Bullied |
Masa
kecil anak yang lahir di tahun 90’an masih erat dengan lapangan, kebun, sungai,
sawah, dan tentunya matahari. Begitu menyenangkan jika mengingat bagaimana
setiap siang aku, sepupu, dan teman sebayaku selalu mempersiapkan tas yang
berbentuk koper masa itu, dan mengisinya dengan berbagai perlengkapan. Kami
selalu membawa boneka favorit masing-masing, aku, membawa sebuah boneka Hello
Kitty putih dengan baju berwarna merah-hijau. Kusiapkan pula kotak bekal makan
dan kuisi dengan biskuit atau snack yang ada di rumah dan sebotol air putih.
Tak lupa kain yang kami pakai sebagai alas duduk. Dan salah satu benda yang
wajib kubawa adalah selendang tipis milik nenek.
Setiap
siang kami selalu sudah mempersiapkan jadwal, mau ke mana kita hari itu. Salah
satu destinasi favorit kami adalah sawah di desa kami. Rumah kami berada di
sebuah desa di salah satu Kabupaten di Jawa Timur, sudah bukan lagi desa yang suasananya
seperti desa, sudah sedikit modern tapi masih menjunjung nilai-nilai kedesaan.
Hahaa
Untuk
menuju ke sawah, kami menggeledek tas koper kecil kami dari rumah dengan
berjalan kaki. Berjalan panas-panasan sekitar lima belas menit sambil
bercerita-cerita dan menyanyi-nyanyi di jalan. Sesampainya di sawah, kami akan
mencari bagian lahan yang kering dan tidak ditanami, atau kadang kami singgal
di lapangan samping sawah itu.
Sesampainya
di sana kami buka tas masing-masing, aku menggelar kain alas, mengeluarkan
makanan, dan tidak lupa boneka. Lalu kami akan tidur-tiduran sambil menghabiskan
biskuit yang kami bawa dan bercerita, atau jika ada warga sekitar yang bermain
layangan maka kami akan menikmati layang-layang itu dan kadang mencoba
menerbangkan layangan meski hasilnya tak bisa terbang tinggi.
Jika
mulai bosan maka kami akan mengemasi barang-barang dan berjalan menuju sungai
untuk menyegarkan kaki, iya, hanya keceh
karena aku tak bisa berenang dan kami tahu diri bahwa berbahaya jika masuk ke
sungai. Jika bosan juga maka kami akan melanjutkan perjalanan, biasanya kami
akan mencari pohon talok, kami mengambil
buahnya, bahkan kami begitu lihai memanjat pohon-pohon talok tersebut. Aku rasa
kami memanjat pohon sampai bisa melihat atap rumah-rumah, dan melihat matahari
yang mulai menuju ufuk barat, cahaya-cahaya jingga yang mulai menyemburat
mewarnai langit. Saat itulah kami memutuskan untuk pulang.
“Heuh”
Sesampainya
di rumah aku merebahkan badan, lelah, tapi tak terasa, begitu menyenangkan.
Ingin rasanya aku menikmati masa kecil itu lagi. Aku langsung bersiap mandi
dengan air yang sangat dingin.
“Love
love Minky momo, cobalah kau dengarkan, love love Minky Momo, yang ada di
hatiku.”
Hahaaa,
mandi sambil bernyanyi, berteriak-teriak meski tahu suaraku berisik. Menyabun
badan sambil menari-nari, menggoyangkan seluruh badan, memegang wadah pasta
gigi seolah memegang mic, dan belagak sedang mengadakan konser di dalam kamar
mandi.
“Davinaaaaaaa…!
Mandi jangan lama-lama..! Masuk angin nanti..!”
“Iyaaaa..”
Baru
setelah diteriaki aku akan menyudahi konserku. Kuselesaikan mandiku dan berganti
baju dengan baju tidur bunga-bunga berhiaskan kelinci favoritku. Setelah mandi
aku bersiap memporakporandakan ruang TV dengan buku-bukuku. Mengerjakan PR
sambil menonton kartun favoritku, iya aku tahu itu hanya akan memperlambat
selesainya PR ku, tapi biar saja yang penting kan selesai.
Kuhabiskan
malam dengan TV, bercanda ria dengan ibu, sepupu, dan nenekku. Setelah sekitar
pukul 21.00 aku akan langsung mengantuk dan tidur. Iya, keluarga kami sangat
tepat waktu untuk urusan tidur. Setiap sudah pukul Sembilan malam kami akan
segera mengunci pintu-pintu rumah, mematikan lampu ruang tamu, dan masuk ke
kamar masing-masing untuk tidur. Tapi seringnya aku akan tiduran di depan TV sampai
TV yang menontonku tidur.
Pagi
tiba, dan mulailah fase yang tidak aku suka dari hidupku saat itu, sekolah. Aku
selalu sudah terbangun saat adzan subuh berkumandang, maklum, rumah nenek mepet
dengan masjid, jadi suara masjid sangat terdengar. Meski sudah bangun, kadang
aku memutuskan untuk memejamkan lagi.
“Davinaaa,
udah jam 06.00, ayo mandi.”
Hampir
setiap hari ibuku membohongiku. Jam 05.00 dibilangnya jam 06.00 agar aku
bangun. Tak pernah aku berusaha mengecek jam dulu, meskipun aku tahu ibu pasti
berbohong, tapi aku akan langsung bangun Terlebih mencium bau masakan ibu yang
setiap setelah sholat subuh langsung menyiapkan sarapan.
Setelah
mandi, ibu akan menyuapiku sembari aku mempersiapkn diri untuk sekolah. Iya,
meski sudah SD aku tetap disuapi ibu, bukan karena manja atau apa, agar lebih
efisien saja. Tak lupa setelah sarapan aku meminum segelas susu, lalu minum
satu sloki suplemen penambah darah, wajib. Kata ibu biar sehat, terlebih karena
aku pernah mengalami Demam Berdarah, jadi harus dijaga badannya. Sekitar jam
enam lebih lima belas menit aku pamit, mencium tangan ibu dan nenek, lalu aku
berangkat.
“Jamnya
udah?”
“Udah
nek.”
“Topi,
dasi, ikat pinggang, bukunya jangan ada yang ketinggalan.”
“Iya
nek, udah semua.”
“Kalau
ketinggalan telpon ya.”
“Iya.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Dan
aku berangkat sekolah berjalan kaki, untuk sampai di sekolah aku butuh waktu
sekitar setengah jam berjalan kaki. Saat berangkat biasanya aku menghampiri
temanku, Tya dan Ina karena arah kami sejalan. Jika mereka belum berangkat maka
kami akan berangkat bersama, jika mereka sudah berangkat aku akan berangkat
sendiri. Tapi seringnya aku lebih suka berjalan sendiri.
Aku
sudah terlatih menyeberang jalan sejak kecil karena selalu berjalan kaki ke
sekolah. Berjalan melewati pasar, jembatan, alun-alun, masjid agung kotaku,
gedung DPRD, dan sampailah aku di sekolahku tercinta. Aku cinta sekolahku
karena aku belajar banyak hal di sini. Tapi aku benci sekolah. Bertolak
belakang? Iya, memang.
Aku
merasa sangat bahagia di rumah, bermain ke sawah, lapangan, bersepeda, namun
itu semua sangat berbeda setelah aku di sekolah. Aku tidak pernah merasa
tertekan dengan pelajaran, meskipun aku saat itu sekolah di sebuah sekolah
swasta Islam. Iya, ada beberapa mata pelajaran tambahan di mana kami wajib
menghafalkan hadist-hadist, Juz ‘Amma, berlatih ceramah, dan banyak lagi di
samping mata pelajaran umum. Ditambah lagi sekolahku mengadaptasi sistem full day school dengan berbagai
ekstrakulikuler seperti paduan suara, pramuka, pencak silat, keputrian, dan
lain-lain, sehingga mulai kelas IV aku akan lebih sering pulang sore. Aku suka
belajar, aku bahkan merasa sangat mudah untuk mempelajari itu semua. Tidak
pernah aku merasa tertekan dengan sistem pendidikan di sekolahku, aku suka,
apalagi guru-gurunya menyenangkan. Tapi aku tertekan dengan hal lain,
teman-temanku.
Entah
ini hanya sekolahku atau semua sekolah seperti ini, banyak hal yang aku alami.
Aku tidak akan banyak menceritakn kronologinya, mungkin hanya akan aku daftar
apa saja yang pernah terjadi. Yang jelas aku merasa aku adalah korban bully. Ini beberapa hal yang terjadi di
sekolahku:
1. Akan
ada satu kelompok anak dengan satu pimpinan “Boss”.
2. Geng
anak-anak nakal ini suka sekali menjaili anak-anak yang lain.
3. Aku
bukan termasuk yang suka dijaili, tapi aku termasuk yang suka dijauhi karena
aku tidak pernah mau membantu mereka saat ulangan. Aku selalu belajar sebelum
ulangan, dan aku takut mencontek sehingga aku selalu berusaha untuk jujur mengerjakan
sendiri, karena ini hasil pekerjaanku sendiri maka aku tidak mau berbagi,
alhasil setelah ulangan aku selalu dijauhi alias “gak dibolo”. Hal itu membuatku menjadi penakut dan lebih suka
sendiri. Sampai saat ini bahkan aku masih suka merasa lebih baik sendiri dari
pada harus bersosialisasi dengan orang lain di luar sana, aku merasa aku
introvert.
4. Aku
tahu mereka hobi “ngrasani” alias
membicarakan kejelekan anak-anak lain di belakang mereka. Kadang aku hanya
sebagai pendengar, dan seringnya akulah yang mereka bicarakan, dan aku tahu
mereka sedang menjelek-jelekkanku di belakang, tapi aku tetap diam. Aku diam
karena aku takut berusrusan dengan mereka.
5. Mereka
jahat hingga bermain fisik, salah satu temanku pernah didorongnya saat
berlari-larian sampai jatuh dan menangis.
6. Mereka
kadang meminta uang anak lain untuk jajan.
7. Mereka
suka mengejek berlebihan jika ada yang salah menjawab di kelas, jadi aku lebih
memilih diam jika guru bertanya “Ada yang bisa?”. Aku takut dijadikan bahan
ejekan. Dan kebiasaan itu membuatku takut untuk beropini di depan orang banyak,
dan masih membekas sampai sekarang.
8. Mereka
bahkan pernah memasukkan air kencing ke gelas berisi es sirup dan memberikannya
ke teman yang lain untuk diminum. Aku tidak habis pikir betapa jahatnya mereka.
Aku takut jika melaporkan mereka maka aku akan dijahati, tapi aku juga merasa
kasian dengan temanku yang dijahati itu.
9. Mereka
sangat sering mengejek anak-anak lain dengan sebutan jahat seperti “Gajah”, “Tompel”,
“Cebol”, dan lain-lain. Aku rasa itu jahat, aku tidak tahu yang mereka ejek
sakit hati atau tidak, yang jelas bagiku itu jahat.
10. Saat
kerja kelompok terlebih jika satu kelompok dengan anak-anak nakal itu, mereka
tidak mau ikut mengerjakan, alhasil aku akan mengerjakan semua sendiri,
memastikan pekerjaanku selesai dan sesuai harapan. Karena itulah sejak kecil
aku sulit percaya dengan orang lain, jika harus kerja kelompok, aku harus
memastikan semua beres, jika tidak, aku lebih memilih mengerjakannya sendiri. Dan
kebiasaan itu masih terbawa sampai sekarang.
11. Entah
siapa, tapi salah satu dari mereka pernah melaporkanku ke guru bahwa aku makan
saat sholat, lalu salah satu guru mendatangiku, mencubitku, dan
memarah-marahiku memintaku mengaku dan meminta maaf. Sejak saat itu, dalam hati
aku membenci guru itu. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah mulutku gatal
saat sholat dan aku menggaruknya, mungkin terlihat seperti aku sedang
memasukkan sesuatu ke mulut, tapi mana mungkin aku makan saat sholat. Yang
jelas pasti yang melapor adalah salah satu dari anak-anak jahat itu.
Masih
banyak hal yang terjadi. Meski mereka jahat, aku heran mengapa aku tetap
berteman dengan mereka dan menganggap seolah tak ada apa-apa saat itu. Aku
bahkan tidak pernah menceritakannya pada ibuku, padahal setiap pulang sekolah
aku selalu menyempatkan waktu setengah jam sampai satu jam untuk menceritakan
hari-hariku di sekolah, tapi aku selalu melewatkan cerita tentang hal-hal itu. Sampai
lulus aku masih berteman dengan mereka, tapi dalam hati aku tetap memberi label
jahat pada mereka. Kami berteman, tapi kami tidak pernah akrab.
Sampai
saat ini, meskipun mereka masih ada dan menjalani kehidupannya, begitu juga
denganku, aku tak pernah menganggap mereka temanku. Banyak hal bahagia saat aku
kecil khususnya di masa SD, namun semua seolah tertutupi dengan sakit hatiku
pada mereka. Aku bahkan sudah lupa apa saja yang mereka lakukan tapi sakit hati
itu masih terasa.
Aku
terkesan jahat jika aku menyimpan dendam pada mereka yang dulu bersikap nakal karena
orang bilang wajar jika anak kecil itu nakal. Tapi aku justru semakin dendam
dan benci karena perlakuan merekalah yang secara tidak langsung membuatku berkepribadian
seperti ini. Andai saja aku tidak berkepribadian seperti ini, aku rasa aku bisa
lebih baik dan lebih besar dari apa yang telah aku capai saat ini. Entah
bagaimana dengan yang lain, mungkin mereka telah melupakan semuanya, tapi aku
begitu sulit untuk memaafkannya.
Memang
percuma menyalahkan masa lalu. Kita hanya bisa berusaha lebih untuk masa depan.
Tapi semakin ke sini aku semakin merasa benci dengan masa-masa kecilku yang
menahanku untuk melesat lebih jauh lagi. Iya, masa kecilku membuatku menjadi
anak yang biasa-biasa saja. Karena aku tumbuh menjadi seseorang yang
penyendiri, penakut, tak berani beropini, tak suka bersosialisas dan
berinteraksi, takut mencoba, pendiam, pemalu, dan sangat biasa-biasa saja.
Aku benar-benar
menyesal tumbuh menjadi anak yang biasa-biasa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar