Sebelumnya sudah kalian
ketahui bagaimana sikap pemuda tinggi kurus dan agak putih itu. Iya, Raka
terlalu pencemburu, awalnya aku begitu merasa bahagia saat kutahu dia cemburu
jika aku dekat dengan orang lain. Bagaimana tidak, kalian tahu kan cemburu itu
tanda cinta, tanda jika dia menyayangimu. Sedikit geli bagai tergelitik namun
begitu berbunga-bunga hingga rasanya kupu-kupu di dalam perut ini terus
beterbangan membuatku ingin tersenyum bahagia mengetahui bahwa dia
menyayangiku. Terlalu berlebihan untuk ukuran seorang anak SMA, tapi mungkin
saat itu aku merasa sudah dewasa, padahal aku belum cukup dewasa untuk memahami
semua permainan yang mengatasnamakan hati itu.
Di awal aku begitu
berbunga-bunga mengetahuinya cemburu namun seiring perjalanan aku merasa ada
yang berbeda dari diriku. Saat Raka memperlihatkan rasa cemburunya itu, tak
lagi aku merasa bahagia dan berbunga-bunga. Tak lagi aku merasa bahagia karena
tahu dia mencintaiku. Sebab semakin kau dewasa kau semakin tau bagaimana
deskripsi cinta yang tak bisa didefinisikan ini. Tak seperti cinta monyet,
ketika semakin dewasa kau tau, indicator seeorang menyayangimu tak lagi hanya
“Rasa Cemburu”. Ada hal lain yang perlu kau pahami untuk bisa mencintai dan
menyayangi seseorang, yaitu “Percaya”.
Sekali dua kali tiga
kali Raka cemburu memang sangat lucu dan membuatku tertawa. Tak jarang dia
bersikap seperti anak kecil, manja, melakukan hal-hal yang membuatku harus
memperhatikannya. Sesekali dia mencolek-colek, memainkan rambutku, ingin
diambilkan minum, memintaku menyuapinya, dan hal-hal konyol lain yang
mencerminkan bahwa dia sedang cemburu dan memintaku memperhatikannya lebih dari
biasanya. Okelah, hal-hal seperti itu masih bisa diterima, dan aku pun suka
jika dia bersikap lucu seperti itu.
Tapi semakin ke sini
ungkapan rasa cemburunya mulai berubah. Tak lagi ada sikap manis nan manja.
Jika ia tahu aku sedang dekat dengan seorang pria, yang padahal tak ada ikatan
dan tak ada rasa, hanya dekat karena situasi dan kondisi secara professional,
maka sikapnya langsung berubah. Kelinci kucing manis itu berubah menjadi
harimau dalam sekejap. Berawal dari jawaban-jawaban ketus, nada yang meninggi,
hingga tembok tak berdosa yang selalu menjadi sasaran tinjunya, dan
argumen-argumen anti mengalahnya yang ia tinggalkan begitu saja dengan motornya
yang ia gas layaknya sedang berada di posisi terdepan untuk balapan. Perih
rasanya hati jika ia pergi dalam keadaan emosi dan masalah yang masih
menggantung seperti itu.
Lalu bagaimana
denganku? Aku hanya bisa bersikap layaknya gadis remaja yang lain yang hidup
penuh drama, masuk kamar, membuka selimut, menutup wajah dengan bantal dan
menangis sekeras mungkin hingga mata bengkak dan umbel bercucuran. Terkadang aku berpikir, apakah aku yang terlalu
berlebihan, atau memang hampir semua gadis seperti ini? Mengapa aku harus
tercipta untuk memiliki rasa seperti itu.
Situasi tegang yang
menggantung seperti itu tak akan bisa kembali tenang seperti semula jika bukan
aku yang kemudian menurunkan ego, berharap semua kembali baik-baik saja, dan
yang menjadi kunci andalanku adalah “meminta maaf meski kau tau kau tak berbuat
salah”. Dia akan langsung menurunkan tensi itu dan semua akan menjadi apa yang
kau inginkan. Tapi apakah aku memang tercipta untuk merendah, dan meminta maaf
selamanya? Bukankah hubungan ini adalah antara aku dan dia? Mengapa harus aku
yang berjuang sendiri? Mengapa bukan dia yang merendah dan bisa memahamiku?
Pernah sekali kucoba,
ketika ia mulai marah besar, aku tak mau mengalah lagi. Dan aku bukanlah tipe
orang yang bisa selalu marah besar dan berteriak-teriak dengan emosi, aku
adalah tipe amarah dalam diam. Aku akan diam jika aku marah, sehari dua hari
tiga hari aku diam dan tak memperdulikannya apa lagi menyapanya. Hingga mungkin
dia menjadi sangat marah karena aku tak lagi seperti biasanya. Mungkin dia
sedang menunggu-nunggu kapan aku akan merendah seperti biasanya. Amarahnya
semakin menjadi-jadi hingga suatu saat di sekolah, saat jam pulang sekolah, di
saat dia lelah menungguku merendah, dia memaki-makiku dan meneriaki aku
“ANJING…!!!!” dihadapan semua orang. Seketika aku hancur, hujan deras saat itu
seolah mewakili perasaanku, aku tak lagi bisa berkata-kata apapun saat dia
begitu saja pergi. Entah apa yang terjadi, malam harinya dia tiba-tiba datang
ke rumah dan membawakanku boneka anjing. Aku terheran-heran, apa maksudnya
melakukan ini. Dia meminta maaf dan aku putuskan untuk menyudahi kesedihanku,
aku lupakan apa yang sudah terjadi, aku maafkan dia begitu saja. Coba katakana
padaku, aku ini terlalu bodoh atau memang itu yang seharusnya aku lakukan?
Sejak saat itu aku
menjadi mematri di hati bahwa tak sepantasnya aku bersikap seperti itu. Aku
meyakinkan diri bahwa memang cinta itu saling melengkapi, jika dia sedang tak
terkontrol, aku harus bisa merendah dan menenangkannya. Aku tak boleh menjadi
bensin untuk apinya. Tak boleh lagi aku berharap untuk dipahami dan saling
memahami, selagi aku masih bisa memahami dan menerimanya, maka tak akan ada
masalah di antara kami.
Benar saja, kami seolah
hidup dengan lebih damai. Aku tetap menjadi seseorang yang meminta maaf dan
menjadi kunci selesainya masalah. Akhir masalah selalu aku yang meneteskan air
mata sengaja untuk membuatnya tenang dan melupakan segala api yang
menyala-nyala itu. Selain pemaaf, aku menjadi begitu sensitive, sangat mudah
bagiku untuk meneteskan air mata meskipun aku tak ingin, aku merasa sudah
seperti aktris yang begitu piawai berakting. Akan kuteteskan air mataku di
depannya, membuatnya iba, dan aku meminta maaf agar semuanya selesai. Namun
dibalik itu, justru setelah semua selesai barulah aku menangis, benar-benar
menangis, bukan untuk membuat siapapun iba. Aku mengurung diri di kamar dan
menangis, sesekali menyakiti diri sendiri dengan mencubit, menyakar, dan
memukuli diri sendiri. Di saat itulah aku terus berpikir sampai kapan aku harus
seperti itu.
Lama kelamaan aku
menjadi seperti seseorang yang terkena gangguan psikis. Dan kadang aku berpikir
bahwa aku ini gila. Apa yang aku tunjukkan dihadapan orang adalah apa yang
ingin mereka lihat, bukanlah diriku sebenarnya. Tangis itu hanya akan pecah
saat aku sendiri. Tak jarang tengah malam aku terbangun dan menangis hanya
untuk bisa tertidur lagi, teringat bagaimana perihnya untuk memperjuangkan
hubungan kami.
Dulu aku begitu
terbuka, belajar untuk menjadi terbuka pada Raka. Namun dengan sikapnya yang
semakin menjadi-jadi, aku seolah tak bisa lagi terbuka padanya. Aku tak bisa
lagi mencurhkan isi hatiku padanya. Karena jika itu kulakukan, yang ada kami
hanya kan terus bersitegang. Sehingga aku tak punya tempat lagi untuk
bercerita, hanya sesekali ketika bersujud air mata itu jatuh. Dan sesekali
berpikir bagaimana bisa cinta monyet ini membuatku terus-terusan menangis? Apa
iya aku begitu kekanak-kanakan hingga aku harus menangis, permen dan balon
seperti apakah yang aku butuhkan agar aku berhenti menangis?
Waktu terus berjalan,
kami terus seperti itu. Raka terus menjadi figur pencemburu yang membuatku tak
bisa berkutik. Tiap malam dia akan datang ke rumah, dengan ijin orang tuanya
untuk belajar bersama, dia tak tinggal untuk waktu yang lama, dia hanya sekedar
datang dan melihat apakah semuanya baik-baik saja dan kemudian dia akan pergi
untuk nongkrong dengan kawan-kawannya. Sebal memang, namun seringkali dia tetap
baik dan masih menganggapku ada. Setiap aku membutuhkan sesuatu, dia selalu
bersedia untuk mengantar dan menemani sampai aku mendapatkan apa yang aku
inginkan. Manis bukan, namun dari situlah sifat manjaku muncul. Aku seolah tak
bisa jika harus pergi sendiri untuk memenuhi kebutuhanku. Aku ketergantunga,
dia menjadi canduku.
Aku lupa apakah aku
sudah pernah menceritakan ini atau belum, tapi taka pa, akan kuingatkan saja
tentang cerita ini. Semua berjalan baik-baik saja dengan aku yang begitu
ketergantungan dengan Raka. Suatu waktu aku memintanya untuk menemaniku membeli
peralatan tulis dan kertas untuk tugas sekolah, namun herannya, dia menolak.
Tak seperti biasanya dia menolakku. Baiklah, dia bilang dia sibuk dan aku
putuskan untuk berpikir positif dan pergi memenuhi kebutuhanku sendiri. Tak
lama kemudian, agak malam dia datang ke rumah. Seperti biasa kami mengobrol dan
aku tak sengaja membaca pesan masuk ketika handphone nya kupegang.
“Iya, makasih ya yank.”
Seseorang yang tak
begitu kukenal, yang ternyata teman sekelasnya. Aku seolah tak percaya semua
itu. Tak lagi bisa berkata-kata, lagi, aku langsung meneteskan air mata. Aku
tak pernah tau kapan mereka dekat, tapi dia sudah saling memanggil dengan
panggilan sayang saja. Raka yang begitu pencemburu ternyata justru dia yang
bermain di belakangku. Tak disangka bukan. Memang dunia ini seolah sudah
terbalik. Mereka yang terlihat begitu sayang ternyata bermain di belakang.
Mereka yang terlihat dekat dengan banyak orang justru sedang teguh menjaga
hati. Hahaaa, aku benar-benar ingin tertawa mengingatnya.
Entah mengapa setelah
itu aku memaafkannya, menganggap bahwa aku bisa mempercayainya, dan aku tak
lagi mempermasalahkannya. Tapi sekali kepercayaan itu dipecah, kau tau sendiri
kan, tak akan lagi bisa menjadi utuh seperti dulu. Iya, tidak akan pernah.
Baiklah, waktu terus
berjalan. Aku tak lagi mempercayainya dalam diam, namun kami masih menjalin
hubungan dengan baik. Sampai tiba saatnya kami harus merantau untuk kuliah,
kalian tahu itu. Dan kalian juga tahu bagaimana justru Raka yang terlalu
posesif dan pencemburu. Aku pikir, semua itu wajar. Wajar jika yang terkasih
sedang jauh dan kau takut kehilangan jika dia menemukan orang lain yang bisa
saja lebih baik.
Tapi bukankah kunci
dari hubungan jarak jauh adalah percaya? Percaya bahwa dia di sana akan menjaga
hatinya. Percaya bahwa di saat dia tak membalas pesan maka ia memang sedang ada
hal yang harus dilakukan. Percaya bahwa akan selalu ada alasan dan penjelasan.
Sehingga ketika kau berada di tempat lain, kau juga harus menjaga percaya itu,
layangkan pikiranmu ke ruang positif dan menyibukkan diri dengan hal baik agar
tak lagi berpikir bahwa di sana dia sedang berduaan dengan orang baru yang bisa
saja lebih sempurna darimu.
“Lagi apa neng?”
“Mau siap-siap kuliah bang.”
“Udah berangkat neng?”
“Lagi di jalan bang.”
“Udah nyampe kampus
neng?”
“Udah bang, ini di kelas. Aku kuliah dulu ya.”
“Udah dating po
gurunya?”
Iya, sedikit percakapan
rutin kami di pagi hari. Harus sedetail itu kah? Tak bisakah kau percaya bahwa
aku memang akan pergi kuliah? Tak bisakah kau membiarkan aku untuk pergi
berkegiatan dan akan memberi kabar jika memang sempat? Percayalah, aku akan
selalu menyempatkan untuk memberi kabar meski sibuk. Kau tak perlu terus
mengecek seluruh detail kegiatanku Raka. Apa kau tak lelah harus seperti itu
setiap hari?
Aku tau kau berniat
perhatian, namun tidak harus seperti itu Raka. Aku bukan lagi merasa bahagia
karena diperhatikan, namun aku menjadi risih dan tak suka jika kau terlalu
seperti itu. Percayalah, taka da yang suka jika sesuatu itu terlalu berlebihan.
Seperlunya saja, secukupnya saja.
“Udah selesai
kuliahnya?”
“Udah, ini mau makan siang dulu.”
“Makan apa? Di mana?
Sama siapa aja?”
“Bakso di kantin sama temen-temen kelas.”
“Ada si adit? Awas kalo
macem”
Ya, percakapan rutin
lain kami. Aku selalu jujur aku sedang bersama siapa, meskipun aku benar-benar
tidak ada apa-apa dengan mereka yang ada di sekitarku, namun Raka selalu
beranggapan lain dan terlalu berlebihan. Heuh, sudah lelah sebenarnya. Namun
aku tetap menahan. Sesekali jika memang aku sangat membutuhkan seorang teman
untuk sekedar mencari makan atau mengerjakan tugas, aku akan tetap jujur meski
aku pergi dengan seorang pria. Aku jujur karena aku ingin Raka percaya bahwa
aku tak sedang nakal. Meski pada akhirnya dia kan marah-marah tak jelas, dan
harus aku yang menangis sendiri di kamar kos seperti orang gila, dan haru
mengondisikan diri untuk terlihat baik-baik saja di hadapan teman-teman.
Lelah itu semakin
menumpuk hingga akhirnya aku berpikir, jika dia sama sekali tak bisa
mempercayaiku, mengapa aku harus menjadi seseorang yang bisa dipercaya? Hahaaa,
jahat bukan aku? Yupp, malaikat baik hati itu seketika berubah wujud menjadi setan.
Tak sekali dua kali aku mengiyakan mereka yang mendekati masuk ke hatiku,
kubuka lebar-lebar. Kebiasaan berbohong pun menjadi kebiasaanku ketika aku
selalu menjadi bahan amarah Raka, dan suatu saat dia berkata’
“Gak
usah ngomong sekalian, kalua perlu bohong aja, aku gak mau denger kamu pergi
sama mereka”
Hahaaa, saat itulah
sang setan berkembang biak dalam diri ini. Kebohongan demi kebohongan aku buat
agar ia tak marah dan semua baik-baik saja. Aku pergi dengan seseorang yang
awalnya memang untuk hal-hal professional berbelok menyinggung urusan hati.
Sempat dekat dengan beberapa pria selain Raka membuatku bertanya-tanya, apa iya
aku masih memiliki rasa yang sama pada Raka?
Hubungan kami masih
berjalan dengan amarah yang selalu memancar hampir setiap hari. Tingkah lakunya
begitu kekanak-kanakan, tak sabaran, penuh emosi dan membuatku jengkel. Tak
hanya ketika kami sedang tak bersama, seperti yang aku katakana, setiap dua
minggu sekali kami selalu berjumpa, entah dia yang mendatangiku ke Jogja atau
kami yang membuat janji untuk pulang ke rumah. Namun ketika kami harusnya
menghabiskan waktu bersama, dia selalu saja melakukan hal-hal bodoh yang
membuatku marah. Bangun siang dan membatalkan janji bertemu menjadi alasan
langganan aku marah. Namun tetap saja aku tak bisa marah dan hanya harus
memendam kecewa sendiri.
Raka tak pernah suka
jika aku pergi dengan teman kuliah hingga malam, atau bahkan larut malam. Dia
selalu berpikiran yang tidak-tidak dan memerintahkanku untuk pulang jika memang
sudah malam sekitar pukul 21.00 WIB. Padahal, jika memang kalian pernah atau
sedang tinggal di kota besar, melihat perempuan masih berada di luar semalam
itu bukanlah hal yang aneh sejauh itu memang berada di tempat umum. Tak jarang
pula jika aku dan kawan-kawan satu organisasi harus mengadakan rapat di luar
dengan makan bersama dan dilanjutkan dengan rapat hingga larut malam demi
terselenggaranya acara dengan baik dan benar. Namun Raka tak pernah mau
menerima alasan seperti apapun itu.
Memang saat itu
hubungan kami sedang kritis, aku yang memang sedang dekat dengan orang lain,
dia yang aku duga juga sedang dekat dengan orang lain. Selalu saja ada alasan
untuk saling marah hingga suatu malam aku lebih mementingkan untuk makan malam
dan bercanda dengan kawan-kawan hingga sekitar pukul 21.30 WIB. Raka begitu
marah aku tak mengiyakan perintah berlebihannya untuk pulang. Hingga akhirnya
aku merasa sudah tak kondusif jika aku tetap tinggal, akhirnya akupun pulang.
Sesampainya di kamar
kost aku meneleponnya dan adu argument pun dimulai. Dia marah besar, dan aku
tak lagi mau mengalah. Aku yang memang selalu menyimpan rasa sakit pun
mengungkapkan apa yang selama ini aku rasakan tentang Raka dengan derai air
mata. Hingga tak tahan lagi aku tutup teleponku. Setelah itu, Raka pun mengirimiku
pesan.
“Kamu terlalu baik Syifa. Maafkan aku yang selama
ini ternyata membuatmu menangis dan sakit. Jika memang kamu selalu menaham
sakit itu, apakah sebaiknya jika kita sudahi hubungan ini?”
Tak lagi bisa ku tahan
air yang mengetuk mata ini sangat keras meminta untuk keluar dari rongga
mataku. Aku yang sudah menangis itu semakin meronta kesakitan, merasakan betapa
sakitnya hati ini. Tak lagi kurasakan sakit dari cakaran kukuku ataupun
pukulanku ketubuhku sendiri. Begitu remuk rasanya, aku yang selama ini mencoba
bertahan, begitu mudahnya dia memberikan penawaran untuk menyudahi semuanya. Aku
tahu aku selama ini telah berbuat salah, aku tahu aku selama ini bukan bukan
seseorang yang bisa dipercaya. Tapi tetap saja rasa sakit itu begitu besar
hingga aku ingin mengaduh dalam malam. Tanpa pikir panjang, meski sakit, aku
langsung berkata,
“Baiklah. Terima kasih
atas semuanya.”
Bagi kalian yang sedang bersama seseeorang yang kalian cintai, jauh ataupun dekat, "Percaya" adalah fondasi dari hubungan. Jangan kalian menyiksa diri dengan prasangka-prasangka setan dalam dirimu tentangnya. Jika kau tak mempercayainya, trust me bahwa dia akan menjadi apa yang kau pikirkan, dia benar-benar akan menjadi tidak bisa dipercaya. Dan jika kau mempercayainya dengan setulus hati, maka dia akan menjaga kepercayaanmu. Cemburu boleh, tapi tetaplah percaya. Karena believe me or not, apa yang kalian pikirkan akan menjadi kenyataan. Pikirkanlah hal-hal positif dalam hidupmu, dan tentu dalam cintamu.
#ToBeContinued
#GambarDiAtasBukanMilikPenulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar