Hey kalian, kalian
anak-anak kelahiran tahun 90’an, jaman masih sekolah dulu kalian panggil apa
pasangan (cinta monyet) kalian?
“Sayang…”
“Cintaa…”
“Hunny…”
“Hubby…”
Atau
“Ayah – Bunda”, dan
“Papa – Mama”
Panggilan apa yang pernah kalian
gunakan? Kalau aku dulu dengan Raka sering sekali berganti-ganti panggilan,
karena kami mudah sekali bosan, dan dengan berbagai pertimbangan yang tidak
penting maka kami sering mengganti panggilan.
Aku tak ingat betul apa
saja panggilan yang kami gunakan dulu. Yang jelas yang paling ku ingan adalah 4
(empat) panggilan. Yang pertama adalah,
“Cintaa.”
Hahaaa, lucu bukan,
sepasang remaja yang bahkan belum memiliki KTP saat itu sudah berani-beraninya
memanggil satu sama lain dengan sebutan CINTA. Padahal tahu apa itu cinta saja
belum tentu. Tapi kami begitu menikmati panggilan itu, tapi jika dirasa-rasakan
panggilan itu begitu aneh terdengar jika harus memenggal suku katanya. Coba
saja, jika kupenggal dengan “Cint” maka kesannya seperti kami sedang berdialog
layaknya para pria yang kewanitaan, iya kan (*peace) ? Kemudian jika yang
dipakai adalah suku kata terakhir yaitu “Ta”, maka juga terdengar aneh, seperti
sebua film tanpa klimaks, begitu datar dan aneh. Sampai pada akhirnya kami
mengganti panggilan entah karena apa.
“Papa – Mama”
Eeewwhhh. Risih rasanya
sekarang kalau inget dulu pernah paki panggilan itu. Jijik banget gak sih. Ya
bukan berarti sebutan itu jijik, tapi, helloooooo… anak seusia itu sok-sok an
panggil Papa – Mama, nikah aja belum udah pake panggilan kayak gitu. Entah dulu
dari mana asalnya sebutan itu. Yang jelas entah mengapa saat itu rasanya biasa
saja, tapi setelah semakin dewasa dan mengingatnya, rasanya benar-benar,…argh.
Euwh, hish, iiihhhh. Bisa-bisanya dulu panggil begitu. Udah kayak orang tuaku
aja panggilnya begitu. Parahnya, saking terbiasanya memanggil dengan panggilan
itu, kadang di depan umum atau di sekolah pun secara tidak sengaja kami saling
memanggil dengan sebutan itu. Dan alhasil, teman-teman sekelas masa SMA jadi
memanggil kami dengan sebutan itu, seolah kami berdua menjadi Pak-Mbok mereka
di kelas. Sampai sekarang pun meski kami sudah tidak bersama, beberapa dari
mereka masih menyebut kami begitu. Panggilan itu begitu melekat. Jadi heran,
tapi aku menerima saja sih sampai sekarang, karena bagiku mereka yang
memanggilku begitu bukan lagi ingin mengingatkanku pada masa itu, tapi memang
karena panggilan “Mamah” ditujukan atas sikap keibuanku, hahahaaa. Cukup lama
nyaman dengan panggilan itu, kami kemudian beralih ke panggilan lain karena
merasa “Papa-Mama” terlalu euwh untuk remaja, haha.
“Hunny”
Entah kapan tepatnya
kami berganti memanggil satu sama lain dengan panggilan “Hun”, tapi seingatku
sekitar setelah kenaikan kelas XII SMA. Yakali…, semakin bertambah umur mungkin
kami semakin sadar atas ke-alay-an kami, dan entah juga datangnya dari mana
panggilan itu, mengalir saja rasanya dan kami mengiyakan untuk terbiasa
memanggil “Hun” satu sama lain. Kami sangat menikmati panggilan itu, karena
rasanya lucu, lebih dewasa, dan lebih romantis. Iya gak sih? Atau menurutku
saja? Haha. Namun tidak lama setelah masuk kuliah kami berganti panggilan.
Tidak lagi dengan panggilan yang menurutku lebih lucu dan romantic itu.
“Abang – Eneng”
Sama seperti
panggilan-panggilan sebelumnya, entah apa sejarah yang melatarbelakangi panggilan
ini. Semakin ke sini memang kami semakin realistis dan lebih dewasa aku pikir.
Dan aku begitu menikmati panggilan tu, berharap Raka menjadi sosok Abang
untukku dan dapat mengerti, melindungi, dan mengayomi. Hahaa, macam polisi saja
bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun nyatanya, meski aku pikir
evolusi panggilan yang menjadi semakin dewasa ini juga sejalan dengan pribadi
kami berdua yang semakin dewasa pula, ternyata tidak seindah harapanku. Justru
di fase dengan panggilan paling dewasa menurutku inilah ternyata kami malah mengakhiri
hubungan. Hahaaa, lucu ya, hati memang tak bisa dihitung dengan rumus ilmu
pasti apakah berbanding lurus atau berbanding terbalik dengan variabel yang
lain. Setelah semuanya berakhir, tentu tak
ada lagi panggilan khusus selain nama kami.
“Raka – Syifa”
Semua kembali seperti
awal, kami pun sekarang memanggil dengan sekedar panggilan nama. Lebih
parahnya, sepertinya kami sudah tidak pernah saling memanggil lagi kali ini.
Banyak hal yang membuat kami justru menghindari untuk bertemu satu sama lain
meski itu dalam kegiatan bersama kawan-kawan jaman sekolah dulu. Hahaa, soal
itu akan aku ceritakan nanti. Tapi yang jelas kami sudah seperti orang asing
lagi saat ini, tak perlu bingung bagaimana cara memanggil satu sama lain,
karena kami tidak akan saling memanggil lagi.
#To be continued
#Gambar di atas bukan milik penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar