BAB I
HOW I MET HIM
“But
sometimes it can get so hard Pretending It’s Okay.” - Little Mix
Ketika
mendengar lagu ini, langsung terbesit dalam ingatanku tentang seseorang yang
pernah menjalin hubungan denganku. Berpura-pura memang menjadi salah satu hal
yang wajib kulakukan untuk tetap menjaga hubunganku saat itu. Aku, yang pemarah
tapi tak bisa untuk marah. Aku yang ketika tak menyukai sesuatu yang
dilakukannya hanya akan diam dan menangis. Setelah itu, yang harus aku lakukan
adalah berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, jika tidak bisa berbeda lagi
ceritanya. Namun jangan dulu ingin membaca tentang hal ini, karena aku
benar-benar akan menceritakannya dari awal. Jadi, simpan dulu rasa penasaran
kalian, karena paragraph awal ini justru akan kujelaskan nanti di akhir.
Oh
iya, kenalkan namaku Syifa. Sepenggal cerita di atas adalah aku ketika menjalin
hubungan dengan seseorang, sebut saja dia Raka. Seorang remaja satu sekolah
denganku yang kemudian menyatakan cintanya padaku. Saat itu kami masih berada
di Sekolah Menengah Pertama. Untuk hitungan remaja pun kami masih sangat awal, #cintamonyet orang bilang.
Saat
itu aku dengan segerombolan teman sekolah di kelas VII pulang dari sekolah
bersama berjalan kaki. Kami memang terbiasa pulang bersama bagi yang rumahnya
tak terlalu jauh dari sekolah dan satu jalur. Satu per satu dari kami
memisahkan diri pulang ke rumah masing-masing. Saat itu salah satu dari kami
dijemput oleh Ayahnya di jalan, entah siapa dia, aku tak mengenalnya meski dia
bersama gerombolanku saat itu. Dia pergi dan aku pun acuh karena aku tak
mengenalnya.
Sampai
pada suatu hari seseorang mengirim pesan singkat dan mengaku sebagai teman dari
temanku satu kelas. Aku iyakan saja, aku anggap dia hanya salah seorang teman
yang ingin berkenalan. Ternyata lebih dari itu, aku yang saat itu masih terlalu
lugu menerima pesan bahwa dia menyukaiku dan ingin menjadi lebih dari seorang
teman. Pikiran pertama yang muncul adalah,
“Yuck,
ill-feel. Apaan sih ni anak, kenal aja enggak.”
Bukankah
ini terlalu cepat? Tidak ada PDKT dan memang aku masih belum sampai pada fase
menyukai lawan jenis saat itu. Kutolak lah dia dengan alasan aku tidak
menyukainya dan menyukai kakak kelas. Padahal itu hanya alasan, karena aku
benar-benar tidak tahu bagaimana cara menolak seseorang, jadilah aku berbohong.
Dari kebohonganku itu untunglah aman, dia tidak lagi menghubungi dan bahkan
tidak pernah lagi berjalan pulang bersama dengan gerombolanku. Secepat itu kah
dia pergi karena sakit hati kutolak? Aku tak peduli.
Kujalani
hari-hari layaknya siswi SMP biasa sampai akhir kelas VIII takdir mempertemukan
kami kembali. Di Minggu Pagi kala itu aku mengikuti sebuah uji coba Ujian Akhir
Sekolah yang diadakan oleh sebuah Lembaga Bimbel di daerahku. Seperti biasa, ke
mana pun aku selalu berjalan kaki Karen amemang saat itu aku belum begitu
lancer mengendarai motor. Di tengah perjalanan tiba-tiba seseorang yang
mengendarai motor berhenti dan memanggilku. Ditawarilah aku untuk pulang ke
rumah berboncengan dengannya. Iya, memang benar tebakan kalian, Raka lah yang
saat itu memberi tumpangan. Sampai rumah dia pun langsung pulang. Benar saja, pertemuan
itu mungkin mengingatkannya bahwa ia pernah menyukaiku dulu. Dan sejak saat itu
juga dia mulai mengirimiku pesan singkat lagi, semakin rutin dan semakin rutin.
Awalnya
aku merasa risih dan aneh dengan perilakunya. Terlebih gossip yang muncul bahwa
dia juga sedang dekat dengan seseorang di kelasnya. Namun semakin rutin dia
mengirimiku pesan singkat, semakin sering pula rasanya kami berpapasan entah di
jalan, atau di sekolah. Dan aku pun tak tahu apakah itu semua hanya kebetulan
atau memang dia benar-benar mencari momen yang tepat untuk bisa berpapasan
denganku. Ha…ha… GeEr sekali aku ini, tapi memang bisa saja kan, jika memang
saat itu niatnya ingin kembali mendekatiku. Namun sayangnya saat itu aku sedang
menjalin #cintamonyet dengan seorang pemuda kawan sepupuku yang sempat tinggal
di tempatku saat dia melaksanakan praktik kerja lapangan, namun sekarang dia
sudah kembali ke kota asalnya sehingga kami harus LDR. Yak, diumur semuda itu
memang belum pernah terpikir akan sakralnya cinta dan setia, namanya juga
#cintamonyet. Meskipun sedang menjalani LDR tapi di sisi lain aku merespon
segala perhatian yang Raka berikan. Jahat ya aku? Ah tidak, karena diumur
sebelia itu belum kurasakan yang dikatakan cinta dan kasih sayang yang
sebenarnya, masih benar-benar merasa biasa saja. Hingga tak begitu sulit jika
harus bertindak seperti itu.
Saat
itu sekolahku mengadakan kegiatan wisata ke luar kota, Malang tepatnya. Malam
sebelumnya Raka menemuiku di rumah seorang tetanggaku, entah apa yang kami
bicarakan saat itu di latar rumah, aku tak lagi bisa mengingatnya, namun yang
jelas saat itu kami benar mulai dekat. Sampai keesokan harinya, meski kami
berbeda kelas sehingga berada di bus yang berbeda, sepanjang perjalanan kami
terus berkirim pesan. Dia terus mengirimiku pesan manis dan perhatian-perhatian
kecil ala remaja saat itu. Kadang aku pun terbawa suasana dan tersenyum ketika
membaca pesannya. Sejak saat itu pun aku mulai heran, seseorang yang berkata
adalah “pacarku” saat itu justru tak mengirimiku pesan sama sekali. Ya,
ternyata di waktu yang bersamaan aku mulai renggang dengannya, sedangkan di
sisi lain aku mulai dekat dengan Raka.
Setiap
hari Rabu aku memang mengikuti eksrakulikuler Bahasa Inggris di sekolah,
sehingga setiap hari Rabu itu juga aku harus pulang lebih sore dan harus pulang
berjalan kaki sendiri, karena gerombolanku taka da satupun yang mengikuti
kegiatan yang aku ikuti itu. Saat aku berjalan keluar dari gerbang sekolah
tetiba saja ada yang memanggil dari belakang,
“Syifaaaaaa,
pulang sendiri? Ayo, aku antar pulang, kebetulan kegiatanku sudah selesai.”
Yak,
ternyata itu Raka yang mengaku mengikuti ekstrakulikuler Karawitan yang
berlangsung di hari yang sama dengan ekstrakulikuler Bahasa Inggris. Aku pikir lumayan
juga, saat itu sudah sore dan aku harus berjalan sendiri, jadi ku-iya-kan saja
tawarannya. Tak sempat aku berpikir apa iya dia mengikuti ekstra Karawitan saat
itu, atau hanya menunggu aku pulang. Karena saat itu dia sudah berpakaian
biasa, tak lagi berseragam, sedangkan kegiatan ekstra dimulai terlalu mepet
dengan jam pulang sekolah. Dan aku pun tak yakin jika dia bisa bermain gamelan.
Namun pikiran itu justru baru terpikir olehku saat kutulis cerita ini. Hahaa,
dasar bodoh, bisa saja aku percaya dengan modusnya.
Baiklah,
lupakan segala bentuk tipu daya yang Raka ciptakan hanya untuk memodusiku,
namun saat itu memang momen yang sangat tepat sepertinya. Aku bertengkar hamper
setiap malam dengan dia yang berada jauh dariku. Bertengkar tentang betapa aku
tak menyukai perilakunya sehari-hari yang ia ceritakan padaku. Karena aku belum
paham soal cinta, lalu hanya logika yang berputar. Mana mungkin aku bisa
terus-terusan menjalin sesuatu dengan seseorang yang katanya tobat untuk minum
dan tawuran tapi ternyata masih saja melakukannya? Aku, lahir di keluarga dan
lingkungan yang jauh dari hal seperti itu, jadi aku putuskan untuk menyudahinya
saja. Mungkin kalian berpikir, halah paling aku memutuskannya gara-gara Raka.
Bisa iya bisa tidak, tap memang momennya bisa begitu tepat.
Setelah
kembali jomblo saat itu, aku tidak langsung saja membuka pintu lebar-lebar
untuk Raka. Kami hanya menjalani hari sama seperti sebelumnya. Iya, aku tahu
bahwa dia memang menyukaiku, tapi aku masih ingin melihat apakah aku merasakan
bunga-bunga bertebaran di hatiku. Benar saja, semakin hari komunikasi semakin
intens, semakin hari kami semakin dekat, sampai pada suatu hari dia
mengungkapkan bahwa dia menyukaiku secara terang-terangan melalui pesan
singkat. Dan sontak ku balas bahwa aku juga menyukainya. Saat itulah kami
menganggap kami sudah berada di level yang lebih dari seorang teman.
To be continued..................
# Gambar di atas bukan atas hak milik penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar