Aduuh, bagian ini
merupakan bagian tersulit dan yang paling tidak aku sukai. Bagaimana tidak,
semua ingatan dan kenangan tentang betapa bahagianya kami dulu seperti sudah
luntur. Bukannya alay, berlebihan, atau mengada-ada. Nanti akan kuceritakan di
akhir bab ini bagaimana itu bisa terjadi padaku. Yang jelas saat ini akan
kuceritakan apa yang sekiranya masih aku ingat. Oiya, untuk Pangeran (Cintaku
sekarang), maafkan aku ya, bukannya aku masih ingin mengingat-ingat tentang
masa lalu yang paling tidak kau sukai dariku ini, hanya saja aku ingin
menceritakan pada orang lain agar hal bodoh yang tidak menyenangkan yang pernah
terjadi padaku tidak menimpa yang lainnya. Heheee, I love you Pangeran.
Okay, mungkin bagian
ini tidak akan panjang, tapi akan aku coba untuk memulainya, karena percayalah
bahwa sepahit apapun sesuatu hal pasti ada hal manis di dalamnya, meski
sekarang manis itu sudah tertutup oleh pahit yang begitu besar. Hahaa
Dimulai dari betapa
Raka bisa membuatku tertawa di masa-masa awal kita bertemu. Sebert yang sudah
ku bilang, aku tidak begitu ingat bagaimana cara dia melucu atau membual dan
berhasil membuatku tertawa. Yang jelas saat itu aku suka. Aku mau membuka diri
juga karena dia bisa berhasil membuatku tertawa meski tadinya kita tidak
benar-benar saling mengenal.
Selain itu, dengannya
selalu saja mulut kami tidak bisa berhenti berbicara. Kalian pasti tahu kan
bagaimana rasanya jika kalian sedang bersama seseorang dan salah satu dari
kalian berhenti merespon, dan pembicaraan terhenti, kemudian kalian seolah
sibuk sendiri, dan masing-masing berusaha mencari tema atau topic baru untuk
diobrolkan. Awkward, iya, sangat aneh ketika harus melalui tahap itu. Tapi hal
itu tidak pernah aku lalaui dengan Raka. Kami selalu menemukan sesuatu hal
untuk dibicarakan, apapun itu, tidak akan berhenti sampai kami benar-benar
ingin menghentikan pembicaraan.
Aku sebenarnya bukan
tipe orang yang banyak bicara, aku lebih suka mendengarkan, dan aku akan
mendengarkan apa pun yang dia katakana. Mulai dari gossip kawan-kawan di
sekolah (jangan salah, ternyata pria juga suka menggosip), games, sampai ke
pemain sepak bola dia ceritakan padaku.
“Hun, Christiano
Ronaldo mendapat sepatu emas tahun ini. Luar biasa kan ya Hun?”
“Waaah, iya kah? Hebat
sekali. Ngomong-ngomong, apa itu sepatu emas? Pasti mahal ya?”
Hahaa. Meski aku tak tahu dan tak mau
tahu siapa itu Christiano Ronaldo, Bale, Ramos, atau meskipun aku tak tahu apa
itu pangkat Tengkorak, Diamond, Bintang, Head Shot, dan apa pun itu, tetap saja
dia ceritakan padaku. Raka memang sangat cerewet, padahal aku rasa aku tidak perlu
tahu semua itu, tapi tetap saja dia ceritakan. Mungkin dia berharap jika aku
paham maka akan semakin menyenangkan jika kami bisa membicarakan hal yang dia
suka bersama. Aku iyakan saja, yang penting dia bahagia. Hahaa
Selain mendengarkannya
menjadi hobi untuk menambah wawasanku, yang paling berkesan adalah, Raka lah
satu-satunya tempat aku curhat. Seperti kataku, aku bukanlah orang yang terlalu
suka bicara, aku tumbuh cenderung menjadi seorang pendengar. Kawan-kawan
sekitarku bilang aku adalah pendengar yang baik, sangat cocok jika mereka ingin
curhat, terlebih jika tujuannya hanya ingin mencurahkan isi hati dan tidak
untuk meminta solusi atau bantuan. Dari situlah aku banyak mendengar curahan
hati kawan-kawanku, beberapa merupakan curahan tentang hal yang kurang
menyenangkan, masalah, dan bahkan menyakitkan hati. Iya, memang semua orang
pasti memiliki masalah dan bisa saja sakit hati, namun karena terlalu sering
mendengar curhatan tentang masalah orang lain, aku jadi segan untuk gentian menceritakan
masalahku pada mereka, karena aku takut hanya menambah beban pikiran mereka,
padahal bisa saja mereka juga tidak peduli dan tidak akan memikirkan
curhatanku. Tapi tetap saja aku tidak mau untuk curhat pada siapapun
sampai-sampai ada yang menyebutku tertutup karena mereka tidak tahu apapun
tentangku. Padahal ya pasti aku pun memiliki masalah, terutama saat itu tentang
keluargaku yang banyak menyita emosi. Dan satu-satunya tempat untuk curhat
adalah Raka, dan dari dia lah aku belajar untuk curhat, karena masalah yang kau
pendam sendiri hanya akan membuatmu stress dan bisa saja sakit. Terima kasih ya
Raka sudah menajdi pendengar setiaku saat itu.
“Neng…! Halo…! Heh…!
Neng…! Wes bobok to? Woooo kulino (kebiasaan)..”
Hahaaa, karena memang
kampus tempat belajar setelah SMA kami berbeda, kami pun harus LDR, meski tidak
terlalu jauh, namun tetap saja judulnya LDR. Raka mengambil sekolah kesehatan
di Semarang, dan aku mengambil sekolah keguruan di Jogja. Iya, tidak terlalu
jauh, bahkan dua minggu sekali kami pasti bertemu, namun tetap saja lebih
banyak tidak bertemunya. Tapi yang aku suka, dan mungkin memang dilakukan semua
pasangan LDR adalah komunikasi kami yang selalu kami coba jaga. Tanganku seolah
dituntut untuk selalu memegang ponsel di mana pun aku berada. Setiap hari, dan
yang pasti setiap malam kami pasti saling menelepon, jaman kami dulu belum ada
telpon dengan social media seperti saat ini, sehingga kami benar-benar telepon
menggunakan pulsa berjam-jam tiap malam. Waktu telepon adalah waktu yang paling
ditunggu-tunggu. Dan kebiasaanku adalah ketika mendengarkan dia berbicara aku
bisa sampai tertidur karena aku sangat mudah tertidur jika aku sudah merebahkan
badan di kasur dan baru dia akan mematikan teleponnya jika aku sudah tidak
menjawabnya karena tertidur. Jika banyak dari kalian yang selalu basa-basi
saling melempar untuk menutup telepon, hal itu seolah tidak berlaku bagi kami
dulu. Salah satu (dan seringnya aku) akan tertidur karena sudah terlalu lelah
sehingga tidak perlu bingung siapa yang harus menutup telepon, karena Raka lah
yang akan melakukannya. Hehee
Seperti yang aku katakana
sebelumnya, dia begitu ingin aku memahami apa yang dia suka, dan bahkan jika
bisa aku juga menyukai apa yang dia suka itu. Setiap dua minggu sekali dia akan
menyempatkan untuk mendatangiku ke Jogja. Dia akan berangkat di hari Sabtu
setelah pulang kuliah, dan kembali ke Semarang Minggu malam atau Senin pagi.
Beberapa kali aku diajaknya untuk nobar pertandingan sepak bola klub yang
sangat dia sukai. Aku sih tidak begitu paham, tapi ya aku menghargai dan
mengiyakan untuk diajaknya. Meski tidak paham, tapi aku suka usahanya untuk tetap
melibatkanku di kegiatannya, dia tidak memberatkan salah satu sehingga aku pun
juga senang-senang saja, apalagi jika klub yang dia suka menang, aku pun turut
bahagia. Namun jika kalah dan dia kecewa, aku merasa di situlah tugasku untuk
membuatnya kembali ceria di tengah suasana yang sedikit tegang.
Apa lagi ya…?
Hmmm….
Mungkin masih banyak
momen-momen bahagiaku dengan Raka saat itu. Tapi aku benar-benar tidak bisa
banyak mengingat hal manis dan segala kebaikannya padaku. Dan aku tidak ingin
memaksa otak ini untuk memutar kembali apa yang pernah terjadi, karena bukannya
merasa kangen atau bahagia, justru rasa sakit yang muncul bersamaan dengan
memori itu. Mungkin kalian bertanya-tanya, sepahit apa akhir hubungan kami
sehingga aku bisa menjadi terlalu berlebihan menanggapi rasa sakit itu.
Sebenarnya kami berpisah hanya karena hal sepele, namun begitu menusuk di hati.
Setelah ini pasti akan kuceritakan.
#To be continued
#Gambar di atas bukan milik penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar