Halaman

Senin, 22 Mei 2017

CInta Monyet Raka dan Syifa (Bab V - Aku Akan Menjadi Apa Yang Kau Pikirkan)


Sebelumnya sudah kalian ketahui bagaimana sikap pemuda tinggi kurus dan agak putih itu. Iya, Raka terlalu pencemburu, awalnya aku begitu merasa bahagia saat kutahu dia cemburu jika aku dekat dengan orang lain. Bagaimana tidak, kalian tahu kan cemburu itu tanda cinta, tanda jika dia menyayangimu. Sedikit geli bagai tergelitik namun begitu berbunga-bunga hingga rasanya kupu-kupu di dalam perut ini terus beterbangan membuatku ingin tersenyum bahagia mengetahui bahwa dia menyayangiku. Terlalu berlebihan untuk ukuran seorang anak SMA, tapi mungkin saat itu aku merasa sudah dewasa, padahal aku belum cukup dewasa untuk memahami semua permainan yang mengatasnamakan hati itu.
Di awal aku begitu berbunga-bunga mengetahuinya cemburu namun seiring perjalanan aku merasa ada yang berbeda dari diriku. Saat Raka memperlihatkan rasa cemburunya itu, tak lagi aku merasa bahagia dan berbunga-bunga. Tak lagi aku merasa bahagia karena tahu dia mencintaiku. Sebab semakin kau dewasa kau semakin tau bagaimana deskripsi cinta yang tak bisa didefinisikan ini. Tak seperti cinta monyet, ketika semakin dewasa kau tau, indicator seeorang menyayangimu tak lagi hanya “Rasa Cemburu”. Ada hal lain yang perlu kau pahami untuk bisa mencintai dan menyayangi seseorang, yaitu “Percaya”.
Sekali dua kali tiga kali Raka cemburu memang sangat lucu dan membuatku tertawa. Tak jarang dia bersikap seperti anak kecil, manja, melakukan hal-hal yang membuatku harus memperhatikannya. Sesekali dia mencolek-colek, memainkan rambutku, ingin diambilkan minum, memintaku menyuapinya, dan hal-hal konyol lain yang mencerminkan bahwa dia sedang cemburu dan memintaku memperhatikannya lebih dari biasanya. Okelah, hal-hal seperti itu masih bisa diterima, dan aku pun suka jika dia bersikap lucu seperti itu.
Tapi semakin ke sini ungkapan rasa cemburunya mulai berubah. Tak lagi ada sikap manis nan manja. Jika ia tahu aku sedang dekat dengan seorang pria, yang padahal tak ada ikatan dan tak ada rasa, hanya dekat karena situasi dan kondisi secara professional, maka sikapnya langsung berubah. Kelinci kucing manis itu berubah menjadi harimau dalam sekejap. Berawal dari jawaban-jawaban ketus, nada yang meninggi, hingga tembok tak berdosa yang selalu menjadi sasaran tinjunya, dan argumen-argumen anti mengalahnya yang ia tinggalkan begitu saja dengan motornya yang ia gas layaknya sedang berada di posisi terdepan untuk balapan. Perih rasanya hati jika ia pergi dalam keadaan emosi dan masalah yang masih menggantung seperti itu.
Lalu bagaimana denganku? Aku hanya bisa bersikap layaknya gadis remaja yang lain yang hidup penuh drama, masuk kamar, membuka selimut, menutup wajah dengan bantal dan menangis sekeras mungkin hingga mata bengkak dan umbel bercucuran. Terkadang aku berpikir, apakah aku yang terlalu berlebihan, atau memang hampir semua gadis seperti ini? Mengapa aku harus tercipta untuk memiliki rasa seperti itu.
Situasi tegang yang menggantung seperti itu tak akan bisa kembali tenang seperti semula jika bukan aku yang kemudian menurunkan ego, berharap semua kembali baik-baik saja, dan yang menjadi kunci andalanku adalah “meminta maaf meski kau tau kau tak berbuat salah”. Dia akan langsung menurunkan tensi itu dan semua akan menjadi apa yang kau inginkan. Tapi apakah aku memang tercipta untuk merendah, dan meminta maaf selamanya? Bukankah hubungan ini adalah antara aku dan dia? Mengapa harus aku yang berjuang sendiri? Mengapa bukan dia yang merendah dan bisa memahamiku?

Pernah sekali kucoba, ketika ia mulai marah besar, aku tak mau mengalah lagi. Dan aku bukanlah tipe orang yang bisa selalu marah besar dan berteriak-teriak dengan emosi, aku adalah tipe amarah dalam diam. Aku akan diam jika aku marah, sehari dua hari tiga hari aku diam dan tak memperdulikannya apa lagi menyapanya. Hingga mungkin dia menjadi sangat marah karena aku tak lagi seperti biasanya. Mungkin dia sedang menunggu-nunggu kapan aku akan merendah seperti biasanya. Amarahnya semakin menjadi-jadi hingga suatu saat di sekolah, saat jam pulang sekolah, di saat dia lelah menungguku merendah, dia memaki-makiku dan meneriaki aku “ANJING…!!!!” dihadapan semua orang. Seketika aku hancur, hujan deras saat itu seolah mewakili perasaanku, aku tak lagi bisa berkata-kata apapun saat dia begitu saja pergi. Entah apa yang terjadi, malam harinya dia tiba-tiba datang ke rumah dan membawakanku boneka anjing. Aku terheran-heran, apa maksudnya melakukan ini. Dia meminta maaf dan aku putuskan untuk menyudahi kesedihanku, aku lupakan apa yang sudah terjadi, aku maafkan dia begitu saja. Coba katakana padaku, aku ini terlalu bodoh atau memang itu yang seharusnya aku lakukan?
Sejak saat itu aku menjadi mematri di hati bahwa tak sepantasnya aku bersikap seperti itu. Aku meyakinkan diri bahwa memang cinta itu saling melengkapi, jika dia sedang tak terkontrol, aku harus bisa merendah dan menenangkannya. Aku tak boleh menjadi bensin untuk apinya. Tak boleh lagi aku berharap untuk dipahami dan saling memahami, selagi aku masih bisa memahami dan menerimanya, maka tak akan ada masalah di antara kami.
Benar saja, kami seolah hidup dengan lebih damai. Aku tetap menjadi seseorang yang meminta maaf dan menjadi kunci selesainya masalah. Akhir masalah selalu aku yang meneteskan air mata sengaja untuk membuatnya tenang dan melupakan segala api yang menyala-nyala itu. Selain pemaaf, aku menjadi begitu sensitive, sangat mudah bagiku untuk meneteskan air mata meskipun aku tak ingin, aku merasa sudah seperti aktris yang begitu piawai berakting. Akan kuteteskan air mataku di depannya, membuatnya iba, dan aku meminta maaf agar semuanya selesai. Namun dibalik itu, justru setelah semua selesai barulah aku menangis, benar-benar menangis, bukan untuk membuat siapapun iba. Aku mengurung diri di kamar dan menangis, sesekali menyakiti diri sendiri dengan mencubit, menyakar, dan memukuli diri sendiri. Di saat itulah aku terus berpikir sampai kapan aku harus seperti itu.
Lama kelamaan aku menjadi seperti seseorang yang terkena gangguan psikis. Dan kadang aku berpikir bahwa aku ini gila. Apa yang aku tunjukkan dihadapan orang adalah apa yang ingin mereka lihat, bukanlah diriku sebenarnya. Tangis itu hanya akan pecah saat aku sendiri. Tak jarang tengah malam aku terbangun dan menangis hanya untuk bisa tertidur lagi, teringat bagaimana perihnya untuk memperjuangkan hubungan kami.
Dulu aku begitu terbuka, belajar untuk menjadi terbuka pada Raka. Namun dengan sikapnya yang semakin menjadi-jadi, aku seolah tak bisa lagi terbuka padanya. Aku tak bisa lagi mencurhkan isi hatiku padanya. Karena jika itu kulakukan, yang ada kami hanya kan terus bersitegang. Sehingga aku tak punya tempat lagi untuk bercerita, hanya sesekali ketika bersujud air mata itu jatuh. Dan sesekali berpikir bagaimana bisa cinta monyet ini membuatku terus-terusan menangis? Apa iya aku begitu kekanak-kanakan hingga aku harus menangis, permen dan balon seperti apakah yang aku butuhkan agar aku berhenti menangis?
Waktu terus berjalan, kami terus seperti itu. Raka terus menjadi figur pencemburu yang membuatku tak bisa berkutik. Tiap malam dia akan datang ke rumah, dengan ijin orang tuanya untuk belajar bersama, dia tak tinggal untuk waktu yang lama, dia hanya sekedar datang dan melihat apakah semuanya baik-baik saja dan kemudian dia akan pergi untuk nongkrong dengan kawan-kawannya. Sebal memang, namun seringkali dia tetap baik dan masih menganggapku ada. Setiap aku membutuhkan sesuatu, dia selalu bersedia untuk mengantar dan menemani sampai aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Manis bukan, namun dari situlah sifat manjaku muncul. Aku seolah tak bisa jika harus pergi sendiri untuk memenuhi kebutuhanku. Aku ketergantunga, dia menjadi canduku.
Aku lupa apakah aku sudah pernah menceritakan ini atau belum, tapi taka pa, akan kuingatkan saja tentang cerita ini. Semua berjalan baik-baik saja dengan aku yang begitu ketergantungan dengan Raka. Suatu waktu aku memintanya untuk menemaniku membeli peralatan tulis dan kertas untuk tugas sekolah, namun herannya, dia menolak. Tak seperti biasanya dia menolakku. Baiklah, dia bilang dia sibuk dan aku putuskan untuk berpikir positif dan pergi memenuhi kebutuhanku sendiri. Tak lama kemudian, agak malam dia datang ke rumah. Seperti biasa kami mengobrol dan aku tak sengaja membaca pesan masuk ketika handphone nya kupegang.
“Iya, makasih ya yank.”
Seseorang yang tak begitu kukenal, yang ternyata teman sekelasnya. Aku seolah tak percaya semua itu. Tak lagi bisa berkata-kata, lagi, aku langsung meneteskan air mata. Aku tak pernah tau kapan mereka dekat, tapi dia sudah saling memanggil dengan panggilan sayang saja. Raka yang begitu pencemburu ternyata justru dia yang bermain di belakangku. Tak disangka bukan. Memang dunia ini seolah sudah terbalik. Mereka yang terlihat begitu sayang ternyata bermain di belakang. Mereka yang terlihat dekat dengan banyak orang justru sedang teguh menjaga hati. Hahaaa, aku benar-benar ingin tertawa mengingatnya.
Entah mengapa setelah itu aku memaafkannya, menganggap bahwa aku bisa mempercayainya, dan aku tak lagi mempermasalahkannya. Tapi sekali kepercayaan itu dipecah, kau tau sendiri kan, tak akan lagi bisa menjadi utuh seperti dulu. Iya, tidak akan pernah.
Baiklah, waktu terus berjalan. Aku tak lagi mempercayainya dalam diam, namun kami masih menjalin hubungan dengan baik. Sampai tiba saatnya kami harus merantau untuk kuliah, kalian tahu itu. Dan kalian juga tahu bagaimana justru Raka yang terlalu posesif dan pencemburu. Aku pikir, semua itu wajar. Wajar jika yang terkasih sedang jauh dan kau takut kehilangan jika dia menemukan orang lain yang bisa saja lebih baik.
Tapi bukankah kunci dari hubungan jarak jauh adalah percaya? Percaya bahwa dia di sana akan menjaga hatinya. Percaya bahwa di saat dia tak membalas pesan maka ia memang sedang ada hal yang harus dilakukan. Percaya bahwa akan selalu ada alasan dan penjelasan. Sehingga ketika kau berada di tempat lain, kau juga harus menjaga percaya itu, layangkan pikiranmu ke ruang positif dan menyibukkan diri dengan hal baik agar tak lagi berpikir bahwa di sana dia sedang berduaan dengan orang baru yang bisa saja lebih sempurna darimu.
“Lagi apa neng?”
      “Mau siap-siap kuliah bang.”
“Udah berangkat neng?”
      “Lagi di jalan bang.”
“Udah nyampe kampus neng?”
      “Udah bang, ini di kelas. Aku kuliah dulu ya.”
“Udah dating po gurunya?”
Iya, sedikit percakapan rutin kami di pagi hari. Harus sedetail itu kah? Tak bisakah kau percaya bahwa aku memang akan pergi kuliah? Tak bisakah kau membiarkan aku untuk pergi berkegiatan dan akan memberi kabar jika memang sempat? Percayalah, aku akan selalu menyempatkan untuk memberi kabar meski sibuk. Kau tak perlu terus mengecek seluruh detail kegiatanku Raka. Apa kau tak lelah harus seperti itu setiap hari?
Aku tau kau berniat perhatian, namun tidak harus seperti itu Raka. Aku bukan lagi merasa bahagia karena diperhatikan, namun aku menjadi risih dan tak suka jika kau terlalu seperti itu. Percayalah, taka da yang suka jika sesuatu itu terlalu berlebihan. Seperlunya saja, secukupnya saja.
“Udah selesai kuliahnya?”
      “Udah, ini mau makan siang dulu.”
“Makan apa? Di mana? Sama siapa aja?”
      “Bakso di kantin sama temen-temen kelas.”
“Ada si adit? Awas kalo macem”
Ya, percakapan rutin lain kami. Aku selalu jujur aku sedang bersama siapa, meskipun aku benar-benar tidak ada apa-apa dengan mereka yang ada di sekitarku, namun Raka selalu beranggapan lain dan terlalu berlebihan. Heuh, sudah lelah sebenarnya. Namun aku tetap menahan. Sesekali jika memang aku sangat membutuhkan seorang teman untuk sekedar mencari makan atau mengerjakan tugas, aku akan tetap jujur meski aku pergi dengan seorang pria. Aku jujur karena aku ingin Raka percaya bahwa aku tak sedang nakal. Meski pada akhirnya dia kan marah-marah tak jelas, dan harus aku yang menangis sendiri di kamar kos seperti orang gila, dan haru mengondisikan diri untuk terlihat baik-baik saja di hadapan teman-teman.
Lelah itu semakin menumpuk hingga akhirnya aku berpikir, jika dia sama sekali tak bisa mempercayaiku, mengapa aku harus menjadi seseorang yang bisa dipercaya? Hahaaa, jahat bukan aku? Yupp, malaikat baik hati itu seketika berubah wujud menjadi setan. Tak sekali dua kali aku mengiyakan mereka yang mendekati masuk ke hatiku, kubuka lebar-lebar. Kebiasaan berbohong pun menjadi kebiasaanku ketika aku selalu menjadi bahan amarah Raka, dan suatu saat dia berkata’
“Gak usah ngomong sekalian, kalua perlu bohong aja, aku gak mau denger kamu pergi sama mereka”
Hahaaa, saat itulah sang setan berkembang biak dalam diri ini. Kebohongan demi kebohongan aku buat agar ia tak marah dan semua baik-baik saja. Aku pergi dengan seseorang yang awalnya memang untuk hal-hal professional berbelok menyinggung urusan hati. Sempat dekat dengan beberapa pria selain Raka membuatku bertanya-tanya, apa iya aku masih memiliki rasa yang sama pada Raka?
Hubungan kami masih berjalan dengan amarah yang selalu memancar hampir setiap hari. Tingkah lakunya begitu kekanak-kanakan, tak sabaran, penuh emosi dan membuatku jengkel. Tak hanya ketika kami sedang tak bersama, seperti yang aku katakana, setiap dua minggu sekali kami selalu berjumpa, entah dia yang mendatangiku ke Jogja atau kami yang membuat janji untuk pulang ke rumah. Namun ketika kami harusnya menghabiskan waktu bersama, dia selalu saja melakukan hal-hal bodoh yang membuatku marah. Bangun siang dan membatalkan janji bertemu menjadi alasan langganan aku marah. Namun tetap saja aku tak bisa marah dan hanya harus memendam kecewa sendiri.
Raka tak pernah suka jika aku pergi dengan teman kuliah hingga malam, atau bahkan larut malam. Dia selalu berpikiran yang tidak-tidak dan memerintahkanku untuk pulang jika memang sudah malam sekitar pukul 21.00 WIB. Padahal, jika memang kalian pernah atau sedang tinggal di kota besar, melihat perempuan masih berada di luar semalam itu bukanlah hal yang aneh sejauh itu memang berada di tempat umum. Tak jarang pula jika aku dan kawan-kawan satu organisasi harus mengadakan rapat di luar dengan makan bersama dan dilanjutkan dengan rapat hingga larut malam demi terselenggaranya acara dengan baik dan benar. Namun Raka tak pernah mau menerima alasan seperti apapun itu.
Memang saat itu hubungan kami sedang kritis, aku yang memang sedang dekat dengan orang lain, dia yang aku duga juga sedang dekat dengan orang lain. Selalu saja ada alasan untuk saling marah hingga suatu malam aku lebih mementingkan untuk makan malam dan bercanda dengan kawan-kawan hingga sekitar pukul 21.30 WIB. Raka begitu marah aku tak mengiyakan perintah berlebihannya untuk pulang. Hingga akhirnya aku merasa sudah tak kondusif jika aku tetap tinggal, akhirnya akupun pulang.
Sesampainya di kamar kost aku meneleponnya dan adu argument pun dimulai. Dia marah besar, dan aku tak lagi mau mengalah. Aku yang memang selalu menyimpan rasa sakit pun mengungkapkan apa yang selama ini aku rasakan tentang Raka dengan derai air mata. Hingga tak tahan lagi aku tutup teleponku. Setelah itu, Raka pun mengirimiku pesan.
“Kamu terlalu baik Syifa. Maafkan aku yang selama ini ternyata membuatmu menangis dan sakit. Jika memang kamu selalu menaham sakit itu, apakah sebaiknya jika kita sudahi hubungan ini?”
Tak lagi bisa ku tahan air yang mengetuk mata ini sangat keras meminta untuk keluar dari rongga mataku. Aku yang sudah menangis itu semakin meronta kesakitan, merasakan betapa sakitnya hati ini. Tak lagi kurasakan sakit dari cakaran kukuku ataupun pukulanku ketubuhku sendiri. Begitu remuk rasanya, aku yang selama ini mencoba bertahan, begitu mudahnya dia memberikan penawaran untuk menyudahi semuanya. Aku tahu aku selama ini telah berbuat salah, aku tahu aku selama ini bukan bukan seseorang yang bisa dipercaya. Tapi tetap saja rasa sakit itu begitu besar hingga aku ingin mengaduh dalam malam. Tanpa pikir panjang, meski sakit, aku langsung berkata,

“Baiklah. Terima kasih atas semuanya.”
Bagi kalian yang sedang bersama seseeorang yang kalian cintai, jauh ataupun dekat, "Percaya" adalah fondasi dari hubungan. Jangan kalian menyiksa diri dengan prasangka-prasangka setan dalam dirimu tentangnya. Jika kau tak mempercayainya, trust me bahwa dia akan menjadi apa yang kau pikirkan, dia benar-benar akan menjadi tidak bisa dipercaya. Dan jika kau mempercayainya dengan setulus hati, maka dia akan menjaga kepercayaanmu. Cemburu boleh, tapi tetaplah percaya. Karena believe me or not, apa yang kalian pikirkan akan menjadi kenyataan. Pikirkanlah hal-hal positif dalam hidupmu, dan tentu dalam cintamu. 

#ToBeContinued
#GambarDiAtasBukanMilikPenulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar