Semua orang pasti
berkata,
“Wajar dong kalau
pasangan cemburu, namanya juga sayang.”
“Cemburu itu tandanya
cinta.”
“Kalau gak pernah cemburu
berarti tak ada rasa, tak ada cinta, justru bahaya.”
Yes
guys,
kalian semua benar. Tapi apa iya cemburu harus kepada setiap orang yang ada di
sekitar pasanganmu? Okay, jadi akan kuceritakan sekilas tentang mereka yang
pernah menjadi objek rasa cemburu Raka dahulu.
“Putra”
Kami saling mengenal
sejak di bangku Sekolah Dasar. Tidak, kami tidak duduk di bangku sekolah yang
sama. Tapi kami hanya bertemu di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar yang sama
sejak kelas 4 SD kalau aku tak salah mengingatnya. Meski tidak setiap hari
bertemu tapi kami cukup akrab, sampai akhirnya kami masuk ke Sekolah Menengah
Pertama yang sama dan duduk di kelas yang sama, kebetulan bukan. Iya, kami
dekat, akrab, banyak memiliki kesukaan yang sama yang selalu bisa kami
bicarakan, tapi tidak pernah terbesit untuk ada rasa dengannya. Kalian tahu kan
di mana teman ya memang teman, tidak lebih meski sangat dekat.
Benar saja, Raka merasa
cemburu menurutku, iya menurutku, karena pria tak akan pernah berani melepaskan
rasa gengsi untuk mengungkapkan bahwa mereka cemburu, tapi mereka akan
menunjukkan dengan sikap-sikapnya yang menyebalkan. Seringkali dia
mengolok-olok Putra dihadapanku dengan sebutan yang tidak baik, sangat tidak
baik. Putra adalah sosok pria sedikit berisi, berkulit putih, dan disoroti
karena kepintarannya sehingga dia tidak banyak bergaul dengan para murid pria
lain yang saat istirahat makan di kantin luar sekolah dan tidak lupa dengan
asap rokok mereka yang rasanya belum pantas untuk ukuran anak SMP di jamanku
mengobrolkan tentang para gadis, motor, games, dan lainnya. Putra tidak
menyukai hal-hal semacam itu sehingga saat istirahat ia akan lebih memilih
membeli makanan di kantin sekolah dan bercengkerama denganku dan kawan-kawan.
Tapi perilaku seperti itu bukankan tidak layak jika dicap dengan kata “Banci”?
Saat Raka berkata seperti itu dihadapanku tentang Putra, aku benar-benar marah,
tapi hanya kupendam, karena jika aku marah maka dia hanya akan mengira aku ada
apa-apa dengan Putra. Tapi perkataan itu sungguh sangat tidak pantas ia ucapkan
kan? Maafkan Raka ya Putra, meski kamu tidak tahu dia pernah berucap seperti
itu, tapi aku tetap ingin memohon maaf untuknya, karena dia hanya
mengucapkannya karena dia tidak suka kedekatan kita.
“Pandu”
Pandu bukanlah murid
sekolahku, bukan juga tetanggaku, tapi kami dipertemukan di sebuah project sekolah. Dia adalah seorang pendamping
muda jurusan multimedia di salah satu sekolah di tempatku, dan saat itu
sekolahku sedang membuat project
profil sekolah, aku termasuk siswa yang ditunjuk untuk mengerjakan project
tersebut bekerjasama dengan Pandu sebagai camera
man, sekaligus editor. Kami pun
bekerja sesuai kebutuhan, tapi Raka menilai aku bekerja secara tidak wajar.
Memang, hampir setiap hari aku harus bolos satu atau dua mata pelajaran, saat
jam pulang sekolah terkadang aku harus masih mengerjakannya, bahkan saat malam
hari atau bahkan saat hari libur. Tidak hanya di sekolahku, project itu mengharuskan aku dan
kawan-kawan menjadikan sekolah Pandu sebagai rumah kedua agar profil sekolah
kami selesai.
Tentu saja kami menjadi
sangat dekat, tapi tunggu dulu, kami semua menajdi dekat, bukan hanya aku
dengan Pandu. Tapi dari luar Raka sama sekali tidak tahu apa yang harus kami
kerjakan. Tidak tahu dan tidak mau tahu, berulang kali kucoba menjelaskan tapi
matanya seolah sudah tertutup rasa cemburu. Yang ada dia terus mengejek dan
kami harus bertengkar. Padahal, yang benar saja, mengapa harus ada pertengkaran
atas sesuatu yang tidak ada wujudnya? Memang iya aku sering bersama Pandu, tapi
kami bersama yang lain pula. Memang iya kami dekat, tapi kami juga dekat dengan
yang lainnya. Memang iya kami sering berkomunikasi, SMS-an, dan lain-lain, tapi
kami tidak ada rasa, khususnya aku, aku tidak ada rasa. Mengapa harus
dipermasalahkan?
“Adit - Deni”
Yak, waktu bergulir dan
kami sudah berada di bangku kuliah. Sudah kuceritakan kan bahwa kami berada di
kampus dan kota yang berbeda, Long
Distance Relationship harus dimulai. Baru awal kuliah saat itu, belum,
belum mulai kuliah, aku harus melalui MOS terlebih dahulu. Berada di tempat
baru dan tidak mengenal siapapun menjadi tantangan tersendiri. Mau tidak mau
aku harus mencari teman, karena tidak mungkin aku bisa melalui semuanya
sendirian, benar kan?
Tidak perlu bingung
mencari teman, kami sudah dibagi menjadi kelompok-kelompok MaBa (Mahasiswa
Baru) dan aku berada di satu kelompok dengan Adit dan Deni. Iya, dalam satu
kelompok ada beberapa orang, sekitar sepuluh orang atau lebih, tapi mereka
berdua lah yang pertama aku kenal. Kami pun melalui Sistem Operasional Prosedur
sebagai teman baru, hahaaa. Iya, layaknya kawan baru kami bertukar cerita
tentang latar belakang kami bertiga, dan kami saling bertukar kontak. Simple
saja, karena kami berada di kelompok yang sama maka kami dihadapkan dengan
project yang sama, dan harus meluangkan waktu bersama. Selain soal kampus, kami
pun menjadi dekat dan sering menghabiskan waktu bersama, terlebih Adit adalah
orang Jogja asli sehingga dia menunjukkan tempat-tempat baru, tempat makan
terutama. Ke manapun kami selalu bertiga. Dan kalian pasti bisa langsung
menebak, Raka tidak menyukainya, sangat tidak menyukainya.
Jika ditanya aku sedang
apa, di mana, dan tentu bersama siapa, aku akan selalu menjawab jujur. Berulang
kali dia bertanya dan berulang kali aku sedang bersama Adit dan Deni, atau
sedang bersama salah satu dari mereka. Aku sudah menebak bahwa dia cemburu,
tapi aku dan mereka berdua benar-benar tidak ada apa-apa. Adit dan aku berbeda
keyakinan, sedangkan Deni, hmmmm, pokoknya tidak mungkin ada apa-apa diantara
kami. Buktinya sampai sekarang pun, sampai aku dan Raka berpisah pun tetap
tidak ada sesuatu diantara kami bertiga. Heran aku dengan pria, eh, dengan pria
seperti Raka maksudku, sudah tahu sedang LDR, tapi justru suka sekali mencari
permasalahan. Mengapa tidak percaya saja denganku?
“Mamat”
Mamat adalah orang
terkahir yang pernah dicemburui oleh Raka sebelum kami menyudahi hubungan. Iya,
aku dan Mamat sangat dekat karena kami sering terlibat event bersama di
organisasi kampus. Terlebih lagi kami satu kelas. Tapi aku tidak hanya dengan
Mamat, kami saat itu lebih sering bertiga, aku - Mamat - Deni. Yupp, aku dan
Deni masih terus dekat meski personil berganti dari Adit menjadi Mamat, karena
Adit tidak begitu menyukai kegiatan kampus yang berbau organisasi. Kami sering
sekali bertiga, tapi sebenarnya tidak hanya bertiga lho, kami selalu
ramai-ramai. Tapi di manapun ada aku pasti ada mereka, begitu pula sebaliknya.
Yak, bukannya bertambah
dewasa dan pengertian tapi Raka tetap saja emosian, tidak lagi dengan Deni, sia
cemburu dengan Mamat personil baru kami. Dan benar saja, aku sudah mulai lelah
dengan segala drama rasa cemburunya yang tidak pernah berhenti, sampai akhirnya
aku salah langkah. Nanti akan kuceritakan tentang Mamat, salah satu kesalahanku
yang tidak terungkap oleh Raka sampai saat ini.
“Pangeran”
Mungkin akan ada yang
heran.
“Lhoh,
Pangeran kan kekasih barumu Syifa, kalian kan bertemu sesudah kamu dan Raka
berpisah, mengapa Raka cemburu pada Pangeran?” Tentu saja, mantan
mana yang tidak akan cemburu jika yang ditinggalkan telah menemukan tambatan
hati yang baru, benar kan? Iya, logikanya memang seperti itu. Sehingga bukan
lagi hal yang aneh jika Raka pun cemburu terhadap Pangeran. Dan rasa cemburunya
yang terlalu besar dan berapi-api justru benar-benar memperlebar jurang
perpisahan kita. Jarak antara aku dan Raka kini benar-benar sangat jauh,
terlalu jauh bagi kami untuk dapat kembali lagi. Hahaa. Ini bukan salahku Raka,
mungkin kita tidak berjodoh, memang kita tidak tahu apakah kita berjodoh atau
tidak, tapi aku tidak bisa membayangkan dan tidak mau membayangkan jika kita
kembali bersama. Aku rasa aku tidak bisa melaluinya.
#ToBeContinued
* Gambar di atas bukan milik penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar