Halaman

Minggu, 22 Oktober 2017

Putri & Pangeran (Bab VII: Redemption..?!)

Redemption

Suaranya begitu keras dan lantang saat berteriak. Tangan dan kakinya begitu ringan melempar atau menendang sesuatu saat marah. Ditambah emosinya begitu mudah berubah dan meledak-ledak. Ya Tuhan, ada apa ini? Apa salahku? Pangeran sekarang terlihat seperti Raka, bahkan lebih ganas dan mengerikan lagi. Apa dosaku setelah keluar dari kandang macan lalu harus masuk ke kandang singa?
Pangeran ternyata begitu hobi memainkan games di ponselnya. Saat itu ia begitu terobsesi dengan “Clash of Clans”. Setiap hari ketika bersama ia selalu memegang ponselnya dan memainkan game itu. Dulu, sempat aku ingat bahwa Raka juga memainkan game itu, namun aku selalu memarahinya ketika ia terus berkutik dengan ponsel saat kita bersama, bayangkan jika bertemu hanya satu atau dua minggu sekali lalu hanya dihabiskannya dengan game, tentu aku akan marah.
Namun ternyata hal yang sama terjadi padaku dan Pangeran, dan parahnya, karena hampir setiap hari kami bertemu dan menghabiskan waktu bersama, mau tidak mau aku harus melihatnya memainkan game yang harus ia mainkan itu, ya karena baginya itu tanggungjawabnya pada rekan satu clan jadi dia akan tetap bermain jika sudah tiba saatnya bermain meskipun saat itu ada aku di sampingnya. Tapi aku pikir itu tak akan menjadi masalah, karena kami hampir setiap hari bertemu, tentu masih banyak waktu bersamanya, jadi aku biarkan saja dia bermain sesukanya, selama tak merugikanku maka aku santai saja.
Tapi ternyata ini bukan soal waktu yang dihabiskan bersama, aku sama sekali tak cemburu dengan game itu, namun ada hal lain yang mengganjalku. Ketika berhadapan dengan game ternyata Pangeran menunjukkan sisi lainnya, bukan lagi Pangeran yang manis dan lucu, tapi ia seketika berubah menjadi Pangeran yang garang dan sangat kasar, terlebih saat ia harus menghadapi kekalahan saat pertandingan.

Jangan paksa aku mendeskripsikan bagaimana kemarahan Pangeran, aku sangat tidak menyukainya, tentu kalian sudah sedikit tahu bagaimana Pangeran saat marah dari cerita-ceritaku sebelumnya. Ya, dari permainan inilah semua berawal, dan aku begitu heran Pangeran bisa berubah 180° dari sebelumnya. Awalnya aku hanya kaget dan sedikit menangis memintanya untuk mengontrol diri dalam bermain game, sampai berbusa mulutku menasihatinya bahwa permainan itu tidak berhak mendapat perhatian lebih hingga menguras tenaga, pikiran, dan emosinya. Namun semua itu nihil, percuma dan sama saja. Terlebih Pangeran telah terlebih dahulu mengenal game itu daripada aku. Ia rela tak tidur semalaman demi tahta akun permainannya terus meningkat. Layar ponselnya pun sampai rusak dan harus diperbaiki karena terlalu sering ia banting saat marah.
Kucoba untuk mempelajari apa yang membuat Pangeran begitu mencintai permainan itu. Meski aku bukanlah orang psikologi, namun aku mencoba mempelajari gejala jiwa yang ada pada Pangeran ini. Setelah kucari-cari berbagai referensi, penyebab seseorang terlalu fanatik terhadap sesuatu hal adalah:
“Hal itulah satu-satunya yang bisa memberikan kebanggaan pada dirinya.
Sehingga sesuatu itulah yang ia anggap sebagai harga dirinya.”
Dari situlah aku tahu kuncinya, Pangeran ternyata belum menemukan Jati Dirinya. Bukan, bukan jati diri juga, tapi dia hanya salah menempatkan kebahagiaannya saja. Seharusnya seseorang tidak menggantungkan kebahagiaannya pada siapapun, bukan games, tim sepak bola, sahabat, bahkan kekasih ataupun keluarga dekat. Diri kita sendirilah yang bisa memilih apakah kita akan bahagia atau tidak.
Maksudku, memiliki perasaan sedih dan kecewa atas seseorang atau sesuatu hal tentu wajar, namun jika kemudian sedih dan kecewa itu menjadi terlalu berlebihan apalagi jika diungkapkan dengan hal-hal yang tak benar bahkan melukai diri sendiri atau orang lain, itu yang menjadi masalah. Iya, kadang jika sudah terlalu emosi dengan games nya, Pangeran bisa memukul lantai, pintu, atau bahkan mengadu kepalanya sendiri dengan tembok.
Saat awal hubungan, yang biasa aku lakukan saat Pangeran emosi ya hanya bisa terkaget, mencoba menenangkan, dan jika tak mempan maka aku diam dan menangis sembari memeluknya berharap ia akan menurunkan amarahnya. Tapi lama-lama, aku seperti menjadi kebal dan kesal. Tak lagi aku kaget, jika dia mulai marah aku hanya akan meliriknya dengan sinis dan kesal, jika mood ku sedang baik paling aku hanya akan diam dan sedikit mengomel. Tapi jika tidak, maka aku akan menjadi bumbu pedas untuk sambal.
Iya, kadang aku terpancing dan ikut emosi melihat tingkahnya, ketika aku complain, yang terjadi adalah emosinya justru semakin besar dan akan ia salurkan pula padaku. Jika aku sedang dalam keadaan tak baik (PMS mungkin) maka aku akan menimpalinya. Iya, api bertemu api, atau mungkin api bertemu bensin, suasana akan semakin panas. Kalimat-kalimat tak jelas akan bermunculan dari mulut kami berdua.
“Cuma games kayak gitu dibikin pusing…!!”
“Ini penting bagiku..!!”
“Penting mana, aku atau games mu??!!”
Games nomer satu..!!!”
Yak, wanita mana yang tak hancur mendengar kalimat itu. Tapi aku pun bodoh, memang pertanyaan itu tak seharusnya kulontarkan pada Pangeran yang sedang marah. Bagaimana bisa Pangeran berpikir jernih jika dalam posisi penuh emosi amarah. Dulu seringkali kami beradu emosi hingga aku yang menangis. Atau bahkan hingga Pangeran mulai bermain fisik, kami saling menampar, untung tak lebih jauh dari menampar pipi atau menendang kaki, masih bisa kuatasi, lagian aku dulu pernah mengikuti Pencak Silat saat masih di bangku SD, paling tidak aku tahu bagaimana menangkis dan melawan, fisikku tak kalah tangguh dengan Pangeran. Hahaaa
Aku dan Pangeran mencoba membiasakan diri menyelesaikan semua masalah langsung saat itu juga, mungkin aku sudah pernah mengatakannya. Seringkali meskipun sudah sampai tahap tampar menampar, ujung-ujungnya aku yang menangis. Setelah aku menangis maka Pangeran akan luluh dan barulah emosi kami berdua turun dan bisa membicarakan semuanya baik-baik. Tapi kadang aku berpikir, lelah jika harus terus begini, Pangeran tak pernah mau berubah dengan bisa mengendalikan emosinya.
Kadang jika aku merasa sedang lelah dan mood ini tak mendukung untuk menanggapi emosi Pangeran dengan baik dan lembut aku akan langsung complain lagi. Terlebih jika Pangeran berkata bahwa ia hanya ingin dimengerti, sontak aku langsung emosi. Bagaimana bisa jika harus akuuuuu terus yang mengerti, yang mengalah dan memahami. Aku begitu sering mempertanyakan padanya, mengapa hanya aku yang harus berusaha memahami, mengapa tidak kamu yang berusaha berubah?

Hingga suatu hari aku termenung dan memikirkan tentang apa yang telah kami alami selama ini. Aku yang kadang merasa tinggi, merasa bahwa tak akan mungkin ada yang tahan dengan tingkahnya jika itu bukan aku, sekarang aku coba berpikir dari sudut pandang lain. Aku rasa benar adanya bahwa aku adalah redemption bagi Pangeran. Kulihat bagaimana perubahannya yang aku anggap tak ada, ternyata begitu besar. Sejak saat itu, hingga kini, aku masih percaya dan terus berusaha bersama. Tak akan lagi aku mempertanyakan usahanya untuk berubah. I believe we can do this together..!Suaranya begitu keras dan lantang saat berteriak. Tangan dan kakinya begitu ringan melempar atau menendang sesuatu saat marah. Ditambah emosinya begitu mudah berubah dan meledak-ledak. Ya Tuhan, ada apa ini? Apa salahku? Pangeran sekarang terlihat seperti Raka, bahkan lebih ganas dan mengerikan lagi. Apa dosaku setelah keluar dari kandang macan lalu harus masuk ke kandang singa?
Pangeran ternyata begitu hobi memainkan games di ponselnya. Saat itu ia begitu terobsesi dengan “Clash of Clans”. Setiap hari ketika bersama ia selalu memegang ponselnya dan memainkan game itu. Dulu, sempat aku ingat bahwa Raka juga memainkan game itu, namun aku selalu memarahinya ketika ia terus berkutik dengan ponsel saat kita bersama, bayangkan jika bertemu hanya satu atau dua minggu sekali lalu hanya dihabiskannya dengan game, tentu aku akan marah.
Namun ternyata hal yang sama terjadi padaku dan Pangeran, dan parahnya, karena hampir setiap hari kami bertemu dan menghabiskan waktu bersama, mau tidak mau aku harus melihatnya memainkan game yang harus ia mainkan itu, ya karena baginya itu tanggungjawabnya pada rekan satu clan jadi dia akan tetap bermain jika sudah tiba saatnya bermain meskipun saat itu ada aku di sampingnya. Tapi aku pikir itu tak akan menjadi masalah, karena kami hampir setiap hari bertemu, tentu masih banyak waktu bersamanya, jadi aku biarkan saja dia bermain sesukanya, selama tak merugikanku maka aku santai saja.
Tapi ternyata ini bukan soal waktu yang dihabiskan bersama, aku sama sekali tak cemburu dengan game itu, namun ada hal lain yang mengganjalku. Ketika berhadapan dengan game ternyata Pangeran menunjukkan sisi lainnya, bukan lagi Pangeran yang manis dan lucu, tapi ia seketika berubah menjadi Pangeran yang garang dan sangat kasar, terlebih saat ia harus menghadapi kekalahan saat pertandingan.
Jangan paksa aku mendeskripsikan bagaimana kemarahan Pangeran, aku sangat tidak menyukainya, tentu kalian sudah sedikit tahu bagaimana Pangeran saat marah dari cerita-ceritaku sebelumnya. Ya, dari permainan inilah semua berawal, dan aku begitu heran Pangeran bisa berubah 180° dari sebelumnya. Awalnya aku hanya kaget dan sedikit menangis memintanya untuk mengontrol diri dalam bermain game, sampai berbusa mulutku menasihatinya bahwa permainan itu tidak berhak mendapat perhatian lebih hingga menguras tenaga, pikiran, dan emosinya. Namun semua itu nihil, percuma dan sama saja. Terlebih Pangeran telah terlebih dahulu mengenal game itu daripada aku. Ia rela tak tidur semalaman demi tahta akun permainannya terus meningkat. Layar ponselnya pun sampai rusak dan harus diperbaiki karena terlalu sering ia banting saat marah.
Kucoba untuk mempelajari apa yang membuat Pangeran begitu mencintai permainan itu. Meski aku bukanlah orang psikologi, namun aku mencoba mempelajari gejala jiwa yang ada pada Pangeran ini. Setelah kucari-cari berbagai referensi, penyebab seseorang terlalu fanatik terhadap sesuatu hal adalah:
“Hal itulah satu-satunya yang bisa memberikan kebanggaan pada dirinya.
Sehingga sesuatu itulah yang ia anggap sebagai harga dirinya.”
Dari situlah aku tahu kuncinya, Pangeran ternyata belum menemukan Jati Dirinya. Bukan, bukan jati diri juga, tapi dia hanya salah menempatkan kebahagiaannya saja. Seharusnya seseorang tidak menggantungkan kebahagiaannya pada siapapun, bukan games, tim sepak bola, sahabat, bahkan kekasih ataupun keluarga dekat. Diri kita sendirilah yang bisa memilih apakah kita akan bahagia atau tidak.
Maksudku, memiliki perasaan sedih dan kecewa atas seseorang atau sesuatu hal tentu wajar, namun jika kemudian sedih dan kecewa itu menjadi terlalu berlebihan apalagi jika diungkapkan dengan hal-hal yang tak benar bahkan melukai diri sendiri atau orang lain, itu yang menjadi masalah. Iya, kadang jika sudah terlalu emosi dengan games nya, Pangeran bisa memukul lantai, pintu, atau bahkan mengadu kepalanya sendiri dengan tembok.
Saat awal hubungan, yang biasa aku lakukan saat Pangeran emosi ya hanya bisa terkaget, mencoba menenangkan, dan jika tak mempan maka aku diam dan menangis sembari memeluknya berharap ia akan menurunkan amarahnya. Tapi lama-lama, aku seperti menjadi kebal dan kesal. Tak lagi aku kaget, jika dia mulai marah aku hanya akan meliriknya dengan sinis dan kesal, jika mood ku sedang baik paling aku hanya akan diam dan sedikit mengomel. Tapi jika tidak, maka aku akan menjadi bumbu pedas untuk sambal.
Iya, kadang aku terpancing dan ikut emosi melihat tingkahnya, ketika aku complain, yang terjadi adalah emosinya justru semakin besar dan akan ia salurkan pula padaku. Jika aku sedang dalam keadaan tak baik (PMS mungkin) maka aku akan menimpalinya. Iya, api bertemu api, atau mungkin api bertemu bensin, suasana akan semakin panas. Kalimat-kalimat tak jelas akan bermunculan dari mulut kami berdua.
“Cuma games kayak gitu dibikin pusing…!!”
“Ini penting bagiku..!!”
“Penting mana, aku atau games mu??!!”
Games nomer satu..!!!”
Yak, wanita mana yang tak hancur mendengar kalimat itu. Tapi aku pun bodoh, memang pertanyaan itu tak seharusnya kulontarkan pada Pangeran yang sedang marah. Bagaimana bisa Pangeran berpikir jernih jika dalam posisi penuh emosi amarah. Dulu seringkali kami beradu emosi hingga aku yang menangis. Atau bahkan hingga Pangeran mulai bermain fisik, kami saling menampar, untung tak lebih jauh dari menampar pipi atau menendang kaki, masih bisa kuatasi, lagian aku dulu pernah mengikuti Pencak Silat saat masih di bangku SD, paling tidak aku tahu bagaimana menangkis dan melawan, fisikku tak kalah tangguh dengan Pangeran. Hahaaa
Aku dan Pangeran mencoba membiasakan diri menyelesaikan semua masalah langsung saat itu juga, mungkin aku sudah pernah mengatakannya. Seringkali meskipun sudah sampai tahap tampar menampar, ujung-ujungnya aku yang menangis. Setelah aku menangis maka Pangeran akan luluh dan barulah emosi kami berdua turun dan bisa membicarakan semuanya baik-baik. Tapi kadang aku berpikir, lelah jika harus terus begini, Pangeran tak pernah mau berubah dengan bisa mengendalikan emosinya.
Kadang jika aku merasa sedang lelah dan mood ini tak mendukung untuk menanggapi emosi Pangeran dengan baik dan lembut aku akan langsung complain lagi. Terlebih jika Pangeran berkata bahwa ia hanya ingin dimengerti, sontak aku langsung emosi. Bagaimana bisa jika harus akuuuuu terus yang mengerti, yang mengalah dan memahami. Aku begitu sering mempertanyakan padanya, mengapa hanya aku yang harus berusaha memahami, mengapa tidak kamu yang berusaha berubah?
Hingga suatu hari aku termenung dan memikirkan tentang apa yang telah kami alami selama ini. Aku yang kadang merasa tinggi, merasa bahwa tak akan mungkin ada yang tahan dengan tingkahnya jika itu bukan aku, sekarang aku coba berpikir dari sudut pandang lain. Aku rasa benar adanya bahwa aku adalah redemption bagi Pangeran. Kulihat bagaimana perubahannya yang aku anggap tak ada, ternyata begitu besar. Sejak saat itu, hingga kini, aku masih percaya dan terus berusaha bersama. Tak akan lagi aku mempertanyakan usahanya untuk berubah. I believe we can do this together..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar