Boyfriend + BFF |
Ketidakpercayaanku
pada adanya seorang teman begitu fluktuatif. Bersamaan dengan pertemananku dan
Pita, aku pun mendapat seorang teman yang lain. Tidak bersamaan sebenarnya,
tapi di saat aku dan Pita mulai tak lagi sedekat biasanya, saat itu aku mulai
dekat dengan yang lain. Tapi kali ini, bukan sekedar teman, tapi lebih dari
teman.
Sore
itu sepulang sekolah ada pesan singkat yang masuk. Sebuah pesan masuk dari nomor
tak dikenal. Sebagai seorang gadis lugu saat itu, aku membalas ala kadarnya.
“Hei,
tadi mampir ke mana dulu? Kok gak langsung masuk ke gang rumahmu?”
“He?
Maap ini siapa ya?”
“Anton.
Aku dapet nomormu dari Doni.”
“Anton?
Anton yang mana ya?”
Keesokan
harinya aku mencari yang mengaku bernama Anton di kelas Doni, kelas sebelah. Doni
adalah salah satu teman SD ku yang bersekolah di SMP yang sama denganku. Saat
Doni tahu aku berada di depan kelasnya, dia langsung berjalan menemuiku.
“Nyari
siapa?”
“Anton.
Anton temenmu?”
“Dia
anak VII B. Dicari di sini gak bakal ketemu.”
“Ooh.”
“Kenapa?”
“Kamu
bagi nomor aku ke dia?”
“Iya,
dia tanya ya aku kasih.”
Memang
dulu di usia saat itu kami tentu masih sangat lugu. Apa lagi aku bersekolah di
sekolah swasta saat SD, di mana kami tidak terlalu bergaul dengan anak-anak
sekolah negeri yang lain. Setelah sedikit percakapanku dengan Doni, aku
memutuskan untuk masuk kelas, dan masa bodo dengan siapa Anton itu.
Sebenarnya
aku masih bertanya-tanya. Bagaimana bisa si Anton itu meminta nomorku ke Doni,
padahal aku tidak merasa mengenalnya, bahkan aku tidak merasa pernah bertemu
dengannya. Jadi siapa si Anton ini?
Saat
pulang sekolah, seperti biasa, aku berjalan kaki menuju ke rumah. Ada beberapa
gerombol anak yang juga berjalan searah denganku. Beberapa adalah temanku satu
kelas, beberapa yang lain aku hanya tahu, selebihnya aku tak mengenal. Di
tengah perjalanan, di dekat jembatan, ada seorang Bapak-Bapak berkumis mengendarai
motor, dari pakaiannya dia adalah seorang tentara. Kemudian dari belakangku ada
seorang anak lelaki yang menghampiri Bapak-Bapak itu, dia lalu menaiki motor
itu, dan saat akan pergi dia melambaikan tangan ke gerombolan kami.
“Aku
duluan ya.”
“Yuuhuu.”
Dengan
wajah kebingungan aku menengok ke belakangku, siapa yang dia ajak bicara tadi.
Ternyata dia berbicara dengan Dodik, teman sekelasku. Dan aku baru sadar jika
sejak dari sekolah dia berjalan dengan gerombolanku, tepat di belakangku. Karena
aku sibuk ngobrol dengan kawan sebelahku, jadi aku tidak memperhatikannya.
“Itu
siapa Dik?”
“Anton,
anak VII B.”
“Temenmu?”
“Tetanggaku,
temen SD juga.”
“Ooh.”
“Kan
tiap hari jalan bareng juga, masa kamu baru tau.”
Setengah
terkejut, aku tetap melanjutkan berjalan. Jadi itu tadi yang namanya Anton, itu
tadi anak laki-laki yang mengirimiku pesan singkat. Dan ternyata selama ini dia
selalu berada di belakangku. Lucu sekali rasanya, kami selalu berada di satu
gerombolan, tapi tak saling mengenal.
“Udah
sampai rumah belum?”
What?!
Baru sampai rumah dan aku lihat Anton mengirimiku pesan singkat lagi. Hmmmm.
Sepertinya dia ingin mendekatiku, atau aku hanya GeEr? Entahlah, ku jawab saja
seperlunya.
Meski
kujawab seperlunya saja, tapi aku rasa dia semakin intens, atau aku terlihat
seperti memberikan harapan? Argh, aku belum siap beranjak remaja dengan urusan
cinta-cinta monyet, aku tidak mau. Euwh..!!
“Davina,
kamu mau gak jadi pacarku?”
Ya
ampuuun, apa dia yakin apa yang dia ketik dan barusan kirim padaku ini? Sudah
kuduga, pasti dia menuju kea rah ini. Tidak ah, baru juga masuk SMP, aku tidak
ingin berdrama terlalu dini. Tapi apa alasannya agar dia tidak menggangguku
lagi?
“Maaf
ya Anton, aku lagi suka sama kakak kelas.”
Ooh
tidak, kenapa aku berbohong saat itu. Aku tidak sedang menyukai
siapa-siapa, aku hanya tidak mau. Tapi
satu kebohongan membuatku harus terlihat agar tidak berbohong, yaitu aku harus
mencari kakak kelas dan aku harus terlihat menyukainya jika ada Anton. Argh.
Apa-apaan aku ini?
Sekarang
lupakan masa kelas VII itu. Aku melanjutkan hidupku sebagai seorang siswi SMP.
Tibalah aku di masa kelas VIII, di mana aku tetaplah aku yang tidak popular dan
hanya bergaul dengan teman sekelas, itu saja tidak sangat akrab. Sampai pada
suatu hari aku dan Melati, kawan sekelasku, kami berjalan bersama menuju
toilet, karena kami memang kebelet. Dari toilet menuju kelas, kami harus
melewati deretan kelas VIII B sampai kelas kami. Ya, kelas kami, VIII G
terletak di pojok sekolah.
Saat
melewati kelas VIII D, aku melihat Anton berada di dekat seorang siswa
perempuan berkerudung. Sontak aku bertanya pada Melati, siapa tahu dia
mengenalnya.
“Itu
siapa?”
“Yang
kerudungnya mirip punyamu?”
“Iya.
Siapa?”
“Imas.
Katanya sih pacarnya Anton.”
“Ooh,
jadi emang Anton suka sama cewek berkerudung? Syukurlah kalo udah dapet yang
baru.”
“Kamu
ngomong apa barusan?
“Eh,
nggak, ayo cepet jalannya.”
Melihat
hal itu aku tidak merasakan apa-apa, biasa saja. Sampai suatu hari Anton datang
lagi. Singkat cerita, dia mendekatiku lagi. Lebih singkatnya lagi, saat itu aku
pun suka dekat dengannya. Meski tidak ada pastinya tanggal berapa, tapi kami
menjalaniinya, kami semakin dekat.
“Ton,
aku sebel banget sama sepupu aku, aku tuh tadi beli semangka, cuma seiris, aku
taruh kulkas, malah dimakan sama dia. Hiiih. Sebel banget.”
“Sabar,
besok kita beli lagi.”
“Ton, aku tu gak suka sebenernya sama si Lita,
dia sok ngedeketin aku biar dia gak dicap cewek nakal. Apa-apaan.”
“Yang
penting kamunya gak ketularan nakal kan.”
“Ton….”
“Ton….”
“Ton…”
Anton,
bisa membuatku menjadi sosok yang lebih terbuka. Abaikan bahwa kami saling
suka, tapi yang jelas, kali pertamanya aku bisa curhat lepas hanya pada Anton.
Heran sebenarnya, tapi mungkin ini yang namanya kamu hanya akan menjadi dirimu
yang sebenarnya saat bersama orang yang membuatmu nyaman.
Setiap
hari di sekolah Pita selalu curhat padaku, dan melihat berbagai masalah di
kehidupannya, aku tak berani sedikitpun menambah-nambahinya dengan curhatan
masalahku. Tapi sekarang aku punya Anton yang bisa menjadi sahabatku. Dia yang
bisa membuatku melepaskan segala keluh kesah yang ada.
Meski
kadang tanggapannya sama sekali tidak cocok dengan harapanku, tapi aku lega
bisa bercerita. Dan dia lah yang tetap menjadi sahabatku saat orang lain datang
dan pergi dari pertemanan denganku. It’s
good to have you, Anton.
“Ini
jam berapa?! Harusnya kamu udah pulang. Ngapain malem-malem masih di luar?!”
“Aku
ini lagi rapat Anton, gak lagi neko-neko,
please deh. Ngertiin dikit bisa gak
sih.!”
Ya,
waktu berlalu, aku dan Anton terpisah jarak karena kami memutuskan melanjutkan studi
di Perguruan Tinggi di beda kota. Awalnya aku masih mencoba bertahan untuk LDR.
Ya, kami bisa. Apalagi setiap dua minggu sekali bisa dipastikan kami bertemu.
Tapi
pertemuan itu tidak merubah apa yang terjadi setiap hari. Tiada hari tanpa
pertengkaran. Mungkin kalian belum tahu, aku dan Anton menjalani hubugan yang
sangat aneh. Penuh pertengkaran, bahkan sejak kami masih sekolah dulu. Hampir
setiap hari bertengkar, dan hampir setiap hari pula aku menangis.
Emosinya
begitu meledak-ledak. Dan aku begitu rapuh. Dan kini, saat jauh dan tetap saja
seperti itu, aku merasa aku semakin gila. Iya, aku mulai merasa depresi. Memang
tak terlihat dari kehidupan sehari-hariku, saat bersama kawan-kawan aku akan
tertawa lepas, tapi saat berada di kamar tak jarang aku menangis meronta dan
tak segan menyakiti diri sendiri dengan mencubit atau mencakari diriku sendiri.
Entah sampai berapa lama aku akan begini dengan sahabatku satu ini.
“Kamu
pikir selama ini aku gak nahan sakit?!”
“Jadi,
selama ini kamu sakit karena aku?”
“Kamu
gak pernah sadar?!”
“Kalau
emang aku bikin kamu sakit hati, mending kita udahan aja. Aku gak ma uterus nyakiti
kamu."
Baiklah,
selama ini aku terus menahan agar tetap memiliki sahabat, tapi sepertinya
sahabat yang satu ini juga sudah saatnya pergi. Padahal, bukankah jika memang
sayang maka seharusnya engkau berusaha berubah, mengapa justru memilih pergi?
Bukankah kekuatan cinta seharusnya bisa merubah segala yang negative menjadi
positif? Atau memang sebenarnya tak cinta?
Entahlah
apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas malam itu, saat aku tahu aku kembali
kehilangan sahabat, aku hanya bisa menangis dengan keras, menutupi kepalaku
dengan bantal, hingga air mataku kering dan mataku bengkak.
Aku
kembali berpikir, lalu sahabat itu seperti apa? Apakah sahabat benar-benar ada?
Karena jika dia yang aku cinta itu aku anggap sahabat, lalu sekarang kami
berpisah, maka aku juga harus kehilangan sahabatku. Terlebih perpisahan ini
begitu sakit, setelah kurang-lebih tujuh tahun bersahabat, kami tiba-tiba
berubah menjadi tak saling kenal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar