Strangers |
Sebelumnya
aku pernah berkata tentang persahabatan lelaki dan perempuan tidak selalu ada
rasa yang terlibat. Iya, itu antara aku dan Dedi, tapi tidak antara aku dan
Iwan. Iwan, sangat dekat dengan Dedi, dan aku sangat dekat dengan Dedi juga,
mau tidak mau kami sering bersama. Sebenarnya aku tidak secara langsung dekat
dengan Iwan, aku hanya pergi ke mana Dedi pergi, sayangnya Dedi selalu pergi
dengan Iwan, jadilah kami bertiga sering bersama.
Seperti
yang aku katakan, aku dan Iwan tak pernah benar-benar dekat sebagai teman
dekat. Bahkan aku sempat tak suka dengannya saat pertama bertemu di OSPEK.
Iwan, pria berkulit sawo sangat matang (Hahaaa), cukup tinggi, dan kurus.
Sebagai sesama mahasiswa baru kami tak saling mengenal, aku tak berusaha
mengenalnya, begitu pula dia.
“Heh,
titip salam buat temenmu.”
“Ha?
Siapa?”
“Cici,
itu yang cantik, putih. Yang giginya gingsul.”
“Oh,
iya.”
Itulah
percakapan pertama kami saat OSPEK sesi Fakultas. Aku pikir, ini anak pasti playboy, sukanya sama cewek-cewek cantik,
putih, gigi gingsul, rambut lurus teruari, badan langsing, agak pendek,
imut-imut, ya cewek masa kini lah. Euwh, cowok alay, gondes, yang dicari dari perempuan adalah fisiknya. Berasa ingin
muntah aku mengingatnya.
Saat
OSPEK sesi Jurusan, tak tahunya dia, si Iwan, satu jurusan denganku, hadeeeeh.
Kegiatan kami di sebuah aula dengan tempat duduk dibagi dua sisi, berhadap-hadapan.
Dan ternyata si playboy ini duduk
berhadapan denganku. Dari apa yang aku deskripsikan tentangnya, tentu dia tidak
akan ada rasa suka denganku yang biasa-biasa saja ini. Tapi anehnya, sepanjang
acara dia terus-terusan menatap ke
arahku. Entah ini memang karena kami berhadapan atau bagaimana, yang jelas aku
merasa sangat tidak nyaman.
Matanya
begitu tajam menatap. Beberapa kali aku balas menatap tapi dia tidak
mengalihkan pandangannya. Sebentar, ini bukan seperti tatapan suka, tapi
tatapannya seperti tatapan penasaran dan lama-lama seeprti penjahat yang
menatap bagaikan mengancam ingin membunuh seseorang di hadapannya. Anak ini
pasti gila, hiiiii, aku tak sukaaa.
Beberapa
waktu berlalu, ternyata dia masuk ke kelompok heboh, dan ternyata dia dekat
dengan Dedi, di mana aku juga sejak awal dekat dengan Dedi. Tapi aku tak pernah
terlalu suka dengannya walau kami satu gerombolan, terlebih di awal-awal dia
dekat dengan Nana. Nana yang pernah menajdi teman dekatku. Aku tak mau ikut
campur dengan hubungan mereka. Yang jelas yang aku tahu Nana banyak merasa tak
senang saat dengan Iwan.
Singkat
cerita aku, Dedi, dan Iwan banyak menghabiskan waktu bersama, khususnya di secretariat
HMJ. Kali ini Iwan punya pacar, Ica, kakak tingkat dari jurusan lain. Dan aku,
aku masih menjalin hubungan dengan Anton. Hari demi hari kami bersama, Iwan
bukan sosok mahasiswa pintar yang bisa mengerjakan tugas sendiri, aku sebagai
teman kadang berusaha membantunya. Selain urusan organisasi, tugas, kami sering
makan bersama, bertiga tapi.
Aku
dan Iwan terlihat dekat, sampai aku juga dekat dengan Ica, pacarnya. Tadinya
biasa-biasa saja, sampai akhirnya terlihat bahwa Ica gampang cemburu melihat
Iwan memang punya potensi playboy.
“Davina,
kalau Iwan macem-macem bilang aku ya.”
“Siap
mbak.”
Ica
tahu bahwa aku sering bersama Iwan, di sini bukan dia yang cemburu padaku, tapi
justru dia hanya percaya padaku, melihat ada sejarah beberapa mahasiswi sekelas
yang pernah didekati Iwan, Ica hanya percaya padaku. Dengan begitu ke manapun
kami pergi ramai-ramai, mau tidak mau Iwan hanya bisa dekat denganku, jika Ica
tahu Iwan dekat dengan yang lain dia bisa marah.
Dengan
dekatnya kami karena keadaan, aku mulai merasa dekat pula dengan Iwan, tetap,
sedekat apapun aku tak suka curhat. Tapi kali ini dia yang mulai curhat.
Lama-lama dia curhat tentang Ica yang sepertinya dekat dengan orang lain. Aku,
hanya bisa mendengarkan dan sesekali menanggapi, tak lebih.
Berawal
dari curhat itu Iwan semakin berubah. Dia jadi lebih sering ingin berdua
denganku saja, tidak dengan Dedi, padahal kami biasa bertiga. Aku mulai mencium
bau-bau tak sedap di sini, haduuuuuh, kenapa ini anak. Bahkan dia mulai intens chat denganku. Tak lama kemudian Iwan
berkata bahwa dia dan Ica sudah putus karena terbukti Ica punya gandengan lain.
Aku mulai berpikir keras, apa-apaan ini. Dan aku, aku selalu tak bisa menolak
jika seseorang butuh bantuan, aku sepertinya terlalu baik, tunggu, terlalu baik
dan goblok mau dimanfaatkan
sepertinya beda tipis.
“Davinaa,
Iwan mana?”
“Lhah,
mana ku tahu, emang aku emboknya ?”
“Ya
kan biasanya di mana ada kamu ada dia.”
“Hish,
apa sih.”
“Beneran
ini, aku ada perlu sama dia.”
O
o o u, sekarang gossip sudah mulai merebak. Sepertinya satu kampus mulai
berpendapat bahwa kami ada apa-apa. Tapi aku kan ada Anton, ya meskipun tak ada
yang tahu aku tak jomblo. Iwan sendiri lucu, dia jelas-jelas tahu aku ada
Anton, kenapa dia tetap mendekatiku?
“Berangkat
kuliah sama siapa?”
“Biasa,
sendiri. Kenapa Wan?”
“Aku
jemput ya.”
Anak-anak
kelas mulai memandangku dengan pandangan sinis saat tahu aku dan Iwan datang
bersama. Ya jelas, mereka tahu aku ada pacar di sana. Tapi saat di kelas kami
berusaha bersikap seperti biasa. Kami tak terlalu terlihat bersama, bahkan Iwan
seperti dengan sengaja mengeluarkan jurus ganjennya pada anak-anak yang lain.
Tapi lama-kelamaan kenapa aku merasa tak suka saat dia menggoda yang lain?
Lhoh, ada apa ini denganku?
“Makan
yuk.”
“Makan
apa?”
“Bakmi
Jawa mau? Aku bungkusin nanti di maem di kos.”
“Boleh.
Ati-ati Wan.”
Yak,
aku sepertinya mulai merasa nyaman dengannya, sepertinya aku mulai berbuat tak
baik. Di satu sisi, seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku dan Anton hampir
setiap hari dan hampir setiap hari pula
aku harus menangis sendiri di kamar karena pertengkaran kami. Di sisi lain ada
Iwan yang semakin menunjukkan bahwa dia care
padaku.
Kami
tak pernah mengatakan kepada satu sama lain jika kami suka atau sayang, kami
hanya terus berjalan seperti biasanya. Aku mulai tak suka saat Iwan ganjen di
hadapanku, ini, aku rasa ini tanda aku mulai suka dengannya. Akhirnya beberapa
dari kami pun mulai mencium kedekatan kami, namun tak ada dari mereka yang
berusaha memisahkan kami atau berusaha mengingatkan bahwa aku punya Anton. Aku
rasa mereka pikir kami cukup dewasa untuk mengelola hati.
“Aku
diare Ton, sakit banget, lemes.”
“Ya
ampun, minum oralit, tetep makan ya.”
Saat
itu aku sakit, dan tentu orang sakit butuh diperhatikan dan dirawat. Anton
masih sangat sayang dan peduli padaku, meskipun kami setiap hari bertengkar. Entah
bagaimana mendefinisikan hubungan ini. Aku sendiri bingung dengan kondisi saat
ini.
“Tak
belikan makan ya, tak anter sekarang ke kos.”
“Iya,
makasih ya Wan, ati-ati.”
Yak,
di satu sisi ada yang perhatiannya lebih nyata padaku. Aku tahu Anton jauh,
tapi kondisiku saat ini sedang butuh yang ada di sampingku. Tapi ternyata
tiba-tiba Anton mengirim pesan.
“Aku
udah mau nyampe kota mu, mau nitip dibeliin apa?”
“Ha?
Kapan berangkatnya?”
“Tadi
buru-buru, gak sempet bilang.”
“Gak
usah, udah beli maem. Nitip oralit aja.”
Matih,
sebentar lagi Iwan datang dan Anton tiba-tiba juga hampir sampai. Aku
benar-benar deg-deg an saat itu, bagaimana jika mereka datang bersamaan? Bisa
berantakan semuanya. Namun untungnya Iwan datang lebih dulu.
“Makasih
Wan ya. Tapi gak usah mampir gakpapa? Anton mau ke sini ternyata.”
“Oh,
iya, gakpapa. Di makan dulu, aku pulang.”
“Ati-ati
ya, makasih.”
Heuh,
untung saja kali ini nasib masih berpihak padaku. Dengan kondisi lemas aku
menunggu Anton di ruang tamu kos. Dia pun datang dengan jas hujan abu-abunya,
karena hari itu sedang hujan. Aku tak menyangka Anton datang, biasanya sesakit
apapun aku dia tak pernah datang, paling hanya mengingatkan atau minta tolong
temanku untuk datang menemaniku. Tapi kali ini berbeda.
“Makasih
ya udah dateng ngrawat aku.”
“Iya,
mumpung weekend juga, sakitmu pas
banget hari libur.”
“Hahahaaa…”
Tapi
beberapa waktu kami bersama, entah bagaimana kami tiba-tiba mulai beradu mulut.
Suasana mulai tegang, kami mulai bertengkar. Sedang aku masih dalam keadaan
lemas. Gila, dalam kondisi seperti ini kami masih bisa bertengkar.
“Kalau
kamu datng cuma mau ngajak berantem, sana pulang!! Aku gak butuh!!”
“Kamu
ini udah didatengin jauh-jauh bukannya terima kasih.”
“Buat
apa terima kasih kalau cuma diajak berantem?!”
“Arghhh.”
“Apa?!
Apa?! Males, pusing kepalaku. Tahu orang sakit tetep egonya nomer satu.”
Keesokan
harinya dia pulang. Meski pertengkaran sudah berakhir, taoi aku tak habis pikir
hal itu bisa terjadi. Dia sama sekali tak bisa melihat keadaan dan mengontrol
emosinya di saat yang tepat. Singkat cerita, seperti yang sudah aku ceritakan
sebelumnya, aku dan Anton putus.
Aku
tak langusng menceritakan hal itu pada Iwan, kami hanya terus berjalan seperti
biasanya sampai akhirnya dia tahu juga. Tapi dengan putusnya aku tak ada
gerak-gerik dia ingin menyatakan cintanya padaku. Sampai suatu saat aku tahu
dia sedang dekat pula dengan orang lain. Sakit rasanya, dan aku marah, lalu dia
meminta maaf.
Sampai
suatu hari seseorang datang, Arya, nanti akan kuceritakan tentangnya. Yang
jelas aku dan Arya semakin dekat, sampai akhirnya dia berani menyatakan
perasaannya padaku. Kuceritakan bahwa posisiku saat ini sedang dekat dengan
seseorang, dan mantan masih terlihat berusaha mendekati. Tapi Arya dengan
mantab tetap ingin denganku.
Aku
sepertinya memang tak bisa sendiri, aku merasa aku terlalu rapuh untuk sendiri.
Aku tak lagi memikirkan Anton, aku terlalu sakit dan tak ingin kembali
dengannya, yang aku pikirkan Iwan. Sebenarnya bagaimana perasaannya padaku? Aku
bingung jika terus digantung, sementara di sini muncul orang baru yang
menawarkan rasanya padaku. Tak berpikir lama aku mengiyakannya. Sedangkan Iwan,
aku masih bingung dengannya.
Rasaku
kepada Iwan nyata, aku sayang, tapi aku tak bisa jika harus digantung. Lebih
dari teman, lebih dari teman dekat, tapi bukan yang tersayang, di mana
posisiku? Sampai akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya. Meskipun aku telah
mengiyakan Arya, tapi aku tetap berusaha mencari kejelasan, karena aku tahu dia
akan berkata tidak jika aku meminta kejelasan hubungan. Ini hanya strategi
untuk menyudahi semua ini.
“Kita
ini sebenarnya gimana Wan?”
“Ya
gini ini. Cinta kan tak harus memiliki?”
“What?!”
“Ya
mau kamu sama siapa aja aku tetep pengen kita dekat.”
“Kenapa
kalau sayang gak jadian aja?”
“Gak,
aku belum siap.”
Gila
kayaknya ini orang, dia mau jadi selingkuhanku selamanya? Di mana harga diriku
jika aku harus mengkhianati banyak orang. Aku tidak bisa terus begini, memang
aku belum mantab dengan Arya, tapi aku tidak mau menyakitinya. Jadi aku beri
pilihan yang sudah aku tahu jawabannya, jadian atau udahan. Dan ya, dia memilih
pilihan yang kedua.
Setelah
itu, kami begitu jauh. Bahkan untuk memandang saja tak pernah, seperti orang
yang tak lagi saling kenal. Di mana ada aku, tak mungkin ada dia, Iwan selalu
menjauhiku. Iya, karena perasaan, persahabatan yang sempat ada langsung rusak.
Wait, jika
kalian bingung, bukankah seharusnya ini menjadi cerita tentang sahabat, kenapa
sekarang menjadi tentang cinta? Aku hanya ingin menyampaikan, berhati-hatilah
dengan hubungan yang kalian katakana sahabat, dan hati-hatilah dengan perasaan
kalian. Jika salah dalam megatur hati, tak hanya cinta yang hilang, sahabat
juga akan hilang. Lagi, selain itu, berhati-hatilah kalian para perempuan.
Mereka yang datang dan ingin mendekatimu bisa saja berkedok sebagai sahabat,
padahal niatnya karena ingin mendekatimu atau memanfaatkanmu saja.
Aku
tak tahu Iwan yang mana, sahabat jadi cinta, atau cinta berkedok sahabat. Aku
tak lagi mau tahu, yang jelas kami sekarang begitu aneh. Saling menjauh, tapi
seperti tak ingin mengakui apa yang pernah ada.
Berhati-hatilah
menata hati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar