Guy Best Friend |
Kuliah.
Merantau ke kota orang, meski jarak rumah dan kotaku hanya empat jam, tapi
tetap saja kan namanya merantau. Kota baru, kampus baru, lingkungan baru, teman
baru, dan aku harus beradaptasi dengan segala kebaruan ini. Beruntung sebelum
aku masuk kuliah terlebih dahulu aku menjalani les di salah satu lembaga bimbel
yang terletak sekitar dua jam dari rumah, otomatis aku sudah terlebih dulu
merasakan jauh dari rumah, jadi aku tidak terlalu sulit beradaptasi kali ini.
Hidup
di tempat baru, bagiku yang penting aku tahu jalan ke kampus dan tempat-tempat
makan sekitar kost, selebihnya bisa kucari nanti. Dan satu yang penting, aku
rasa aku butuh teman. Tapi bagaimana aku bisa mendapatkan teman jika
kepribadianku adalah aku tak begitu suka bergaul. So, let’s see who’s gonna be my next friend.
Sebagai
mahasiswa baru tentu aku harus menjalani OSPEK. Hari itu kami melaksanakan
persiapan OSPEK, seluruh mahasiswa telah dibagi menjadi beberapa kelompok.
Karena OSPEK terdiri dari sesi Fakultas dan sesi Jurusan, maka setiap mahasiswa
akan memiliki dua kelompok.
Aku
masuk ke dalam kelompok Perubahan untuk sesi Fakultas. Dalam satu kelompok
terdiri dari sangat banyak mahasiswa baru, kurang lebih sekitar lima puluh orang.
Tentu saja aku tak bisa kenal baik dengan semua, hanya beberapa saja yang ku
kenal, tapi tidak dekat, aku tak akan semudah itu dekat dengan teman baru.
Sebagai
tipe maba yang tidak heboh dan terkesan invisible,
aku tentu tidak terkenal. Saat pemilihan ketua kelompok, ada beberapa maba
heboh yang terlihat, salah satunya Risma, dia sangat heboh, terlalu heboh
menurutku. Sekali lagi, untuk kesan pertama pada seseorang, aku tidak suka
dengan anak itu.
Tidak
ada yang istimewa di sesi Fakultas, sesi Jurusan lebih mengena menurutku. Dalam
sesi Jurusan aku masuk ke dalam kelompok Bintang, ada sekitar sepuluh orang
maba. Seperti biasa, aku tidak terlalu kenal dekat dengan mereka semua. Namun
saat sedang duduk mendengarkan arahan kakak tingkat, ada yang berbisik padaku.
“Hei.”
“Aku?”
“Iya,
aku Ramon, kamu?”
“Davina.”
“Ini
Dedi, ketua kelompok kita.”
Dua
orang mahasiswa pria, mereka kemudian bercanda denganku. Saat pulang aku pun
diantarkannya. Singkat cerita kami bertiga menjadi sangat dekat. Aku mulai
berpikir, ada yang datang menjadi teman dekat, aku harus mulai bersiap mereka
akan pergi.
“Bakso
yang enak di mana Mon? Kamu kan orang asli sini.”
“Ooh,
aku tahu, bakso urat di deket kodim.”
“Ke
sana yok.”
“Ayok,
berangkat.”
Kami
sering pergi bertiga, kadang juga hanya salah dua dari kami, tapi kami memang
sangat dekat di awal masa kuliah. Bahkan Anton pun sangat cemburu dengan mereka
berdua. Tentu saja, karena setiap dia bertanya aku sedang di mana dengan siapa,
pasti nama mereka lah yang aku sebut. Lupakan soal Anton, kali ini fokus pada
Ramon dan Dedi.
“Ded,
daftar kepengurusan Himpunan Mahasiswa Jurusan gak?”
“Pengen,
daftar yok.”
“Ayookk.
Ramon daftar yok.”
“Gak
ah, aku gak tertarik kegiatan mahasiswa. Hahaaa.”
Dengan
mendaftarnya aku dan Dedi maka kami lebih sering bersama, dan Ramon semakin tak
sedekat sebelumnya. Memang kami bertiga ini satu kelas, dan tetap bertemu
seperti biasa setiap hari, tapi lebih sering aku bersama Dedi daripada Ramon.
Semakin
ke sini kelas kami mulai terpecah menajdi beberapa kelompok, ada kelompok
pendiam, kelompok heboh, dan kelompok kontraktor (karena mereka kontrak satu
rumah). Aku sendiri masuk ke dalam kelompok heboh, sepertinya sisi ekstrovertku
mulai muncul, aku mulai menjadi ambivert. Dalam kelompok heboh ada beberapa
orang anak, yang jelas ada aku dan Dedi, sedangkan Ramon, dia tak masuk
kelompok apapun.
Aku
dan Dedi sangat dekat, dan sangat terbuka, kami menceritakan semua hal ke satu
sama lain, termasuk urusan hati. Jika orang bilang tak ada persahabatan murni
antara lelaku dan perempuan, itu bohong, buktinya sampai sekarang pun tidak
pernah sekalipun ada perasaan yang muncul diantara kami.
“Aku
pinjam motornya, motorku turun mesin.”
“Kuliahku
gimana? Jemput yaa.”
“Siappp.”
Motornya
sempat turun mesin, belum sempat dia memperbaiki, sehingga motorku kupinjamkan
padanya. Beberapa bulan motorku dibawanya. Tak apa, ke mana pun aku pergi biasanya
juga dengan kawan-kawan dan dia. Jika hanya ke sekitar kost bisa kulakukan
sendiri.
“Ded…!!!”
“….”
“Banguuuunn.!!!”
“….”
“Kuliaah
ayooo.!!”
“….”
“Telat
ini lhoooo..!!”
“….”
“ARGH…!!”
Kemarahan
terbesarku padanya hanya jika kami harus kuliah di kampus dua yang jauh dan tak
bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi Dedi malah selalu bangun kesiangan.
Hanya masalah bangun pagi yang aku benci darinya. Setelah paham kebiasaan
buruknya itu, pagi-pagi sekali aku harus membangungkannya dulu via telpon, jika
memang dia tak bisa bangun, mau tidak mau aku harus mencari tumpangan lain.
Namun
marahku tak akan berlangsung lama, aku begitu cepat kembali seperti biasa padanya.
Banyak yang bingung tentang aku dan dia. Tapi aku tak mau ambil pusing, niatku
hanya saling membantu. Jadi, ya sudahlah. hahaa
Saking
dekatnya, bahkan ketika kami naik jabatan, Dedi terpilih menjadi ketua HMJ dan
dia memilihku sebagai wakilnya. Orang-orang bahkan bilang kalau kami ini cocok,
orang bilang hanya aku yang bisa mengerti dan mengatur Dedi. Tapi kami hanya
tertawa saja menanggapinya.
Dari
pengalaman sebelum-sebelumnya, aku sudah sangat siap jika harus ada yang pergi
lagi dariku. Kesiapanku membuat aku tak lagi mempedulikan apakah orang-orang di
dekatku ini menganggapku sahabat atau bukan, karena aku hanya menganggap mereka
sebagai teman, termasuk Dedi.
“Davinaaa.”
“Iyaa,
apaa?”
“Apa
kabar? Lagi sibuk apa?”
“Baiiik,
gak lagi sibuk apa-apa, biasa aja. Kenapa? Kamu kangen aku yaaa?”
“Hahaa,
lama gak nongkrong bareng nih.”
Iya,
kuliah selama kurang lebih empat tahun bersama belum pernah hubungan kami
diguncang hal-hal aneh. Kami sering menghabiskan waktu bersama, lebih sering
dengan banyak orang, tapi tidak jarang kami hanya duduk berdua di depan kost
ku, ngobrol ngalor ngidul sampai lupa
waktu dan ditegur tetangga karena sudah terlalu malam.
Setelah
kami lulus, kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal. Meski tidak setiap
hari pula kami berkomunikasi, tapi setidaknya setiap satu bulan sekali kami
saling berkabar. Ingin rasanya bertemu dan bercerita, dia salah satu tempatku
curhat. Pembawaannya sangat dewasa, selalu memberikan pendapat dan solusi yang
tak pernah bisa kuberikan pada orang lain saat curhat.
Aku
tak pernah menganggapnya sebagai sahabat, dan aku tak tahu bagaimana aku di
matanya. Yang jelas, aku sangat senang bahwa sampai saat ini kami masih saling
ingin tahu kondisi masing-masing, meski tidak setiap hari. Setidaknya tidak
seperti mereka-mereka yang pernah kuceritakan sebelumnya.
Terima
kasih Dedi, meski kadang dan seringnya kamu menyebalkan, tapi kamu begitu baik
kepadaku, dan kamu masih tetap mengingatku meski tak setiap hari dalam hidupmu.
Semoga kau senantiasa sehat, sukses, dan menemukan pendamping setia yang baik
hati sepertimu. See you on top ya
Ded, tetap jadi baik seperti ini ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar