BFF? |
“Kalau
kasih pengumuman di depan kelas aja, jangan di belakang, biar semua bisa denger.” Usulku.
“Halah,
udah di sini aja.! Kalau mau tahu ya sini.!”
Dengan
kesal aku berkata dalam hati, aku benci anak itu, aku tidak suka perangainya.
Namanya Pita, iya, meski namanya cantik dan sangat feminim, tapi perilakunya
180° berbeda. Gadis tomboy berambut
pendek itu berparas cantik memang, tapi dia kasar, bahkan dia melebihi para
pria.
Kami
duduk di kelas yang sama saat kelas VII, yaitu VII E. Sebagai siswa baru kami
satu kelas beum begitu mengenal satu sama lain. Aku tidak tahu betul bagaimana
kepribadiannya, yang jelas, sejak saat itu aku tahu aku tidak menyukainya,
tidak akan pernah menyukainya.
Selama
satu tahun berada di kelas yang sama aku tidak pernah berusaha dekat dengannya.
Kadang memang kami harus satu kelompok, kadang kami sering berjalan bersama
saat pulang sekolah karena rumah kami searah, kadang pula aku memaksa diriku
untuk ikut bergaul dengan yang lain di mana ada dia, ya, dia popular. Jadi, mau
tidak mau kami berinteraksi, tapi aku tak pernah dekat dengannya.
Singkat
cerita, setelah kenaikan kelas, seluruh kelas diacak sehingga aku tak tahu aku
satu kelas dengan siapa. Hari pertama masuk kelas VIII G aku duduk di bangku
tengah-tengah kelas, sendirian. Aku melihat beberapa anak dari kelas lamaku, aku
tahu sebagian besar yang lain tapi aku belum mengenal mereka.
Aku
tak pernah berusaha mengenal siapapun, aku hanya duduk sampai seseorang yang tak
asing memasuki kelasku. Pita, dia masuk ke kelas dengan senyum lebar dan
melihat seluruh kelas. Matanya memandang dari kanan ke kiri, seolah mencari
sesuatu. Dan akhirnya pandangan matanya jatuh kepadaku. Tidak, jangan-jangan dia
mau duduk denganku, kursi sebelahku kosong, duh.
“Davinaaaaa,
ya ampun, kita sekelas lagi. Aku duduk di sini ya..”
Belum
sampai aku menjawab iya, dia langsung menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku
hanya bisa tersenyum, mencoba menjadi seseorang yang baik. Aku tak tahu
bagaimana hari-hariku setahun ke depan jika aku harus duduk dengannya.
Gadis
ini ternyata super cerewet, dia begitu santainya bercerita ngalor ngidul tentang banyak hal. Dia bercerita tanpa tahu bahwa
aku tak begitu memperdulikannya dalam hati. Tapi aku selalu berusaha menjadi
orang baik, setiap keluh kesahnya kudengarkan, ketika sampai pada dia meminta
pendapatku, aku tak akan pernah memberikan banyak pendapat, apalagi solusi.
Selain malas berpikir, sebenarnya aku tak terlalu memperhatikan ceritanya.
“Sebenarnya
enak curhat sama kamu, kamu selalu jadi pendengar yang baik.”
(Kubalas
dengan senyuman)
“Tapi
gak cocok kalau minta solusi sama kamu, gak pernah jawab.”
“Hehee”
“Tapi
aku suka, yang penting lega bisa curhat.”
Setelah
hari-hari berlalu, aku mulai paham tentang anak ini. Ayah ibunya bercerai sejak
saat dia masih kecil, ibunya pergi ke luar kota untuk bekerja, dan dia tinggal
bersama kakek nekek dan tantenya. Kakeknya adalah seorang tentara, aku rasa itu
cukup bisa menjelaskan bentuknya saat ini. Dia sangat ceria, terlalu ceria
menurutku, mungkin karena latar belakangnya itu.
Kami
kemudian semakin dekat, kami pindah tempat duduk di pojok atas paling belakang.
Iya, kelas kami berbentuk teater, setiap baris semakin naik ke atas. Kami mulai
menceritakan latar belakang masing-masing. Entah karena bersamaku atau karena
apa, semakin hari Pita semakin feminim, ia mulai memanjangkan rambutnya sebahu,
dulu rambutnya seperti pria. Dia mulai menguncir rambutnya dan kadang memakai
bando.
Bukan
sombong, tapi aku merasa lebih pandai darinya. Pita mulai sering memintaku
mengajarinya untuk berbagai mata pelajaran. Aku yang sebenarnya pelit dalam hal
pelajaran, mau begitu saja berbagi dengannya. Dan aku pikir tak masalah, karena
kami dekat.
Setiap
istirahat kami selalu ke koperasi sekolah bersama untuk jajan. Setiap pulang
sekolah kami berjalan bersama. Setiap ada masalah dia selalu curhat padaku.
Bahkan saat di kelas harus berkelompok, dia juga satu kelompok denganku. Sering
juga dia bermain ke rumah nenekku, tempat aku tinggal, saat sudah malam, aku
akan mengantarnya ke gang untuk pulang.
Kami
begitu dekat memang, aku mulai berpikir, apa aku bisa dekat dengan seseorang?
Apa ini yang dinamakan sahabat? Tapi kenapa Pita? Kenapa saat aku bersumpah
dalam hati aku tak akan menyukainya dulu, kini justru kami begitu dekat?
“Heeeekkkkk.”
“Hahahhahahaaa…”
Pita
memang selalu tertawa saat suara sendawaku yang sangat keras ini keluar. Dia
sering tertawa karena hal-hal yang aku lakukan atau katakan. Padahal aku merasa
aku ini pendiam, biasa saja, dan tidak lucu.
“Kamu
ini ya Davina, jarang ngomog tapi sekalinya ngomong bikin orang ketawa.”
“He?
Masa?”
“Nyenengin temenan sama kamu, ketawa
terus, kamu sama kayak Mamamu, mbanyol terus bikin ketawa.”
Aku
tak pernah berusaha melucu, bahkan untuk berbicara pun aku selalu berhati-hati
agar tak menyakiti hati orang lain, itulah sebabnya aku cenderung pendiam. Aku
hanya takut akan ada yang tersakiti, karena pikiranku sangat liar, dan bisa
sangat menyakitkan jika aku membiarkannya keluar. Tapi syukurlah jika yang
keluar dari mulutku justru bisa membuat orang lain bahagia.
Pita
termasuk murid populer di sekolahku. Dia mengikuti ekstrakulikuler pramuka, dia
bergaul dengan semua orang. Semua siswa mengenalnya. Sedangkan aku, ya, aku tak
pernah berusaha untuk popular, aku ya aku. Mungkin yang mengenalku hanya teman
sekelasku atau mereka yang pernah sekelas denganku, tapi aku tak pernah dekat
dengan siapapun, hanya Pita. Kami begitu berbeda, tapi itu tak masalah.
Tak
terasa kami naik ke kelas IX, penasaran bagaimana peraturan terbaru untuk
kenaikan kelas. Ada yang bilang akan diacak lagi, ada yang bilang akan kembali
ke kelas VII dulu. Pengumuman pun keluar, untuk kelas IX kembali seperti kelas
VII tetapi lima absen teratas maju ke kelas sebelumnya. Itu artinya aku masuk
ke kelas IX E, dan kembali satu kelas dengan Pita.
Sudah
bisa kuprediksi, kami tetap akan duduk satu bangku. Masih dekat, dan masih sama
seperti biasanya. Tidak ada yang berubah kecuali Pita semakin feminim dan
beberapa ganti gebetan. Tentu saja, gadis popular pasti banyak yang mendekati.
Tak pernah ada masalah berarti di antara kami.
Aku
mulai bertanya-tanya, bukankah jika sahabat akan ada pertengkaran-pertengkaran
yang berujung semakin solidnya mereka. Tapi kami tidak pernah melalui itu. Dia
tak pernah mengeluh atas perilaku dan kepribadianku, begitupun aku. Apapun yang
ingin dia lakukan tak pernah terlalu menjadi perhatianku. Aku tak pernah mau
tau selain denganku dia pergi ke mana, dengan siapa, melakukan apa. Jika tak
ada kabar kami tak akan saling bertanya. Jika bertemu di sekolah, kami akan
berlaku seperti biasa.
Sejak
perilaku teman-teman semasa SD yang membuatku tak percaya ada sahabat atau
teman baik, kini aku mulai kembali ke pikiran masa itu lagi. Aku mulai
berpikir, jangan-jangan Pita dekat denganku hanya karena ingin mengambil
manfaat dariku? Ah picik sekali pikiranku, mungkin aku terlalu banyak nonton
film. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa Pita memang tulus dan baik
berteman denganku.
Satu
tahun kami lewati bersama, saatnya untuk mendaftar masuk SMA. Kami memutuskan
untuk mendaftar di SMA yang sama, SMA terbaik di kota. Kami yakin kami bisa
masuk dan tetap bersahabat.
“Yeeeee,
kita diterima.”
“Kita
sekolah di sekolah yang samaaa.”
Ya,
kami diterima di sekolah yang sama. Tapi kami masuk di kelas yang berbeda. Sejak
saat itu intensitas komunikasi kami mulai berkurang. Aku tahu dia pasti telah
menemukan teman sebangkunya yang baru.
Kami
masih mengikuti ekstrakulikuler pramuka dan masuk kepengurusan OSIS. Tapi Pita
dengan popularitas dan keaktifannya tetap lebih bersinar dariku. Aku tentu
tetap tak bisa menggapai sisinya. Dan aku terima itu.
Pita
telah menemukan teman akrabnya yang baru. Sampai SMA usai kami tak pernah
berada di kelas yang sama. Setelah lulus pun kami melanjutkan studi di kota
yang berbeda. Tak pernah lagi kami berkomunikasi.
Saat
SMA aku dekat dengan mereka yang satu bangku denganku, namun tetap sama,
setelah tak satu kelas, setelah berkuliah di kota yang berbeda, maka semua juga
berbeda. Mereka muncul di sosial media dengan orang-orang yang mereka sebut
sahabat. Terlihat begitu bahagia, di mana kami tak pernah sekalipun saling
bertanya kabar.
Jadi,
sebenarnya apa yang dinamakan sahabat? Apakah sahabat itu artinya adalah dia
yang dekat saja, jika sudah jauh, selesai sudah kontraknya sebagai sahabat. Jika
sudah bertemu yang baru, yang lebih asik, dan lebih kita banget, maka yang lama
tak akan berbekas di hati.
Aku
mulai merasa sinis, tapi semua aku kembalikan pada diriku sendiri. Apa mungkin
karena aku sangat tertutup, pendiam, dan tak seceria orang-orang, sehingga aku
tak pernah dekat dengan siapapun, sehingga aku tak pernah punya yang namanya
sahabat. Jadi, apakah ini adalah salah kepribadianku sehingga aku merasa tak
pernah punya sahabat? Atau memang aku ditakdirkan untuk tak memiliki sahabat?
Semua
sekedar bertemu, dan akan berpisah. Yang datang akan pergi. Aku harus siap jika
hal itu akan terjadi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar