Halaman

Selasa, 30 Mei 2017

Cinta Monyet Raka dan Syifa (Bab VI - Selamat Tinggal)


Malam itu, malam di saat kami memutuskan untuk menyudahi seluruh perjuangan dan pengorbanan hampir selama tujuh tahun ini, aku tak tahu lagi harus merasa bagaimana. Siapa yang tak tahu bagaimana rasa sakitnya melepaskan seseorang yang sudah sempat kalian pakukan di hati. Ada apa dengan aku ini?
Aku telah melakukan kesalahan beberapa kali di belakangnya, tapi ternyata kami terpisah bukan karena perilakuku itu, tapi justru karenanya. Sampai saat ini bahkan dia tak tahu apa yang telah aku lakukan selama ini, baguslah, jadi bukan aku yang salah dalam perpisahan ini. Mungkin aku juga salah, aku tidak bisa mengalah dan mengimbanginya, aku tidak pernah menurut apa katanya. Tapi aku pun tak pernah mengatur-ngaturnya hingga aku pun tak ingin diatur. Mungkin dia melakukannya karena menyayangiku, tapi kalian tahu sendiri bagaimana kisahku, bagaimana kesalnya menjadi aku. Hingga aku harus mencari sosok lain yang bisa menjadi pundakku.
Malam itu, seketika aku berlinang air mata dan terpaku menatap layar ponsel. Seolah tak percaya, tapi sebenarnya aku sudah menduganya. Dengan aku yang sudah bermain di belakangnya, dan bahkan sudah tidak nyaman bersamanya, aku sudah sangat sadar bahwa entah cepat atau lambat kami akan berpisah. Karena tidak akan mungkin kami bisa bersama jika aku masih seperti ini, dan dia bersikukuh seperti itu. Aku tahu ini akan berakhir, tapi aku tak menyangka semua terjadi secepat itu.
Linangan air mataku tak lagi bisa kubendung, lembaran demi lembaran tisu harus kuusapkan ke pipi, kuremas, dan kulempar mengotori lantai kamarku. Tergeletak menangis dan meronta di atas tempat tidur, seolah aku sedang menangisi apa yang telah kukorbankan tak lagi ternilai dan hilang begitu saja. Hahaa, jika saat ini aku mengingat momen itu, aku ingin tertawa, karena tak sepantasnya aku menangisi dia yang seperti itu kupikir, masih banyak yang bisa membuatku bahagia selain dia. Siapa bilang aku tak bisa hidup tanpanya? Tapi semua itu memang baru kusadari sekarang, dulu? Gadis cengeng ini tak bisa menahan emosinya untuk menangis.
Menangis, berteriak, bahkan sampai menyakiti diri sendiri. Untung saja aku tak segila itu sampai harus mengakhiri hidup, untung saja logikaku masih bisa bermain dengan benar bahwa hidupku tidak sehina itu untuk harus diakhiri hanya karena cinta. Tapi tetap saja aku menyimpan rasa sakit yang mendalam.

Tak cukup sampai di drama penuh air mata di malam itu. Aku tak sanggup lagi untuk menangis. Tak lagi tersisa air mataku, yang ada hanya mata bengkak, dan beberapa bagian tubuh yang merah tercakar kuku, dan memar membiru, semua karena ulahku. Badan ini saat itu pun tak lagi tegar menghadapi hancurnya hati, keesokan harinya aku mendapati tubuhku yang demam, kepalaku yang pusing hebat hingga aku tak kuat lagi berada di tempat itu. Kuputuskan untuk pulang ke rumah saat itu. Karena aku yakin, dengan bertemu Ibu aku akan menjadi lebih baik. Karena Ibu adalah obat penenang satu-satunya yang paling ampuh.
“Mat, tolong anterin ke terminal ya, aku mau pulang. Tak tunggu di kos.”
      “Okay”
Datanglah Mamat yang belum tahu aku sudah mengakhiri hubunganku dengan Raka semalam. Dia mengantarkanku menuju terminal bus untuk pulang.
“Kamu sakit ya?”
      “Gak kok.”
“Kok pucet?”
      “Masa? Cuma lupa gak pake lipstick.”
Mamat pun tahu ada yang salah denganku, tapi aku tetap diam, dan dia tidak akan memaksaku untuk memberitahunya. Dia memang seperti itu, tak akan memaksa karena dia orang yang cuek dan tak terlalu ingin tahu urusan orang, meskipun itu aku. Naif sebenarnya, aku tak mengatakan bahwa aku tak sedang baik-baik saja tapi aku sebenarnya berharap dia ingin tahu lebih jauh. Tapi ya sudahlah, aku tak cukup kuat untuk masalah hati yang lain, tubuhku belum selesai dengan urusan hatiku soal Raka.
Sesampainya di rumah aku langsung tergeletak di kamar. Ibu tak bertanya tentang apapun, beliau tidak curiga ada sesuatu yang terjadi padaku. Ibu hanya khawatir bahwa aku sedang dalam keadaan sakit dan sibuk membuatuku kembali pulih. Jus buah naga buatan ibu, bakso dengan kuah hangat yang gurih, pijatan-pijatan lembut Ibu. Aaaah, aku ingin terus menjadi anak-anak saja. Rasanya aku belum pantas bermain hati. Selama tiga hari aku di rumah, aku sudah merasa sehat kembali. Tak kuceritakan memang soal Raka kepada Ibuku, aku takut Ibu semakin khawatir. Aku hanya ingin Ibu kembali bahagia melihat anaknya sehat dan kembali ceria untuk melanjutkan aktivitasnya di kampus.
Ooo iya, aku mungkin belum bercerita. Aku sangat ingin belajar di luar negeri meskipun rasanya itu sangat sulit karena aku bukanlah mahasiswa cerdas, berani, percaya diri, dan aku tidak cukup berada untuk bisa membayar fasilitas selevel luar negeri. Namun sebelumnya aku sempat mencoba mendaftar mahasiswa berprestasi tingkat fakultas. Hadiahnya untuk 10 besar adalah berkunjung ke salah satu universitas di Malaysia selama satu minggu gratis. Aku pesimis sebenarnya, tapi aku mencobanya terlebih dahulu. Penilaian mahasiswa berprestasi saat itu dilakukan selama dua hari satu malam, sehingga kami para peserta harus menginap di sebuah asrama. Dan yang aku herankan saat itu adalah, dalam rangka aku menggapai cita-cita kecilku, Raka tak mendukungku sepenuhnya. Bayangkan saja, sempat-sempatnya dia marah karena merasa aku sibuk dan harus tidak setiap saat memberi kabar padanya. Ketika ada waktu istirahat benar-benar aku gunakan untuk istirahat karena memang aku lelah, tak bisa aku terus memberi kabar. Dia semakin marah. Dan dengan kemarahannya tentu aku tak bisa berkonsentrasi, aku hanya bisa pasrah dengan penilaian juri. Benar saja, tipis, aku berada di peringkat 11, andai saja aku bisa lebih fokus saat itu mungkin hasilnya akan lebih baik, tapi yasudahlah mungkin sudah takdir. Kemudian aku menarik ingatanku lebih jauh, saat lulus SMP aku sempat berniat untuk mendaftar di salah satu sekolah Internasional di kota sebelah, tapi aku menggagalkan niatku karena tak ingin terlalu jauh dari Raka saat itu. Sebenarnya bukan aku yang tak ingin terlalu jauh, tapi dia yang tak ingin terlalu jauh. Tentu saja, jika aku jauh siapa yang akan membantunya menyelesaikan semua PR sekolahnya, siapa yang akan ia mintai tolong untuk melakukan sesuatu. Aku memang tergantung padanya, tapi aku pikir sepertinya dia lebih tergantung padaku. Bodoh sekali aku saat itu. Mengingat saat itu aku benar-benar semakin mantab untuk berpisah dengan Raka, karena dia tak bisa sepenuhnya mendukung harapanku.
Baiklah, setelah adegan berurai air mata dan demam yang menyerangku, aku rasa hatiku mulai tegar. Aku mulai ikhlas dan rela melepaskan diri darinya. Terlebih lagi masih ada kawan-kawanku dan Mamat saat itu yang bisa membuat aku melalui hari-hari seperti biasanya tanpa harus mengingat rasa sakit itu. Tak lagi kurasakan sakit yang mendalam, dan kurasa aku bisa memaafkan Raka. Memaafkan bukan berarti aku mengajaknya kembali bersama, meski saat itu masih saja ada kemungkinan kami bersama.
Iya, kami masih sangat mungkin untuk bersama. Meski kami menyudahi hubungan tapi nyatanya kami masih intens berkomunikasi meski tidak seperti dulu. Dia tidak lagi terlalu menuntut, dan aku pikir ini bagus, karena dia mulai berubah. Kami pun masih menyempatkan untuk pulang ke rumah bersama, seperti biasa aku menaiki bus sampai ke Solo dan dia menuju Solo menggunakan motornya. Bertemu di satu titik kemudian kami bersama menuju rumah melewati jalanan Cemoro Sewu, sesampainya di rumah Raka, kakak iparnya tertawa dan tersenyum,
“Oooohh, jadi sekarang bersahabat bagaikan kepompong yaa…”
Kami hanya tertawa, karena memang kami saat itu masih belum bisa benar-benar lepas satu sama lain. Yang berbeda hanya status saja. Dan kami menikmatinya bagai tak ada yang telah terjadi sebelumnya. Saat kami sedang bersama, aku meminjam handphone Raka untuk sekedar ber-selfie ria, namun entah mengapa aku yang selama menjalin hubungan dengannya sebelumnya tidak pernah suka membuka segala percakapannya di chat apapun karena takut menemukan yang membuatku sakit hati seperti dulu, tiba-tiba saja aku ingin membaca percakapannya dengan beberapa teman perempuannya. Dan ternyata, bahkan jauh sebelum kami memutuskan berpisah dia memang sudah dekat dengan beberapa teman perempuan. Aku hanya ternganga dan kaget, kaget bahwa bukan aku yang jahat selama ini dekat dengan teman priaku di Jogja, ternyata Raka sama saja denganku. Hahaaa, bukan sakit hati, justru aku lega dan senang bahwa bukan hanya aku manusia jahat di dunia ini. Namun tetap saja ada rasa sakit, tapi kubiarkan, dan tetap kututup rapat rahasiaku dengan mereka yang pernah dekat denganku.
Beberapa hari berlalu, aku masih tetap dekat dengan Mamat, dan aku juga masih menjaga komunikasi dengan Raka.
“Mat, aku udah putus sama Raka.”
      “Lhoh, kenapa?”
“Gakpapa, emang ada problem. Bukan karena kamu kok. Karena dia sendiri.”
Kira-kira seperti itu pernyataanku. Namun aku menjadi ragu dengan Mamat ketika dia tidak pernah terbuka denganku tentang segala urusannya di luar, dan aku memergokinya memasang tato tak permanen di dadanya dengan nama seseorang dan itu bukan aku. Dia sengaja memasangnya di dada agar tak terlihat olehku, namun aku tak sengaja melihat sedikit bagian tatonya saat dia memakai kaos berkerah rendah, dan akhirnya kupaksa dia membuka kaosnya. Benar-benar sakit saat itu. Bagai karma, sakit itu tak lagi bisa kurasakan karena hatiku tlah kebal. Aku marah dan ia meminta maaf.
Tak lama setelah itu, aku yang tak ada kegiatan malam itu iseng-iseng mengganti foto profil BBM, tiba-tiba ada seseorang yang mengirim pesan. Biar kuceritakan dulu awalnya kami mengenal satu sama lain, tidak, sebenarnya kami belum saling mengenal, tapi begini ceritanya.
Suatu malam aku merasa beberapa kontak BBM ku adalah mereka yang tak ku kenal dan tak pernah ada urusan denganku, ku putuskan untuk menghapus beberapa kontak tak dikenal, namun tepat sebelum aku menghapus satu kontak bernama “Pangeran”, dia tiba-tiba mengirim pesan.
“PING!!!”
      “Siapa ya?”
“Pangeran. Kamu siapa ya?”
      “Kana da namanya.”
“Oh, Syifa ya.”
Dia bertanya sedikit tentangku, dan sampailah pada,
“Keluar yuk. Eh nanti ada yang marah.”
Aku tahu itu metodenya tahu aku punya pacar atau tidak. Aku jawab saja dengan jujur bahwa aku sedang LDR. Mungkin Pangeran ini adalah orang baik sehingga dia mundur perlahan dan menghilang karena tahu aku tak sedang single. Dan tanpa sengaja, malam itu setelah aku mengganti foto profil BBM, Pangeran kembali muncul,
“Kayaknya kenal.”
      “Iya, itu di Malang.”
“Bukan tempatnya, tapi orangnya.”
      “Hahaaa.”
Seperti sebelumnya, muncul kembali pertanyaan darinya
“Ayo nongkrong. Eh jangan ding, nanti ada yang marah.”
      “Ayok, gak ada, aku udah putus.”
Mungkin pernyataan itu membuatnya gencar mendekatiku. Aku sendiri saat itu taka da sedikit pun pikiran ingin melampiaskan tetapi memang hanya ingin mencari kegiatan daripada hanya berdiam diri bersusah hati. Benar-benar tak disangka-sangka ada seseorang yang masuk dalam situasi seperti ini. Singkat cerita kami mulai dekat, dan lain sebagainya. Melihat situasi seperti itu, tanpa perasaan berdosa aku curhat pada Raka. Dan tanggapannya biasa saja dan justru mendukungku.
Tak lama kemudian pangeran sudah mengungkapkan bahwa ia ingin lebih dekat denganku, dan aku ceritakan keadaanku sebenarnya. Dan ia berkata dengan bijak bahwa semua keputusan ada di tanganku, ia akan dengan sabar menunggu. Lalu aku putuskan untuk memperjelas hubunganku dengan Mamat sebelum aku terlalu jauh dengan Pangeran. Dan ternyata Mamat tak ingin komitmen jelas diantara kita, dia bilang dia tak siap berkomitmen. Aku sebagai seorang perempuan tentu tak bisa jika harus berada di posisi seperti itu. Akhirnya aku putuskan bahwa hubungan tanpa status ini berakhir juga. Dengan ikhlas aku lepaskan semuanya. Hahaaa, sungguh lucu drama ini.
Tak lama kemudian Aku memutuskan untuk menerima Pangeran sebagai seseorang yang berkomitmen denganku. Mamat pun sakit hati mengetahui aku dengan orang lain, tapi biarkan saja, karena dia sendiri yang memang tak mau berkomitmen denganku. Dan yang aku herankan adalah Raka. Dia seolah marah besar ketika tahu aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Pangeran. Bukankah sebelumnya dia menyatakan dukungannya tentang hal itu padaku? Apakah dukungan-dukungan itu hanya sekedar basa-basi? Mengapa jika memang masih ingin bersama tak ingin memperjuangkanku? Mengapa setelah aku memilih bersama yang baru dia harus seperti itu?
Semua tidak berhenti pada sikap Raka yang menjadi kekanak-kanakkan, ia menelepon dengan nada tinggi dan seoalah tidak terima.
“Secepat itu kamu memutuskan untuk menjalin hubungan dengan orang baru?”
“Secepat itu kamu melupakan aku?”
Wait, what?! Aku rasa aku cukup dewasa untuk tidak terlalu lama memutuskan bersama dengan seseorang yang aku pikir mantab ingin berjuang bersamaku meski kami belum lama saling mengenal. Dan asal kau tau saja, memang sangat tidak mudah untuk dapat melupakanmu Raka. Aku pikir justru kamu yang telah melupakanku lebih dulu.  Sehingga aku berusaha sangat keras untuk melupakanmu.
“Janc*k. As*. B*j*ng*an. Ta*k”
Aku tak habis pikir itu semua keluar dari mulutmu. Aku tak habis pikir kau berani memasang kata-kata itu sebagai statusmu. Yak, dan sekarang semua orang berpikir aku adalah orang jahat. Tak terkecuali ibumu yang sampai hati menyudutkan aku terus menerus dan sampai hati pula membuat kabar miring merebak di sekitar rumahku, karena kau yang berubah terlihat sangat sedih karena aku yang seolah sengaja pergi meninggalkanmu. Padahal mereka tak tahu seperti apa aku saat itu. Hahaa
Terima kasih atas segala drama ini Raka. Berkatmu yang seperti itu, aku menjadi sosok yang lebih kebal dan tangguh. Aku tak tahu kita berjodoh atau tidak, namun aku tak akan pernah menyebutmu dalam doaku lagi, karena aku terlalu merasa sakit untuk bisa melihatmu lagi. Benar saja, aku sangat merasa semakin sakit, kucoba melupakanmu namun itu akan sangat sulit. Satu-satunya jalan adalah kututup semua memori tentangmu dengan memori baruku bersama Pangeran. Kuciptakan memori-memori baru baik manis ataupun pahit, setidaknya aku telah memilihnya untuk menjadi sosok pahlawan dari sakit hatiku. Dan berhasil berhasil berhasil hore…berhasil. Entah mengapa aku seolah hilang ingatan, sedikit demi sedikit memori manis tentangmu mulai menghilang. Tak lagi kuingat di mana tempat favorit makan kita, apa saja yang pernah kita lakukan bersama, sehingga sangat sulit untuk bisa menulis ini semua dari awal.
Aku harap, dengan kutulisnya cerita ini, aku bisa benar-benar menutup segala memori denganmu. Tak akan lagi aku berusaha mengingat-ingat tentangmu, karena aku rasa aku telah menemukan bahagiaku saat ini. Entah bahagiaku dengan Pangeran kini akan menjadi selamanya atau tidak, namun sejauh ini aku sangat menikmatinya. Meski hubunganku dengan Pangeran tak semulus itu, namun aku tetap merasa bahagia saat ini.
Sekali lagi, terima kasih Raka atas drama selama ini.
Akan aku jadikan kau sebagai pelajaran.
Semoga kau bertemu dengan seseorang yang memang baik untukmu.
Meski kadang aku jahat mengucap kau akan menerima karmanya, aku rasa aku juga akan menerima karmaku.

Nikmatilah hidupmu. Bye.

#THE_END
#Gambardiatasbukanmilikpenulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar