Halaman

Senin, 17 Juli 2017

Putri & Pangeran (Bab IV: Bukan Salahku)


Pagi dengan kehidupan hati yang baru, aku harap hari-hariku akan lebih ceria ke depannya. Hari ini hari ulang tahun Mamat, iya, tepat satu hari setelah tanggal jadianku dengan Pangeran. Ditambah aku belum mengatakan bahwa aku sudah tidak sendiri lagi pada Mamat. Aku rasa aku sangat jahat, tapi jika aku terus menerus menjadi orang baik yang justru akan merugikan diriku sendiri, untuk apa aku jadi baik. Pagi ini aku ucapkan selamat pada Mamat, dan dia berniat mengajakku untuk makan siang bersama, biasaaaa, traktiran. Aku dilemma, kucoba meminta izin pada Pangeran.
“Hei, aku pergi makan siang dengan Mamat boleh? Dia ulang tahun, traktiran.”
“Oooh, iya gakpapa, pergi aja.”
Hmmm, Pangeran mengijinkan, dengan sedikit bingung aku pun mengiyakan ajakan Mamat. Dia datang menjemputku dan bersama kami menuju tempat makan pilihannya. Sesampainya di sana, semua berjalan seperti biasa. Meski sedang bersama Mamat, aku terus memegang ponsel, just for checking kali aja Pangeran mengirim pesan. Tapi Mamat tidak pernah curiga sebelumnya, sampai pada saat aku sedang berkirim pesan dengan Pangeran aku tersenyum lebar,
“Lagi di mana?”
“Lagi beli aki motor, minta baru kayaknya.”
“Ih, kemarin laptop baru, sekarang aki baru.”
“Iya, pacar juga baru.”
Tanpa disengaja aku tersenyum begitu lebar, diikuti senyuman-senyuman yang lain karena banyolan-banyolan Pangeran. Mamat langsung mulai curiga.
“Chattingan sama siapa sih? Bahagia banget.”
“Nggak, temen, lucu aja yang dibahas.”
Aku belum siap mengatakan bahwa aku sudah resmi berpacaran dengan seseorang, jadi segera saja pesan-pesan dari Pangeran aku hapus. Meski Mamat jarang memeriksa ponselku, namun kali ini perasaanku tidak enak. Kami meneruskan mengobrol dan akhirnya kami pulang, dia mengantarku sampai kost. Benar saja, dia tidak langsung pergi seperti biasanya, tiba-tiba dia meminta ponselku. Aku menolak memberikannya, namun dia merebutnya. Dan, ada pesan masuk dari Pangeran.
“Udah pulang sayang?”
Mamat terlihat begitu murka. Wajahnya langsung berubah masam, sangat masam. Seakan ingin meluapkan emosi namun tetap dipendamnya. Dia hanya bertanya,
“Ini siapa?”
“Temen.”
“Kok panggil-panggil sayang.”

“Ya gak tau. Cuma temen deket.”
“Sejak kapan kamu punya temen deket? Kok aku gak tau.”
“Ya emang kamu harus tau semua urusanku?”
“Maksudmu apa kayak gini?”
“Maksud apa, gak ada maksud apa-apa.”
“Halah jujur aja.”
“Kenapa sih? Trus maksud kamu yang kemarin-kemarin itu apa?! Kamu boleh, aku gak?”
Sore itu kami bersitegang. Namun akhirnya dia terdiam. Aku pun juga terdiam. Entah apa yang akan terjadi nanti, tapi yang jelas aku belum siap mengatakan yang sebenarnya. Ditambah aku sebenarnya belum 100% yakin dengan Pangeran si orang baru yang tiba-tiba menempati hatiku ini. Jadi aku memang masih dilanda kebingungan.
Sejak saat itu aku baru tahu bahwa Mamat mulai benar-benar menyimpan rasa untukku, rasa yang sebenarnya, dari hatinya. Entah mulai kapan dia begitu, yang jelas tanpa adanya insiden itu yang ku tahu Mamat hanya ingin main-main denganku. Hubunganku dengan Pangeran yang masih sangat awal itu pun belum kujadikan jaminan bahwa aku akan benar-benar bersamanya. Masih kunikmati hangatnya awal hubungan kami, Pangeran begitu manis dan tetap saja konyol dan selalu membuatku tersenyum bahkan tertawa hanya dengan membaca pesannya. Hingga suatu malam aku dan kawan-kawanku segerombolan janjian, “seblak” menu hits yang saat itu kita pilih. Tetap aku meminta ijin dan terus berkomunikasi dengan Pangeran via BBM. Sesekali aku memang tersenyum dan tertawa kecil membacanya, tanpa kuketahui bahwa ada yang memperhatikan tingkahku. Setelah makan, kami memutuskan untuk sekedar nongkrong di halaman kampus memandang bintang dan membicarakan apapun yang bisa dibicarakan, memang itu adalah kebiasaan kami saat itu, begitu syahdu dan hangat, suasana itulah yang bisa mengalahkan segala peraturan yang pernah aku hadai saat bersama Raka. Hangatnya hubungan kami sebagai saudara saat itu membuatku bersyukur aku bisa memiliki mereka. Saat itu kami duduk melingkar, dan Mamat berada tepat di hadapanku. Tak berapa lama,
“Kawan-kawan aku pamit dulu ya.”
“Lhoh Mat, mau ke mana?”
“Ada janji sama saudara, dia udah nunggu di kost an.’
“Oalah, iya ati-ati.”
Bukan aku tentu yang menjawab, sedari tadi kami terus berdiam, begitu dingin, namun aku tak menghiraukannya. Siapa saudaranya? Ada urusan apa dia? Mendadak sekali. Aku pun penasaran, tak berapa lama, kira-kira 15 menit waktu yang cukup agar dia sampai ke kost nya, aku pun mengiriminya pesan.
“Ke mana? Janjian sama Heri po? Urusan toko? Tumben.”
“Enggak kok, Cuma pengen pulang.”
“Hloh, kenapa e?”
Tanpa kuduga sebelumnya kemudian dia membalas,
“Gakpapa, rasanya sedih, aku merasa sakit hati saat melihatmu sejak tadi terus tersenyum dan tertawa ketika membuka HP. Yang membuatku sakit hati adalah aku tahu bahwa yang membuatmu tersenyum dan tertawa itu bukan aku, tapi orang lain. Lebih baik aku pergi daripada harus melihat itu, rasanya begitu menyiksa.”
What?! Apaaa?! Apa-apaan ini. Jawaban macam apa itu. Seorang Mamat yang begitu hobi bermain dengan wanita, Mamat yang terlihat seperti tak punya hati dan rasa sejauh itu, Mamat yang selama ini sepertinya hanya menganggap hubungan kami main-main, dia bisa berkata bahwa dia merasa sakit hati karenaku. Kau tahu kau hanya akan merasa sakit jika memang kau punya rasa bukan. Aku pun semakin bingung dengan apa yang harus aku perbuat.
Keesokan harinya aku ajak dia bertemu untuk membicarakan hal ini. Memang sampai detik itu aku belum memberitahu siapa-siapa bahwa aku sudah berpunya, dan saat aku berencana bertemu dengan Mamat, aku begitu jahat, aku menyingkirkan Pangeran terlebih dahulu hanya ingin tahu apakah Mamat masih ingin serius denganku. Walaupun sebenarnya aku tahu dia tidak akan pernah seberani itu untuk memulai komitmen.
Saat itu kami duduk berhadapan di taman parkir kampus. Begitu dingin, begitu kaku, aku bahkan tak tahu harus memulai pembicaraan ini dari mana. Dia pun hanya terdiam dengan wajah sangarnya yang tak menunjukkan rasa kasih sama sekali, mungkin memang begitulah khas nya. Kuberanikan diri untuk membuka pembicaraan,
“Jadi, gimana?”
“Gimana apanya? Ya aku tetep begini ini.”
“Kamu serius gak sih sama aku?”
“Ya serius.”
“Trus? Kalo serius kenapa gak diresmiin, maksudku ya komitmen.”
“Aku belum siap untuk itu. Kalau aku ya begini ini.”
“Tapi aku gak bisa kalo gak ada kepastian. Bisa aja kamu ada yang lain, mana bisa begini.”
“ Hei, menurut buku yang aku baca, cinta kan gak harus memiliki..(blaa.blaa.blaa).”
Bisa-bisanya saat itu dia berbicara tentang buku-bukunya yang dia baca, ini kan hidupnya, kenapa dia harus memasukkan mindset si penulis itu dalam hidupnya. Bukankah tulisan orang itu hanyalah sebagai referensi, bukan berarti sebagai pilihan mutlak hidup. Memang novel itu adalah novel fenomenal saat itu, tap benar-benar tidak ada niat untuk membacanya setelah Mamat menggunakannya sebagai tameng untuk tidak mau berkomitmen.
“Jadi kamu tetep gak mau kita berkomitmen?”
“Aku ya aku, aku ya begini, kalau terima ya syukur, kalau gak ya udah.”
“Kok kamu egois, sepihak, gak mau mengerti orang lain.”
“Ini hidupku, ini prinsipku, aku belum siap.”
“Bener-bener ya kamu ini.”
“Jadi, kamu pilih aku atau si Pairan mu itu?”
“Namanya Pangeran.”
“Ya terserah lah.”
“Kamu tetep gak mau komitmen sama aku?”
“Aku belum siap.”
“Ya udah, mulai sekarang kita udahan aja. Makasih selama ini.”
“Ooh, oke. Aku yang maasih selama ini udah dibantu.”
“Iya, sama-sama.”
Begitu dingin, kami berpisah dengan begitu dingin, tak ada air mata ataupun tangisan sedikitpun, seolah memang tak ada yang perlu disesalkan dari semua yang pernah terjadi. Keputusan yang sangat besar dan penting bagiku. Setelah semua kebingunganku yang tak kunjung habis saat itu tiba-tiba terselesaikan. Aku yang begitu jahat pada Pangeran nyatanya tetap kembali padanya.
Kami berpisah berbeda arah. Aku berjalan pulang, “Heuh.” Ku hela panjang nafasku, lega dan seolah tak percaya aku berani melepaskan dia yang sudah sangat dekat denganku. Aku lega, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mengingat kami berada di gerombolan yang sama, entahlah.
Benar saja, kami seolah benar-benar terpisah, dia selalu menjauhiku. Aku selalu berusaha bersikap seperti biasa. Aku tetap akan pergi ke mana teman-temanku pergi berkumpul. Aku tak ingin hanya karena urusan pribadi bisa merusak pertemananku dengan yang lain. Tapi, keputusanku untuk tetap bergaul dengan mereka justru membuat Mamat tak lagi sering berkumpul bersama kami. Semua orang seperti mempertanyakan dan aku hanya terdiam. Awalnya banyak yang seolah menyalahkanku dan keputusanku, namun setelah kuceritakan kejadiannya, mereka mau mengerti, sehingga terkadang beberapa dari mereka tetap berusaha merangkul Mamat untuk kembali berkumpul bersama kami.

Sesakit itukah hatinya? Yang jelas saat itu aku sudah begitu baik menawarkan keputusan final bahkan setelah aku bersama Pangeran, namun tetap disia-siakannya. Mungkin aku memang digiring untuk tetap bersama Pangeran. Jadi, itu semua bukanlah salahku. Semua pasti terjadi dengan alasannya masing-masing, nikmatilah alasan-alasan itu.

#ToBeContinued #ThePictureIsNotMine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar