Halaman

Minggu, 18 Juni 2017

Putri & Pangeran (Bab II: Marmut Merah Jambu)


“Cinta itu kayak marmut lucu warna merah jambu, yang berlari di sebuah roda, seolah berjalan jauh, tapi nggak ke mana-mana, nggak tahu kapan berhenti ku jatuh cinta.” – The Nelwans
Lagu marmut merah jambu ost salah satu film Raditya Dika. Jujur, saat menulis lirik lagu di atas, senyum terus menerus tersungging di wajahku. Bukan, bukan karena aku fans Raditya Dika (he’s awesome, but I’m not a fanatic fan of him). Lagu ini juga bukan lagu favorit yang sering aku nyanyikan bersama seseorang yang aku sayang. Tapi memang ada momen tersendiri yang membuatku selalu merasa sumringah. There’s a song that will remind you to a moment in your life. Yupp, entah karena lagu itu sedang pas dengan situasi dan kondisi, atau mungkin ada peristiwa penting saat lagu itu sedang booming, pasti kita akan dibawa pada ingatan suatu masa jika kita mendengarkan suatu lagu. Dan hal yang sama terjadi padaku, apalagi aku ini orangnya sangat baper terhadap lirik lagu, bagiku cerita dalam suatu lirik lebih penting daripada indahnya melodi lagu tersebut.
Oke, setelah Pangeran menghilang secara perlahan, aku tak pernah lagi berpikiran untuk sekedar menyapa melalui chat. Aku selalu berpikir bahwa manusia hidup memang hanya berdasarkan asas kebermanfaatan. Alias mereka tidak akan datang padamu jika tidak menginginkan sesuatu darimu. Mungkin itu aliran yang sedikit jahat. Pasti akan ada banyak dari kalian yang tidak setuju, tapi itu terserah saja, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda termasuk aku. Jadi, aku adalah golongan orang yang tidak terlalu suka menyapa seseorang melalui pesan secara tiba-tiba dengan hanya ingin mengetahui kabar mereka termasuk Pangeran. Saat itu aku pikir mungkin dia hanya akan menjadi sebuah catatan kecil saja dalam hidupku, tidak ada yang spesial. Namun semua bisa berubah begitu cepatnya, kadang sampai saat ini aku masih begitu heran.
Singkat cerita aku menyudahi hubunganku dengan Raka, tidak perlu lagi kuceritakan bagaimana karena dia benar-benar sudah terkubur bersama masa lalu, jangan buat aku harus lelah menggali hanya untuk bercerita tentang dirinya, karena hanya rasa sakit yang tersisa meski sudah lama (better if you read my first story about him). Suatu malam datang, malam itu adalah titik balik kebangkitanku setelah sakit dan terlunta-lunta. Saat itu, layaknya banyak remaja, kadang jika memang sedang tak ada kegiatan, aku hanya terbaring di atas tempat tidur, menggenggam ponsel dan hanya sekedar memainkan social media. Buka facebook, scroll scroll, tutup, buka twitter, scroll scroll, tutup, begitu membosankan. Namun siapa sangka apa yang akan terjadi setelah kebosanan itu melanda.
Tanpa ada maksud aku mengganti Display Picture BBM ku. Aku memang bukan tipe seseorang yang sering update status dan menggonta-ganti foto. Aku rasa memang DP ku sudah sangat lama tidak aku ganti, sampai pada malam yang begitu membosankan itu aku mengganti DP dengan salah satu foto ketika aku berada di Museum Angkut di Malang, kalian pasti tahu kan. Tidak lama setelah au mengganti foto, tiba-tiba HP bordering. Dan ternyata itu pesan dari Pangeran. What?! Aku bahkan hampir lupa bahwa pernah ada sedikit catatan kecil tentangnya karena terlalu lama kami tak saling menyapa. Tanpa disangka dia kembali muncul. Awalnya dia hanya sedikit mengomentari foto yang baru saja aku pajang.
“Kayak pernah tau.”

Haa? Aku berpikir, apa maksudnya? Atau mungkin dia sedang berkomentar tentang latar belakang fotoku, Museum Angkut itu. Jadi aku balas saja,
“Hehee, iya, Museum Angkut.”
Dan ternyata aku salah sangka, mungkin aku terlalu polos. Heheee
“Kok Museum Angkut. Yang baju biru itu lho maksudku.”
“Hehee, oalah, aku to. Emang kenal? ^_^”
Dan kami pun kembali saling berbalas pesan, basa-basi ke sana dan ke mari. Aku mulai nyaman, karena dia tidak menggunakan Bahasa Indonesia baku maupun Bahasa gaul sok manis yang umumnya digunakan para pria untuk PeDeKaTe. Kalian tahu sendiri kan bagaimana para pria berbahasa ketika sedang berniat mendekati seseorang, kadang banyak yang kelewat sok manis dan bahkan agresif, jadi bukan lagi tertarik dan klepek-klepek malah justru risih. Buat kalian para pria, jangan alay, yang sedang-sedang saja justru membuat kita para gadis lebih nyaman. Dan pangeran membuatku nyaman berkirim pesan dengannya, karena dia menggunakan Bahasa Jawa ngoko yang biasa digunakan sehari-hari (Tapi aku tulis translate nya ke Bahasa Indonesia di sini). Benar-benar Bahasa Jawa, jadi aku pun merasa nyaman, tidak ada pikiran bahwa dia sebenarnya dalam rangka mendekatiku lagi. Aku pun menjadi santai dalam menanggapinya layaknya sedang chat dengan teman sendiri.
Tidak perlu waktu terlalu lama untuk sekedar berbasa-basi, dan akhirnya BOOM.!!!! Final question kembali dikeluarkan, kalian pasti tahu kan.
“Ayok keluar yok, nongkrong gitu. Eh, tapi nanti ada yang marah ding ya. Hahaa”
Dan jawabanku mungkin membuatnya menjadi on fire. Hahaaa
“Gak ada, aku udah putus.”
Daaaan, kalian pasti tahu bagaimana kelanjutannya. Pangeran mungkin menjadi semakin semangat dengan jawabanku. Namun dia tidak terlihat begitu menggebu-gebu sekali. Dia hanya menanggapi dengan santai seperti biasanya.
“Iya po? Sejak kapan?”
“Yaa kira-kira sebulan ini. Cuma aja sekarang lagi deket sama temen sekelas.”
Aku coba menjawab seperti itu, entah apa yang ada di pikiranku saat itu, kenapa aku harus jujur bercerita ada yang lain yang sedang dekat denganku. Tapi ya salah sendiri, dia membuatku nyaman sebagai teman tanpa ada prasangka bahwa dia ingin lebih dekat. Jadi buat kalian para cowok, jangan terlalu santai dan biasa, kita pun jadi bingung mengartikan. Perempuan itu sensitive, kami tau jika sebenarnya kalian ada rasa dan sedang berusaha, namun jika usaha kalian tidak terlalu terlihat kami pun tidak berani untuk terlalu mengiyakan, jadi jangan salahkan kami jika kadang kami bersikap cuek. Setelah aku jawab seperti itu, Pangeran pun tetap santai melancarkan aksinya.
“Oalah. Tapi baru deket kan, artinya kalau kita ke luar cuma untuk sekedar nongkrong gak salah kan?”
“Ya gakpapa sih.”
Yupp, meskipun begitu, meskipun aku juga sedang dekat dengan Mamat saat itu, tapi kami tidak sedang dalam ikatan. Di sinilah aku kemudian mulai dilanda dilema, apakah aku harus mempertahankan ketidakpastian Mamat, atau aku berani membuka hati untuk yang lain. Setelah aku pikir, aku wanita, setidaknya aku butuh kepastian komitmen. Sebelumnya saja yang memang sudah berkomitmen bisa kandas, apalagi yang tidak ada, bagaimana bisa aku meminta tanggung jawabnya untuk berperan sebagai seorang pendamping. Jadi aku putuskan saja untuk berani sedikit membuka hati.
“Kalo gitu ayok, malam ini bisa?
“Wahh kalo malam ini gak bisa kayaknya, gak tau sih. Nanti Mamat mau dateng, aku minta tolong buat beliin air galon soalnya. Kalo dia masih mampir ngajak ngobrol ya gak bisa ke luar berarti.”
“Oalah, yaudah kalo gitu besok aja.”
Aku masih sangat ingat malam itu adalah hari Kamis. Tidak lama Mamat datang membawa seperangkat raket untuk kegiatan badminton rutinnya. Dia datang untuk mengambil galon kosongku dan dia mengantarkanku untuk membeli air galon. Setelah dia memasang galonnya di dispenser kamarku, kemudian dia langsung pamit untuk pergi badminton. Iya, dia langsung pergi, kami tidak mengobrol lama. Namun saat itu aku sedikit berbohong pada Pangeran untuk berkilah agar kami tidak jadi ke luar malam itu. Bagaimana ya, aku belum bisa benar-benar yakin untuk membuka hati. Selain masih trauma dan sedang dekat dengan Mamat, aku pun masih belum mengenal sosok asing yang belum pernah kutemui sebelumnya ini. Aku terkadang takut untuk bertemu dengan orang baru. Bagaimana nanti ketika kita sudah bertemu, apa yang harus aku bicarakan, secara aku belum tahu latarbelakangnya, tidak mungkin jika aku banyak bercerita tentang diriku sendiri. Ketakutan terbesar adalah jika situasi menjadi “krik krik” dan kami salting. Akan jadi sangat tidak nyaman, aku masih belum siap.
Meskipun kami tidak jadi bertemu malam itu, satu malam itu menjadi lebih manis rasanya. Kami terus saling berkirim pesan semalaman. Aku jadi merasa semakin nyaman, apalagi dengan gaya bahasanya, Bahasa Jawa ala rumah, karena kami ternyata berasal dari kota yang sama. Malam itu hari Kamis, artinya adalah Malam Jum’at, dan kegiatanku malam itu adalah berbaring di tempat tidur dengan selimutku yang nyaman menutup badan dengan tayangan “Masih Dunia Lain” yang aku tonton dengan situasi kamar gelap karena aku matikan lampunya, karena dulu aku lebih suka tidur dengan kondisi lampu mati. Bayangkan saja bagaimana ngerinya malamku saat itu, namun tidak sengeri biasanya. Aku memang terbiasa menikmati tontonan itu, namun saat itu dibarengi dengan chat dari Pangeran yang terus masuk. Kami masih terus berbalas pesan sampai larut. Dan ternyata dia juga menonton acara yang sama, jadi merasa lebih dekat jika ternyata dia menyukai hal yang sama. Hahaaa. Dia menemaniku sampai acara selesai dan aku tertidur. Iya, aku memang sangat gampang tertidur, tanpa ada niatan tidur pun jika posisi sudah pas aku bisa langsung tidur.
Keesokan harinya, pagi kulalui seperti biasa, kuliah. Tapi hari itu seingatku tidak ada banyak jadwal, jadi aku pulang ke kost bahkan sebelum waktu sholat Jumat. Dan ternyata tidak berhenti sampai tadi malam, pagi itu Pangeran masih mengirim pesan padaku saat dia bangun tidur katanya.
“Hoaamm, ngantuk.”
“Gak kuliah po?”
“Belum masuk. Dosennya belum dateng.”
“Kok tau.”
“Biasa, anak buah laporan.”
“Ya mbok mandi dulu, siap-siap, ditunggu di kampus.”
Tidak beberapa lama kemudian,
“Aku mandi dulu, trus berangkat kuliah, dosennya udah dateng.”
What?! Really?! Aku pikir kami masih pada tahap pendekatan, tapi bagaimana mungkin dia begitu beraninya memperlihatkan sisi buruknya. Tidak terlalu buruk juga sih, tapi kan biasanya jika pedekate pasti mereka akan mengungkapkan kebaikan-kebaikannya saja agar kita kagum. Tapi Pangeran begitu berbeda, namun aku jadi semakin penasaran dengan perilakunya yang tidak biasa dilakukan pria saat pedekate itu. Hmmm
Tidak lama kemudian dia laporan bahwa dia sudah pulang dan berada di kost. Aku mulai yakin dia benar-benar ingin mendekatiku, karena dia mulai melapor tentang apa yang ia lakukan, padahal aku masih belum menjadi siapa-siapanya, dan aku pun tidak masalah apa pun yang ingin dilakukannya di luar sana. Namun dia sudah seperti yakin bahwa aku butuh informasi tentang apa saja yang dilakukannya. Hahaa, dasar kepedean. Tapi aku sendiri merasa lebih dihargai memang jika seperti itu, berarti dia menganggapku meski kami belum sedekat itu.
“Tidur ah.”
“Heh ngawur, kalo ketiduran gimana, kan mau Jum’atan.”
“Gak, gak.”
“Yaudah”
Setelah itu dia menghilang, mungkin dia benar-benar tidur. Setelah beberapa saat dia kembali mengirim pesan. Dan, aku semakin berpikir betapa anehnya anak ini.
“Ketiduran, gak bangun Jum’atan.”
“Ya ampun, bener kana pa kataku. Ngeyel sih. Tau gitu tadi aku bangunin, aku pikir emang kamu udah pergi Jumatan.”
“Hehee, terus aku ngumpet di lantai 3, jadi gak ketahuan anak-anak kos kalo aku gak Jumatan.”
Gila, ini anak benar-benar gila. Dengan santainya dia menceritakan kejelakannya padaku. Apa dia tidak takut aku akan illfeel dan malah menjauh? Apa jangan-jangan memang dia sengaja ingin mengetesku saja? Aku jadi heran. Tapi justru karena aku penasaran kemudian hubungan kami tetap aku lanjutkan.
“Nanti malem bisa ke luar?”
“Duh, aku nanti malem ada janji sama temen-temen. Ada temen dateng dari Surabya sama Padang. Jadi yang nemeni mumpung di sini, besok mereka pada pulang soalnya. Sorry ya.”
“Ooh iya gakpapa, besok masih ada waktu.”
Sabar banget ini anak, tetap tabah meski sudah kutolak dua kali ajakannya untuk ke luar. Tapi kali ini aku benar-benar jujur, aku memang sedang ada janji waktu itu. Jadi yasudahlah, gagal lagi untuk bertemu Sang Pangeran. Malam harinya aku memang bersama teman-teman nongkrong di salah satu spot tongkrongan Jogja, kami duduk-duduk di area Monumen Serangan 1 Maret di titik 0km Jogja. Tidak banyak yang kami lakukan, hanya bersenda gurau, bernyanyi bersama diiringi gitar, dengan beberapa bungkus kacang rebus dan segelas kopi hangat, menikmati malam di Jogja. Dan aku masih tidak terlepas dari Pangeran, kami masih terus berkomunikasi.
“Aku masih di 0km, abis ini mau makan di angkringan daerah Wijilan. Kalau BBM aku gak bisa berarti HP ku mati, ini baterai low bat. Paling tengah malem nanti aku baru pulang. SMS aja gimana?”
“Oke, nomermu berapa?”
“089xxxxxxxx”
“Okesip”
Sebenarnya aku sedikit mengadu nyali saat mengaku selarut itu hampir pukul 00.00 aku masih berada di luar. Aku takut di cap tidak baik, tapi aku jujur saja, karena memang aku tidak melakukan hal aneh di luar sana. Tapi aku lihat responnya tidak terlalu kaget dan merasa aku melakukan hal jelek.
Yak, aku rasa sebuah fase pedekate yang diawali dari media sosial memang menjadi one step closer jika sudah saling mengetahui nomor telepon. Entah iya atau tidak menurut kalian, tapi menurutku ketika kita bisa berkomunikasi di saat sedang off line dari medsos rasanya jadi lebih dekat. Dan benar, ketika HP ku mati dia mulai mengirim SMS. Sewajarnya seorang pria, dia hanya menasihatiku saja agar tidak pulang terlalu pagi. Meski hanya bereaksi seperti itu, aku yakin sebenarnya dalam hatinya dia tidak suka. Hahaa. Kami pun terus saling mengirim SMS sampai aku pulang ke kos dan tertidur.
Hello Saturday, jadi deg-deg an pagi itu saat aku terbangun. Sudah dua kali ajakannya untuk bertemu aku tolak, saat itu malam Minggu, apakah dia akan tetap mengajakku bertemu ataukah dia akan menyerah? Entahlah, tapi HP mulai bordering, dia masih mengiriku pesan. Kami saling berbalas chat sampai akhirnya dia masih memberanikan diri untuk mengajakku bertemu.
“Malam ini masih ada acara? Kalo ke luar bisa gak?
“Gak ada kok, malam ini free. Boleh boleeh.”
“Oke, nanti aku jemput ya. Kost mu mana tepatnya?”
Tanpa berpikir terlalu panjang aku iyakan saja ajakannya. Aku merasa tidak enak hati jika harus menolaknya lagi. Dan ternyata dia masih berusaha meski sudah mengalami penolakan berulang. Aku pikir berarti dia ada sedikit keseriusan untuk mendekatiku. Sore pun datang, namun hujan mengguyur cukup deras saat itu. Benar saja, saat itu adalah bulan April, jadi wajar jika setiap hari hujan turun. Aku berpikiran, apa iya janji malam ini akan batal lagi jika hujan terus turun? Hmmm
“Hujan e.”
“Iya, lha gimana enaknya?”
“Ya tunggu aja kalau jam 8 nanti udah gak hujan ya tak jemput.”
“Emang mau ke mana nanti?”
“Gampang lah, pikir nanti, yang penting hujannya berhenti dulu.”
Dengan mengharap hujan berhenti, kami masih terus berkirim pesan. Selain itu aku sibuk memilih baju apa yang akan aku pakai. Aku sebenarnya agak cuek dalam berpenampilan, yang penting aku nyaman ya aku pakai, tapi hari itu mendadak aku bingung mau pakai apa. Rasanya aku tidak ingin salah kostum, tapi aku pikir-pikir lagi, jika aku terlalu berlebihan pasti juga akan terlihat aneh. Jadi aku putuskan saja untuk berpenampilan seperti biasa, toh paling hanya akan nongkrong entah di mana. Aku pakai kaos jersey Real Madridku yang berwarna pink cerah (yang ini beli sendiri, bukan hadiah dari Raka, Hahaa), karena kaosnya lengan pendek, aku memakai cardigan warna hitam, kemudian aku pakai celana jeans berwarna abu-abu, dan aku pakai kerudung segi empat berwarna pink soft. Dengan tas kecil berbentuk bulat garis-garis berwarna coklat aku siapkan segala isi tas yang biasa aku bawa.
“Situ masih hujan gak?”
“Udah gak, cuma grimis dikit, jadi?”
“Jadi, tunggu ya, aku berangkat jemput.”
“Oke, ati-ati.”
Yakk, jantung mulai berdebar. Karena hal semacam ini rasanya tidak sering aku lalui. Aku biasa jatuh cinta dengan orang yang memang sudah aku kenal atau yang berada di satu lingkungan denganku, bukan dengan seseorang yang sama sekali asing bagiku. Bismillah lancar. Hahaaa.
Aku menunggu di depan kost, dan seseorang berpawakan kurus, agak tinggi, kulit sawo matang, dengan kaos polo merah marun, celana jins gelap, tas kecil, menaiki sebuah motor sc**py berhenti di sebrang jalan. Ia berhenti dan mengeluarkan HP nya, kemudian aku menghampirinya, langsung saja aku megulurkan tangan dan menyalaminya.
“Putri.”
“Pangeran.”
“Hmmm, mau ke mana kita?”
“Kalau nobar mau gak?”
“Nobar apa?”
“MU vs Chelsea.”
“Boleh.”
Aku pun menaiki motornya, dan kami pergi menuju tempat yang dituju, meski aku tidak tahu di mana tepatnya karena tidak aku tanyakan. Di jalan kami sedikit mengobrol untuk sekedar basa-basi saja. Sampailah kami di sebuah café, sebelumya aku juga sudah beberapa kali ke tempat itu, jadi sudah tidak asing. Sesampainya kami di sana ternyata dia tak sendiri, kami menghampiri sebuah meja di mana sudah ada tiga orang pria di sana, ternyata mereka adalah teman-teman Pangeran. Oh My God, pertama bertemu ternyata tidak hanya kami berdua, tapi dia beramai-ramai. Alamaaak.
Meskipun agak aneh tapi aku berusaha santai dan membaur dengan mereka. Setelah memesan minuman aku mulai ngobrol dengan Pangeran. Dari obrolan kami akhirnya terkuat bahwa dia tinggal tidak jauh dari rumahku, kami hanya beda desa, bahkan dulu kami bersekolah di TK yang sama meski saat dia masuk aku sudah lulus. Obrolan pun semakin asik karena kami mulai membahas banyak hal. Dan ternyata dia pun begitu humoris, aku banyak tertawa karena guyonannya dan teman-temannya. Kami mengobrol tanpa henti, selalu sambung menyambung, tak pernah ada sedikit pun kesempatan untuk krik-krik dan membuat salting. Aku tidak menyangkan, kami bersenda gurau layaknya sudah saling mengenal lama sebelumnya. Benar-benar tidak terasa bahwa dia sebenarnya adalah orang asing yang belum pernah aku kenal.
Tak terasa pertandingan sudah dimulai, kami pun bergeser posisi untuk menghadap ke layar. Sesekali aku mengecek HP ku dari dalam tas, saat aku mulai membuka HP Pangeran terlihat menengok kea rah HP ku. Aku pikir kepo sekali ini anak dengan apa yang ingin aku lakukan, tapi aku membiarkannya saja, toh tidak ada yang perlu kurahasiakan.
Kami fokus menonton bola, meskipun aku tidak begitu mengikuti bola, namun jika suatu waktu aku harus mengikuti sebuah pertandingan aku akan serius dan bahkan bisa terbawa. Jadi aku tidak merasa bosan jika memang harus menonton, apalagi jika MU dan Chelsea saja aku masih sedikit tahu karena mereka memang terkenal di kalangan orang awam bola. Saat sedang fokus, sesekali Pangeran menyanyi-nyanyi lirih,
“Cinta itu kayak marmut lucu warna merah jambu.”
Sekali dua kali dia menyanyikan reff lagu itu, aku baru sadar bahwa bajuku warna merah jambu alias pink. Dan kalian tahu aku sensitive terhadap lirik, mungkin saja dia menyanyikan lagu itu memang karena sedang suka lagunya, tapi aku pun tetap saja baper dan merasa lagu itu untukku sehingga aku merasa berbunga-bunga dan senyum-senyum sendiri. Aaaaah, aku kembali merasakan bunga-bunga itu lagi dalam hatiku, padahal aku sudah hampir lupa bagaimana rasanya, tapi ternyata meski sudah bukan ABG lagi aku masih bisa merasakan bahagianya. Aku pun belum bisa berkata bahwa aku sudah mulai mencintainya, tidak secepat itu memang, tapi setidaknya benih-benih itu mulai muncul. That’s why kadang jika mendengar lagu itu sampai saat ini aku masih bisa merasakan euphoria hatiku saat itu.
Sepanjang pertandingan meski kami fokus menonton, sesekali kami saling menatap dan tersenyum. Entah, meski saat itu situasi begitu riuh namun aku masih bisa merasakan sisi romantisnya. Sesekali kami juga masih mengobrol membicarakan berbagai macam hal sampai pertandingan selesai. Kemudian beberapa orang tiba-tiba datang.
“Penuh Men, kita duduk di mana, gak ada tempat.”
“Ah masa?”
“Ya udah terserah kalian mau ke mana nanti aku menyusul.”
Mereka berbicara dengan Pangeran. Aku pun bertanya-tanya siapa mereka. Mereka terlihat seperti orang Jawa karena mereka berbicara menggunakan Bahasa Jawa ala kami, dan mereka tidak saling menyapa dengan kawan-kawan Pangeran yang sudah ada di situ. Aku simpulkan berarti itu teman Pangeran yang lain. Mereka pun kemudian pergi.
“Siapa?”
“Ya itu tadi si Deny, anak Bu Mia, guru TK kita. Sekampus sama aku, tapi beda jurusan.”
“Oalah gitu to.”
Kami lanjut berbincang-bincang dan tertawa. Kemudian Pangeran mengajakku berdiri dan kami pun pergi ke café sebrang jalan. Ternyata kami mau menghampiri teman-temannya tadi. Setelah masuk, kami menemui mereka, kami duduk se meja, aku dan Raka memesan minum. Mereka pun ngobrol, sesekali aku pun diajak ngobrol. Ternyata mereka juga berasal dari Kota yang sama denganku, mereka semua sedang menempuh pendidikan di Jogja. Mereka begitu akrab, namun aku tidak terlalu suka karena mereka terkesan agak kasar bagiku. Setelah lewat tengah malam pun kami akhirnya kembali ke café awal untuk pulang. Sssstt, yang sampai sekarang aku sesali adalah, mereka tadi memesan sepiring penuh kentang goring dan tidak mereka habiskan, padahal aku sangat suka tapi aku malu jika makan banyak di pertemuan pertama. Heheee
Setelah sampai di depan café, terlihat kawan-kawan Pangeran tadi berusaha menyalakan sebuah motor Var*o berwarna putih ungu. Terlihat sangat susah, kemudian Pangeran yang mencoba dan akhirnya hidup. Kemudian kami pun pulang dengan situasi grimis dan dingin.
“Itu tadi motor siapa?”
“Motorku.”
“Hloh, lha ini?”
“Motor cungkring tadi.”
“Kok kita gak pake motormu?”
“Panjang ceritanya.”
“Oooh, kok kamu gak pake jaket sih, gak dingin?”
“Gak kok.”

Bohong banget ding itu, sok kuat aja pasti. Aku saja yang memakai jaket masih merasa dingin. Hahaaa. Aku pun diantar pulang ke kost dan dia langsung pamit. Sesampainya di kost dia mengirimiku chat selamat tidur. Hmmmm, saat itu pun aku penasaran apa yang akan terjadi besok, bagaiamana first impression tentangku menurutnya, apakah dia kapok atau bagaimana. Dengan bertanya-tanya aku pun tertidur dan menunggu waktu esok untuk menjawabnya.
#ToBeContinued #GambarBukanHakMilikPenulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar