Redemption |
Suaranya
begitu keras dan lantang saat berteriak. Tangan dan kakinya begitu ringan
melempar atau menendang sesuatu saat marah. Ditambah emosinya begitu mudah
berubah dan meledak-ledak. Ya Tuhan, ada apa ini? Apa salahku? Pangeran
sekarang terlihat seperti Raka, bahkan lebih ganas dan mengerikan lagi. Apa
dosaku setelah keluar dari kandang macan lalu harus masuk ke kandang singa?
Pangeran
ternyata begitu hobi memainkan games
di ponselnya. Saat itu ia begitu terobsesi dengan “Clash of Clans”. Setiap hari ketika bersama ia selalu memegang
ponselnya dan memainkan game itu.
Dulu, sempat aku ingat bahwa Raka juga memainkan game itu, namun aku selalu memarahinya ketika ia terus berkutik
dengan ponsel saat kita bersama, bayangkan jika bertemu hanya satu atau dua
minggu sekali lalu hanya dihabiskannya dengan game, tentu aku akan marah.
Namun
ternyata hal yang sama terjadi padaku dan Pangeran, dan parahnya, karena hampir
setiap hari kami bertemu dan menghabiskan waktu bersama, mau tidak mau aku
harus melihatnya memainkan game yang
harus ia mainkan itu, ya karena baginya itu tanggungjawabnya pada rekan satu clan jadi dia akan tetap bermain jika
sudah tiba saatnya bermain meskipun saat itu ada aku di sampingnya. Tapi aku
pikir itu tak akan menjadi masalah, karena kami hampir setiap hari bertemu,
tentu masih banyak waktu bersamanya, jadi aku biarkan saja dia bermain
sesukanya, selama tak merugikanku maka aku santai saja.
Tapi
ternyata ini bukan soal waktu yang dihabiskan bersama, aku sama sekali tak
cemburu dengan game itu, namun ada
hal lain yang mengganjalku. Ketika berhadapan dengan game ternyata Pangeran menunjukkan sisi lainnya, bukan lagi Pangeran
yang manis dan lucu, tapi ia seketika berubah menjadi Pangeran yang garang dan
sangat kasar, terlebih saat ia harus menghadapi kekalahan saat pertandingan.
Jangan
paksa aku mendeskripsikan bagaimana kemarahan Pangeran, aku sangat tidak
menyukainya, tentu kalian sudah sedikit tahu bagaimana Pangeran saat marah dari
cerita-ceritaku sebelumnya. Ya, dari permainan inilah semua berawal, dan aku
begitu heran Pangeran bisa berubah 180° dari sebelumnya. Awalnya aku hanya
kaget dan sedikit menangis memintanya untuk mengontrol diri dalam bermain game, sampai berbusa mulutku
menasihatinya bahwa permainan itu tidak berhak mendapat perhatian lebih hingga
menguras tenaga, pikiran, dan emosinya. Namun semua itu nihil, percuma dan sama
saja. Terlebih Pangeran telah terlebih dahulu mengenal game itu daripada aku. Ia rela tak tidur semalaman demi tahta akun
permainannya terus meningkat. Layar ponselnya pun sampai rusak dan harus
diperbaiki karena terlalu sering ia banting saat marah.
Kucoba
untuk mempelajari apa yang membuat Pangeran begitu mencintai permainan itu.
Meski aku bukanlah orang psikologi, namun aku mencoba mempelajari gejala jiwa
yang ada pada Pangeran ini. Setelah kucari-cari berbagai referensi, penyebab
seseorang terlalu fanatik terhadap sesuatu hal adalah:
“Hal itulah satu-satunya yang bisa memberikan
kebanggaan pada dirinya.
Sehingga sesuatu itulah yang ia anggap sebagai harga
dirinya.”
Dari
situlah aku tahu kuncinya, Pangeran ternyata belum menemukan Jati Dirinya.
Bukan, bukan jati diri juga, tapi dia hanya salah menempatkan kebahagiaannya
saja. Seharusnya seseorang tidak menggantungkan kebahagiaannya pada siapapun,
bukan games, tim sepak bola, sahabat,
bahkan kekasih ataupun keluarga dekat. Diri kita sendirilah yang bisa memilih
apakah kita akan bahagia atau tidak.
Maksudku,
memiliki perasaan sedih dan kecewa atas seseorang atau sesuatu hal tentu wajar,
namun jika kemudian sedih dan kecewa itu menjadi terlalu berlebihan apalagi
jika diungkapkan dengan hal-hal yang tak benar bahkan melukai diri sendiri atau
orang lain, itu yang menjadi masalah. Iya, kadang jika sudah terlalu emosi
dengan games nya, Pangeran bisa
memukul lantai, pintu, atau bahkan mengadu kepalanya sendiri dengan tembok.
Saat
awal hubungan, yang biasa aku lakukan saat Pangeran emosi ya hanya bisa
terkaget, mencoba menenangkan, dan jika tak mempan maka aku diam dan menangis
sembari memeluknya berharap ia akan menurunkan amarahnya. Tapi lama-lama, aku
seperti menjadi kebal dan kesal. Tak lagi aku kaget, jika dia mulai marah aku
hanya akan meliriknya dengan sinis dan kesal, jika mood ku sedang baik paling aku hanya akan diam dan sedikit
mengomel. Tapi jika tidak, maka aku akan menjadi bumbu pedas untuk sambal.
Iya,
kadang aku terpancing dan ikut emosi melihat tingkahnya, ketika aku complain, yang terjadi adalah emosinya
justru semakin besar dan akan ia salurkan pula padaku. Jika aku sedang dalam
keadaan tak baik (PMS mungkin) maka aku akan menimpalinya. Iya, api bertemu
api, atau mungkin api bertemu bensin, suasana akan semakin panas.
Kalimat-kalimat tak jelas akan bermunculan dari mulut kami berdua.
“Cuma
games kayak gitu dibikin pusing…!!”
“Ini
penting bagiku..!!”
“Penting
mana, aku atau games mu??!!”
“Games nomer satu..!!!”
Yak,
wanita mana yang tak hancur mendengar kalimat itu. Tapi aku pun bodoh, memang
pertanyaan itu tak seharusnya kulontarkan pada Pangeran yang sedang marah.
Bagaimana bisa Pangeran berpikir jernih jika dalam posisi penuh emosi amarah.
Dulu seringkali kami beradu emosi hingga aku yang menangis. Atau bahkan hingga
Pangeran mulai bermain fisik, kami saling menampar, untung tak lebih jauh dari
menampar pipi atau menendang kaki, masih bisa kuatasi, lagian aku dulu pernah
mengikuti Pencak Silat saat masih di bangku SD, paling tidak aku tahu bagaimana
menangkis dan melawan, fisikku tak kalah tangguh dengan Pangeran. Hahaaa
Aku
dan Pangeran mencoba membiasakan diri menyelesaikan semua masalah langsung saat
itu juga, mungkin aku sudah pernah mengatakannya. Seringkali meskipun sudah
sampai tahap tampar menampar, ujung-ujungnya aku yang menangis. Setelah aku
menangis maka Pangeran akan luluh dan barulah emosi kami berdua turun dan bisa
membicarakan semuanya baik-baik. Tapi kadang aku berpikir, lelah jika harus
terus begini, Pangeran tak pernah mau berubah dengan bisa mengendalikan
emosinya.
Kadang
jika aku merasa sedang lelah dan mood
ini tak mendukung untuk menanggapi emosi Pangeran dengan baik dan lembut aku
akan langsung complain lagi. Terlebih
jika Pangeran berkata bahwa ia hanya ingin dimengerti, sontak aku langsung
emosi. Bagaimana bisa jika harus akuuuuu terus yang mengerti, yang mengalah dan
memahami. Aku begitu sering mempertanyakan padanya, mengapa hanya aku yang
harus berusaha memahami, mengapa tidak kamu yang berusaha berubah?
Hingga
suatu hari aku termenung dan memikirkan tentang apa yang telah kami alami
selama ini. Aku yang kadang merasa tinggi, merasa bahwa tak akan mungkin ada
yang tahan dengan tingkahnya jika itu bukan aku, sekarang aku coba berpikir dari
sudut pandang lain. Aku rasa benar adanya bahwa aku adalah redemption bagi Pangeran. Kulihat bagaimana perubahannya yang aku
anggap tak ada, ternyata begitu besar. Sejak saat itu, hingga kini, aku masih
percaya dan terus berusaha bersama. Tak akan lagi aku mempertanyakan usahanya
untuk berubah. I believe we can do this
together..! Suaranya
begitu keras dan lantang saat berteriak. Tangan dan kakinya begitu ringan
melempar atau menendang sesuatu saat marah. Ditambah emosinya begitu mudah
berubah dan meledak-ledak. Ya Tuhan, ada apa ini? Apa salahku? Pangeran
sekarang terlihat seperti Raka, bahkan lebih ganas dan mengerikan lagi. Apa
dosaku setelah keluar dari kandang macan lalu harus masuk ke kandang singa?
Pangeran
ternyata begitu hobi memainkan games
di ponselnya. Saat itu ia begitu terobsesi dengan “Clash of Clans”. Setiap hari ketika bersama ia selalu memegang
ponselnya dan memainkan game itu.
Dulu, sempat aku ingat bahwa Raka juga memainkan game itu, namun aku selalu memarahinya ketika ia terus berkutik
dengan ponsel saat kita bersama, bayangkan jika bertemu hanya satu atau dua
minggu sekali lalu hanya dihabiskannya dengan game, tentu aku akan marah.
Namun
ternyata hal yang sama terjadi padaku dan Pangeran, dan parahnya, karena hampir
setiap hari kami bertemu dan menghabiskan waktu bersama, mau tidak mau aku
harus melihatnya memainkan game yang
harus ia mainkan itu, ya karena baginya itu tanggungjawabnya pada rekan satu clan jadi dia akan tetap bermain jika
sudah tiba saatnya bermain meskipun saat itu ada aku di sampingnya. Tapi aku
pikir itu tak akan menjadi masalah, karena kami hampir setiap hari bertemu,
tentu masih banyak waktu bersamanya, jadi aku biarkan saja dia bermain
sesukanya, selama tak merugikanku maka aku santai saja.
Tapi
ternyata ini bukan soal waktu yang dihabiskan bersama, aku sama sekali tak
cemburu dengan game itu, namun ada
hal lain yang mengganjalku. Ketika berhadapan dengan game ternyata Pangeran menunjukkan sisi lainnya, bukan lagi Pangeran
yang manis dan lucu, tapi ia seketika berubah menjadi Pangeran yang garang dan
sangat kasar, terlebih saat ia harus menghadapi kekalahan saat pertandingan.
Jangan
paksa aku mendeskripsikan bagaimana kemarahan Pangeran, aku sangat tidak
menyukainya, tentu kalian sudah sedikit tahu bagaimana Pangeran saat marah dari
cerita-ceritaku sebelumnya. Ya, dari permainan inilah semua berawal, dan aku
begitu heran Pangeran bisa berubah 180° dari sebelumnya. Awalnya aku hanya
kaget dan sedikit menangis memintanya untuk mengontrol diri dalam bermain game, sampai berbusa mulutku
menasihatinya bahwa permainan itu tidak berhak mendapat perhatian lebih hingga
menguras tenaga, pikiran, dan emosinya. Namun semua itu nihil, percuma dan sama
saja. Terlebih Pangeran telah terlebih dahulu mengenal game itu daripada aku. Ia rela tak tidur semalaman demi tahta akun
permainannya terus meningkat. Layar ponselnya pun sampai rusak dan harus
diperbaiki karena terlalu sering ia banting saat marah.
Kucoba
untuk mempelajari apa yang membuat Pangeran begitu mencintai permainan itu.
Meski aku bukanlah orang psikologi, namun aku mencoba mempelajari gejala jiwa
yang ada pada Pangeran ini. Setelah kucari-cari berbagai referensi, penyebab
seseorang terlalu fanatik terhadap sesuatu hal adalah:
“Hal itulah satu-satunya yang bisa memberikan
kebanggaan pada dirinya.
Sehingga sesuatu itulah yang ia anggap sebagai harga
dirinya.”
Dari
situlah aku tahu kuncinya, Pangeran ternyata belum menemukan Jati Dirinya.
Bukan, bukan jati diri juga, tapi dia hanya salah menempatkan kebahagiaannya
saja. Seharusnya seseorang tidak menggantungkan kebahagiaannya pada siapapun,
bukan games, tim sepak bola, sahabat,
bahkan kekasih ataupun keluarga dekat. Diri kita sendirilah yang bisa memilih
apakah kita akan bahagia atau tidak.
Maksudku,
memiliki perasaan sedih dan kecewa atas seseorang atau sesuatu hal tentu wajar,
namun jika kemudian sedih dan kecewa itu menjadi terlalu berlebihan apalagi
jika diungkapkan dengan hal-hal yang tak benar bahkan melukai diri sendiri atau
orang lain, itu yang menjadi masalah. Iya, kadang jika sudah terlalu emosi
dengan games nya, Pangeran bisa
memukul lantai, pintu, atau bahkan mengadu kepalanya sendiri dengan tembok.
Saat
awal hubungan, yang biasa aku lakukan saat Pangeran emosi ya hanya bisa
terkaget, mencoba menenangkan, dan jika tak mempan maka aku diam dan menangis
sembari memeluknya berharap ia akan menurunkan amarahnya. Tapi lama-lama, aku
seperti menjadi kebal dan kesal. Tak lagi aku kaget, jika dia mulai marah aku
hanya akan meliriknya dengan sinis dan kesal, jika mood ku sedang baik paling aku hanya akan diam dan sedikit
mengomel. Tapi jika tidak, maka aku akan menjadi bumbu pedas untuk sambal.
Iya,
kadang aku terpancing dan ikut emosi melihat tingkahnya, ketika aku complain, yang terjadi adalah emosinya
justru semakin besar dan akan ia salurkan pula padaku. Jika aku sedang dalam
keadaan tak baik (PMS mungkin) maka aku akan menimpalinya. Iya, api bertemu
api, atau mungkin api bertemu bensin, suasana akan semakin panas.
Kalimat-kalimat tak jelas akan bermunculan dari mulut kami berdua.
“Cuma
games kayak gitu dibikin pusing…!!”
“Ini
penting bagiku..!!”
“Penting
mana, aku atau games mu??!!”
“Games nomer satu..!!!”
Yak,
wanita mana yang tak hancur mendengar kalimat itu. Tapi aku pun bodoh, memang
pertanyaan itu tak seharusnya kulontarkan pada Pangeran yang sedang marah.
Bagaimana bisa Pangeran berpikir jernih jika dalam posisi penuh emosi amarah.
Dulu seringkali kami beradu emosi hingga aku yang menangis. Atau bahkan hingga
Pangeran mulai bermain fisik, kami saling menampar, untung tak lebih jauh dari
menampar pipi atau menendang kaki, masih bisa kuatasi, lagian aku dulu pernah
mengikuti Pencak Silat saat masih di bangku SD, paling tidak aku tahu bagaimana
menangkis dan melawan, fisikku tak kalah tangguh dengan Pangeran. Hahaaa
Aku
dan Pangeran mencoba membiasakan diri menyelesaikan semua masalah langsung saat
itu juga, mungkin aku sudah pernah mengatakannya. Seringkali meskipun sudah
sampai tahap tampar menampar, ujung-ujungnya aku yang menangis. Setelah aku
menangis maka Pangeran akan luluh dan barulah emosi kami berdua turun dan bisa
membicarakan semuanya baik-baik. Tapi kadang aku berpikir, lelah jika harus
terus begini, Pangeran tak pernah mau berubah dengan bisa mengendalikan
emosinya.
Kadang
jika aku merasa sedang lelah dan mood
ini tak mendukung untuk menanggapi emosi Pangeran dengan baik dan lembut aku
akan langsung complain lagi. Terlebih
jika Pangeran berkata bahwa ia hanya ingin dimengerti, sontak aku langsung
emosi. Bagaimana bisa jika harus akuuuuu terus yang mengerti, yang mengalah dan
memahami. Aku begitu sering mempertanyakan padanya, mengapa hanya aku yang
harus berusaha memahami, mengapa tidak kamu yang berusaha berubah?
Hingga
suatu hari aku termenung dan memikirkan tentang apa yang telah kami alami
selama ini. Aku yang kadang merasa tinggi, merasa bahwa tak akan mungkin ada
yang tahan dengan tingkahnya jika itu bukan aku, sekarang aku coba berpikir dari
sudut pandang lain. Aku rasa benar adanya bahwa aku adalah redemption bagi Pangeran. Kulihat bagaimana perubahannya yang aku
anggap tak ada, ternyata begitu besar. Sejak saat itu, hingga kini, aku masih
percaya dan terus berusaha bersama. Tak akan lagi aku mempertanyakan usahanya
untuk berubah. I believe we can do this
together..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar