisi lain aku mulai dekat dengan Raka.
Setiap hari Rabu aku memang mengikuti eksrakulikuler Bahasa Inggris di sekolah, sehingga setiap hari Rabu itu juga aku harus pulang lebih sore dan harus pulang berjalan kaki sendiri, karena gerombolanku taka da satupun yang mengikuti kegiatan yang aku ikuti itu. Saat aku berjalan keluar dari gerbang sekolah tetiba saja ada yang memanggil dari belakang,
“Syifaaaaaa, pulang sendiri? Ayo, aku antar pulang, kebetulan kegiatanku sudah selesai.”
Yak, ternyata itu Raka yang mengaku mengikuti ekstrakulikuler Karawitan yang berlangsung di hari yang sama dengan ekstrakulikuler Bahasa Inggris. Aku pikir lumayan juga, saat itu sudah sore dan aku harus berjalan sendiri, jadi ku-iya-kan saja tawarannya. Tak sempat aku berpikir apa iya dia mengikuti ekstra Karawitan saat itu, atau hanya menunggu aku pulang. Karena saat itu dia sudah berpakaian biasa, tak lagi berseragam, sedangkan kegiatan ekstra dimulai terlalu mepet dengan jam pulang sekolah. Dan aku pun tak yakin jika dia bisa bermain gamelan. Namun pikiran itu justru baru terpikir olehku saat kutulis cerita ini. Hahaa, dasar bodoh, bisa saja aku percaya dengan modusnya.
Baiklah, lupakan segala bentuk tipu daya yang Raka ciptakan hanya untuk memodusiku, namun saat itu memang momen yang sangat tepat sepertinya. Aku bertengkar hamper setiap malam dengan dia yang berada jauh dariku. Bertengkar tentang betapa aku tak menyukai perilakunya sehari-hari yang ia ceritakan padaku. Karena aku belum paham soal cinta, lalu hanya logika yang berputar. Mana mungkin aku bisa terus-terusan menjalin sesuatu dengan seseorang yang katanya tobat untuk minum dan tawuran tapi ternyata masih saja melakukannya? Aku, lahir di keluarga dan lingkungan yang jauh dari hal seperti itu, jadi aku putuskan untuk menyudahinya saja. Mungkin kalian berpikir, halah paling aku memutuskannya gara-gara Raka. Bisa iya bisa tidak, tap memang momennya bisa begitu tepat.

Setelah kembali jomblo saat itu, aku tidak langsung saja membuka pintu lebar-lebar untuk Raka. Kami hanya menjalani hari sama seperti sebelumnya. Iya, aku tahu bahwa dia memang menyukaiku, tapi aku masih ingin melihat apakah aku merasakan bunga-bunga bertebaran di hatiku. Benar saja, semakin hari komunikasi semakin intens, semakin hari kami semakin dekat, sampai pada suatu hari dia mengungkapkan bahwa dia menyukaiku secara terang-terangan melalui pesan singkat. Dan sontak ku balas bahwa aku juga menyukainya. Saat itulah kami menganggap kami sudah berada di level yang lebih dari seorang teman. 

To be continued.................. 

# Gambar di atas bukan atas hak milik penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar