Three |
“Mamii, ayo nonton, The Avangers udah keluar nih yang terbaru.”
“Aku
ngikut kalian aja.”
“Siippppp…”
Mami,
iya, beberapa teman kuliah memanggilku dengan sebutan Mami. Panjang
asal-usulnya, yang jelas, aku juga dianggap yang paling kalem dan keibuan.
Memang aku lebih suka memperlakukan orang lain seperti aku diperlakukan oleh
ibuku. Aku termasuk anak manja, aku selalu diladeni
jika butuh apapun, aku tak pernah dimarahi sekalipun aku berbuat salah, ibu
hanya akan menasihati dengan lembut menurutku, dan aku suka diperlakukan
seperti itu. Dan tanpa dirasa ternyata perilaku ibu juga merasuk ke perilakuku.
Sebelumnya
aku sudah sempat menyinggung bahwa dalam satu kelas kami seolah membentu
kelompok-kelompok, dan aku masuk ke dalam kelompok anak-anak heboh. Di dalamnya
ada Dedi, beberapa anak laki-laki, dan beberapa anak perempuan. Dari seluruh
anak dalam kelompok ini pun masih terpecah lagi menjadi beberapa grup, Tri
Idiot dulu kami bilang. Dedi, Miftah, dan Iwan selalu bersama, sedangkan aku
selalu bersama dengan Risma dan Nana.
Risma,
iya Risma, gadis super heboh yang sempat aku singgung sebelumnya. Dia yang
dalam hatiku aku berkata bahwa aku tak menyukainya, sekarang justru kami begitu
dekat. Lagi-lagi kasusnya begitu, aku rasa lain waktu aku harus berhati-hati
jika berkata-kata dalam hati. Setelah Pita, sekarang Risma, Hahaaa. Hidup
memang tak pernah bisa ditebak. Mungkin Tuhan tak suka aku menanam benih-benih
kebencian pada orang lain, jadi Tuhan membuat scenario agar aku jadi dekat
dengan mereka.
Aku
mulai dekat dengan Risma saat dia mulai memisahkan diri dari kelompoknya
sebelumku, dia agak menjauh karena menganggap gaya hidup kelompoknya terlalu
hedon, dan dia merasa tak bisa jika harus terus mengikutinya. Setelah memisahkan
diri kemudian dia masuk ke kelompokku, dan sebagai sesama perempuan kami
bergaul bersama.
Memang,
seperti apa kataku, Risma ini sangat heboh, keras kepala, dan kadang cenderung
galak. Tapi lama kelamaan aku mencoba mencocokkan diri dengannya, dan kami bisa
cocok untuk bergaul bersama. Sangat dekat, dia pun sering menginap di kost ku,
ke mana pun jika ada aku maka ada dia. Meski aku menikmatinya, tetap aku tak
percaya adanya sahabat, aku tetap tak menganggapnya lebih dari teman biasa yang
kebetulan sedang dekat.
“Mii,
Nana sakit.”
“Ya
ampun, iya nanti aku ke kost mu ya.”
“Iya
Mi.”
“Tahan
ya Naa.”
Nana,
usianya lebih muda satu tahun dari aku dan Risma, sehingga kami memperlakukannya
seperti adik kami. Jika Risma adalah warga asli Jogja, Nana justru perantau
dari Sumatra Barat, dan aku berasal dari Jawa Timur. Kami semua berbeda latar
belakang, tapi kami bisa dekat saat itu.
Entah
bagaimana ceritanya aku dan Nana bisa dekat, aku tak begitu mengingat momennya.
Yang jelas Nana dulu sakit-sakitan, dan ibu kost nya sangat tidak ramah. Pernah
aku hampir setiap hari datang untuk menungguinya, kadang aku menginap, kadang
malam aku pulang. Sampai akhirnya dia tidak mau memperpanjang masa kost nya,
dan belum mendapat tempat kost baru. Lalu aku ijinkan diam-diam dia menginap di
kost ku sampai beberapa waktu.
Entah
berapa lama Nana berada di tempatku, yang jelas kemudian kami menjadi sangat
dekat saat itu, terlebih Risma juga sering menginap karena jika kami keluar
terlalu malam kasian jika harus pulang sendirian. Kami sangat dekat, semua
tentang mereka aku tahu. Risma si anak broken
home yang mencoba tegar dan kuat sebagai anak tertua, dan Nana yang sedang
dijodohkan tapi tak terlalu menyukainya. Hidup sudah seperti sinetron, bukan,
memang sepertinya sinetron diambil dari kisah nyata.
“Mi,
Nana gak enak di sini terus ngerepotin Mami.”
“Gakpapa
Naa, selama kamu belum dapet tempat ya di sini aja. Ini kan lagi cari.”
“Gak
enak ngrepotin Mami terus, Nana pindah ke asrama anak SumBar aja ya Mi.”
“Lhoh,
kan jauh Na, udah di sini aja gakpapa.”
“Gakpapa
Mi, kan ada motor. Besok Nana mulai pindahin barang-barang Nana ya Mi.”
“Ini
beneran?”
“Makasih
ya Mi, Mami selama ini udah mau nampung Nana.”
Aku
memang suka jika menolong orang yang membutuhkan, terlebih lagi yang aku anggap
sedang dekat denganku. Tapi setelah aku berpikir, bukankah jika merasa sangat dekat
maka tak akan ada rasa terlalu tidak enak atau merepotkan? Mereka yang merasa
mereka merepotkanmu, sebenarnya mencerminkan bahwa mereka tidak sedekat itu
denganmu. Jadim sebenarnya selama ini aku masih dianggap orang lain olehnya. Entah
mengapa itulah yang ada di pikiranku. Baiklah, sejak awal aku sudah siap, jadi
aku biarkan saja bagaimana maunya.
Hari-hari
berlalu masih seperti biasanya. Sepulang kuliah beberapa dari kami seperti
biasa, berkumpul untuk sekedar makan malam bersama dan bercerita tentang banyak
hal. Meskipun setiap hari kami bertemu, tapi selalu ada hal yang bisa
dibicarakan. Tapi kami baru sadar, Nana tak lagi selalu ikut berkumpul bersama
kami sejak saat itu. Yang lain bertanya padaku, aku hanya menjawab “Entahlah”.
Di saat yang lain mulai bertanya-tanya, aku
tak mau tahu apa yang terjadi. Aku tak tahu dan tak mau tahu, jika memang ia
mau bercerita pasti akan diceritakan, tapi jika dia tidak menceritakan apapun
maka aku tak akan berusaha bertanya atau mencari tahunya. Itulah aku saat ini,
aku tak mau terlalu peduli pada orang. Jika mereka tak peduli padaku, untuk apa
aku mempedulikannya.
Tak
lama setelah itu aku dan Risma pun mulai tak banyak menghabiskan waktu bersama.
Iya, pacarnya baru, dan mereka lebih sering menghabiskan waktu berdua. Aku, aku
tak mau tahu dan tak peduli. Jika kau ada ya sudah, jika kau langsung pergi
juga terserah.
Suatu
saat aku terlambat saat kuliah, biasanya aku duduk di deretan kanan bersama
para kubu kanan. Tapi saat itu aku terlambat, karena pintu kelas ada di dekat
barisan kubu kiri, mau tidak mau aku duduk di situ. Tak lama setelah aku datang
ternyata Nana juga datang, akhirnya dia duduk di sampingku. Di pertengahan kuliah
kami sempat mengobrol sebentar, dan sepertinya dia pun mencium bau-bau bahwa
aku dan Risma mulai tak terlihat berdua lagi.
“Mi
kok duduk di sini, kok gak sama Tante Risma?”
“Aku
tadi telat, makannya duduk di sini.”
“Mami
sama Tante kenapa? Gak lagi marahan kan? Kayaknya jarang berdua sekarang.”
“Gak
kok, gakpapa, pacarnya baru, dia lebih sering pergi sama pacarnya, ya aku sih
terserah aja.”
“Tapi
kalian gak marahan kan?”
“Gak
kok, santai. Kamu sendiri ke mana aja?”
“Sebenarnya
anu Mi, maaf, bukannya Nana menjauh, tapi Nana kadang gak bisa ngikutin
bercandaan kalian. Ditambah Nana selalu dipantau dan gak boleh pulang malam
sama Brian. Daripada Nana dimarahin terus jadi Nana manut aja.”
Ooh,
jadi itu alasannya selama ini? Ah terserahlah. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik
untuk hidupnya. Aku, akan lebih menyibukkan diri untuk diriku sendiri, tak
perlu ambil pusing dengan kehidupan orang lain.
Tak
lama kemudian Risma sepertinya mulai lelah, aku tak pernah memulai mendiaminya,
sehingga aku tak pernah mau memulai mengajaknya berbicara. Akhirnya suatu saat
di kelas dia mengajakku berbicara, dan aku tanggapi saja seperti biasanya. Lama
kelamaan dia mulai membersamaiku lagi, alias kami kembali dekat lagi seperti
dulu.
Aku
lihat Nana sudah menemukan grup yang lain, mereka bertiga terlihat sangat dekat
dan selalu bersama. Syukurlah sekarang dia telah menemukan yang cocok
dengannya. Dan aku, masih bersama Risma, berdua, dan berganti-ganti pasangan.
Maksudnya, kami berdua beberapa waktu dengan dua orang lain yang memang sejak
awal dekat, yaitu Rima dan Ana. Kami sering sekali menghabiskan waktu berempat.
Sampai entah mengapa kami tak lagi sering berempat. Lalu, kami dekat dengan Ria
dan Yuli, kalau yang ini karena kami sering menghabiskan waktu bersama di HMJ,
sehingga di luar HMJ pun kami dekat. Meski berganti-ganti, tapi aku dan Risma
tetap bersama.
Apakah
Risma adalah sosok sahabat bagiku? Entahlah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar