“Cinta
itu kayak marmut lucu warna merah jambu, yang berlari di sebuah roda, seolah
berjalan jauh, tapi nggak ke mana-mana, nggak tahu kapan berhenti ku jatuh
cinta.” – The Nelwans
Lagu
marmut merah jambu ost salah satu film Raditya Dika. Jujur, saat menulis lirik
lagu di atas, senyum terus menerus tersungging di wajahku. Bukan, bukan karena
aku fans Raditya Dika (he’s awesome, but
I’m not a fanatic fan of him). Lagu ini juga bukan lagu favorit yang sering
aku nyanyikan bersama seseorang yang aku sayang. Tapi memang ada momen
tersendiri yang membuatku selalu merasa sumringah. There’s a song that will remind you to a moment in your life. Yupp,
entah karena lagu itu sedang pas dengan situasi dan kondisi, atau mungkin ada
peristiwa penting saat lagu itu sedang booming, pasti kita akan dibawa pada
ingatan suatu masa jika kita mendengarkan suatu lagu. Dan hal yang sama terjadi
padaku, apalagi aku ini orangnya sangat baper terhadap lirik lagu, bagiku
cerita dalam suatu lirik lebih penting daripada indahnya melodi lagu tersebut.
Oke,
setelah Pangeran menghilang secara perlahan, aku tak pernah lagi berpikiran
untuk sekedar menyapa melalui chat. Aku selalu berpikir bahwa manusia hidup
memang hanya berdasarkan asas kebermanfaatan. Alias mereka tidak akan datang
padamu jika tidak menginginkan sesuatu darimu. Mungkin itu aliran yang sedikit
jahat. Pasti akan ada banyak dari kalian yang tidak setuju, tapi itu terserah
saja, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda termasuk aku. Jadi, aku
adalah golongan orang yang tidak terlalu suka menyapa seseorang melalui pesan
secara tiba-tiba dengan hanya ingin mengetahui kabar mereka termasuk Pangeran.
Saat itu aku pikir mungkin dia hanya akan menjadi sebuah catatan kecil saja
dalam hidupku, tidak ada yang spesial. Namun semua bisa berubah begitu
cepatnya, kadang sampai saat ini aku masih begitu heran.
Singkat
cerita aku menyudahi hubunganku dengan Raka, tidak perlu lagi kuceritakan
bagaimana karena dia benar-benar sudah terkubur bersama masa lalu, jangan buat
aku harus lelah menggali hanya untuk bercerita tentang dirinya, karena hanya
rasa sakit yang tersisa meski sudah lama (better
if you read my first story about him). Suatu malam datang, malam itu adalah
titik balik kebangkitanku setelah sakit dan terlunta-lunta. Saat itu, layaknya
banyak remaja, kadang jika memang sedang tak ada kegiatan, aku hanya terbaring
di atas tempat tidur, menggenggam ponsel dan hanya sekedar memainkan social
media. Buka facebook, scroll scroll, tutup, buka twitter, scroll scroll, tutup,
begitu membosankan. Namun siapa sangka apa yang akan terjadi setelah kebosanan itu
melanda.
Tanpa
ada maksud aku mengganti Display Picture BBM
ku. Aku memang bukan tipe seseorang yang sering update status dan
menggonta-ganti foto. Aku rasa memang DP ku sudah sangat lama tidak aku ganti,
sampai pada malam yang begitu membosankan itu aku mengganti DP dengan salah
satu foto ketika aku berada di Museum Angkut di Malang, kalian pasti tahu kan.
Tidak lama setelah au mengganti foto, tiba-tiba HP bordering. Dan ternyata itu
pesan dari Pangeran. What?! Aku
bahkan hampir lupa bahwa pernah ada sedikit catatan kecil tentangnya karena
terlalu lama kami tak saling menyapa. Tanpa disangka dia kembali muncul.
Awalnya dia hanya sedikit mengomentari foto yang baru saja aku pajang.
“Kayak
pernah tau.”
Haa?
Aku berpikir, apa maksudnya? Atau mungkin dia sedang berkomentar tentang latar
belakang fotoku, Museum Angkut itu. Jadi aku balas saja,
“Hehee,
iya, Museum Angkut.”
Dan
ternyata aku salah sangka, mungkin aku terlalu polos. Heheee
“Kok
Museum Angkut. Yang baju biru itu lho maksudku.”
“Hehee,
oalah, aku to. Emang kenal? ^_^”
Dan
kami pun kembali saling berbalas pesan, basa-basi ke sana dan ke mari. Aku
mulai nyaman, karena dia tidak menggunakan Bahasa Indonesia baku maupun Bahasa gaul
sok manis yang umumnya digunakan para pria untuk PeDeKaTe. Kalian tahu sendiri
kan bagaimana para pria berbahasa ketika sedang berniat mendekati seseorang,
kadang banyak yang kelewat sok manis dan bahkan agresif, jadi bukan lagi
tertarik dan klepek-klepek malah justru risih. Buat kalian para pria, jangan
alay, yang sedang-sedang saja justru membuat kita para gadis lebih nyaman. Dan
pangeran membuatku nyaman berkirim pesan dengannya, karena dia menggunakan
Bahasa Jawa ngoko yang biasa digunakan sehari-hari (Tapi aku tulis translate nya ke Bahasa Indonesia di
sini). Benar-benar Bahasa Jawa, jadi aku pun merasa nyaman, tidak ada pikiran
bahwa dia sebenarnya dalam rangka mendekatiku lagi. Aku pun menjadi santai
dalam menanggapinya layaknya sedang chat
dengan teman sendiri.
Tidak
perlu waktu terlalu lama untuk sekedar berbasa-basi, dan akhirnya BOOM.!!!!
Final question kembali dikeluarkan, kalian pasti tahu kan.
“Ayok
keluar yok, nongkrong gitu. Eh, tapi nanti ada yang marah ding ya. Hahaa”
Dan
jawabanku mungkin membuatnya menjadi on
fire. Hahaaa
“Gak
ada, aku udah putus.”
Daaaan,
kalian pasti tahu bagaimana kelanjutannya. Pangeran mungkin menjadi semakin
semangat dengan jawabanku. Namun dia tidak terlihat begitu menggebu-gebu
sekali. Dia hanya menanggapi dengan santai seperti biasanya.
“Iya
po? Sejak kapan?”
“Yaa
kira-kira sebulan ini. Cuma aja sekarang lagi deket sama temen sekelas.”
Aku
coba menjawab seperti itu, entah apa yang ada di pikiranku saat itu, kenapa aku
harus jujur bercerita ada yang lain yang sedang dekat denganku. Tapi ya salah
sendiri, dia membuatku nyaman sebagai teman tanpa ada prasangka bahwa dia ingin
lebih dekat. Jadi buat kalian para cowok, jangan terlalu santai dan biasa, kita
pun jadi bingung mengartikan. Perempuan itu sensitive, kami tau jika sebenarnya
kalian ada rasa dan sedang berusaha, namun jika usaha kalian tidak terlalu
terlihat kami pun tidak berani untuk terlalu mengiyakan, jadi jangan salahkan
kami jika kadang kami bersikap cuek. Setelah aku jawab seperti itu, Pangeran
pun tetap santai melancarkan aksinya.
“Oalah.
Tapi baru deket kan, artinya kalau kita ke luar cuma untuk sekedar nongkrong
gak salah kan?”
“Ya
gakpapa sih.”
Yupp,
meskipun begitu, meskipun aku juga sedang dekat dengan Mamat saat itu, tapi
kami tidak sedang dalam ikatan. Di sinilah aku kemudian mulai dilanda dilema,
apakah aku harus mempertahankan ketidakpastian Mamat, atau aku berani membuka
hati untuk yang lain. Setelah aku pikir, aku wanita, setidaknya aku butuh
kepastian komitmen. Sebelumnya saja yang memang sudah berkomitmen bisa kandas,
apalagi yang tidak ada, bagaimana bisa aku meminta tanggung jawabnya untuk
berperan sebagai seorang pendamping. Jadi aku putuskan saja untuk berani
sedikit membuka hati.
“Kalo
gitu ayok, malam ini bisa?
“Wahh
kalo malam ini gak bisa kayaknya, gak tau sih. Nanti Mamat mau dateng, aku
minta tolong buat beliin air galon soalnya. Kalo dia masih mampir ngajak
ngobrol ya gak bisa ke luar berarti.”
“Oalah,
yaudah kalo gitu besok aja.”
Aku
masih sangat ingat malam itu adalah hari Kamis. Tidak lama Mamat datang membawa
seperangkat raket untuk kegiatan badminton rutinnya. Dia datang untuk mengambil
galon kosongku dan dia mengantarkanku untuk membeli air galon. Setelah dia memasang
galonnya di dispenser kamarku, kemudian dia langsung pamit untuk pergi
badminton. Iya, dia langsung pergi, kami tidak mengobrol lama. Namun saat itu
aku sedikit berbohong pada Pangeran untuk berkilah agar kami tidak jadi ke luar
malam itu. Bagaimana ya, aku belum bisa benar-benar yakin untuk membuka hati.
Selain masih trauma dan sedang dekat dengan Mamat, aku pun masih belum mengenal
sosok asing yang belum pernah kutemui sebelumnya ini. Aku terkadang takut untuk
bertemu dengan orang baru. Bagaimana nanti ketika kita sudah bertemu, apa yang
harus aku bicarakan, secara aku belum tahu latarbelakangnya, tidak mungkin jika
aku banyak bercerita tentang diriku sendiri. Ketakutan terbesar adalah jika
situasi menjadi “krik krik” dan kami salting. Akan jadi sangat tidak nyaman,
aku masih belum siap.
Meskipun
kami tidak jadi bertemu malam itu, satu malam itu menjadi lebih manis rasanya.
Kami terus saling berkirim pesan semalaman. Aku jadi merasa semakin nyaman,
apalagi dengan gaya bahasanya, Bahasa Jawa ala rumah, karena kami ternyata
berasal dari kota yang sama. Malam itu hari Kamis, artinya adalah Malam Jum’at,
dan kegiatanku malam itu adalah berbaring di tempat tidur dengan selimutku yang
nyaman menutup badan dengan tayangan “Masih Dunia Lain” yang aku tonton dengan
situasi kamar gelap karena aku matikan lampunya, karena dulu aku lebih suka
tidur dengan kondisi lampu mati. Bayangkan saja bagaimana ngerinya malamku saat
itu, namun tidak sengeri biasanya. Aku memang terbiasa menikmati tontonan itu,
namun saat itu dibarengi dengan chat
dari Pangeran yang terus masuk. Kami masih terus berbalas pesan sampai larut. Dan
ternyata dia juga menonton acara yang sama, jadi merasa lebih dekat jika
ternyata dia menyukai hal yang sama. Hahaaa. Dia menemaniku sampai acara
selesai dan aku tertidur. Iya, aku memang sangat gampang tertidur, tanpa ada
niatan tidur pun jika posisi sudah pas aku bisa langsung tidur.
Keesokan
harinya, pagi kulalui seperti biasa, kuliah. Tapi hari itu seingatku tidak ada
banyak jadwal, jadi aku pulang ke kost bahkan sebelum waktu sholat Jumat. Dan
ternyata tidak berhenti sampai tadi malam, pagi itu Pangeran masih mengirim
pesan padaku saat dia bangun tidur katanya.
“Hoaamm,
ngantuk.”
“Gak
kuliah po?”
“Belum
masuk. Dosennya belum dateng.”
“Kok
tau.”
“Biasa,
anak buah laporan.”
“Ya
mbok mandi dulu, siap-siap, ditunggu di kampus.”
Tidak
beberapa lama kemudian,
“Aku
mandi dulu, trus berangkat kuliah, dosennya udah dateng.”
What?! Really?!
Aku pikir kami masih pada tahap pendekatan, tapi bagaimana mungkin dia begitu
beraninya memperlihatkan sisi buruknya. Tidak terlalu buruk juga sih, tapi kan
biasanya jika pedekate pasti mereka akan mengungkapkan kebaikan-kebaikannya
saja agar kita kagum. Tapi Pangeran begitu berbeda, namun aku jadi semakin
penasaran dengan perilakunya yang tidak biasa dilakukan pria saat pedekate itu.
Hmmm
Tidak
lama kemudian dia laporan bahwa dia sudah pulang dan berada di kost. Aku mulai
yakin dia benar-benar ingin mendekatiku, karena dia mulai melapor tentang apa
yang ia lakukan, padahal aku masih belum menjadi siapa-siapanya, dan aku pun
tidak masalah apa pun yang ingin dilakukannya di luar sana. Namun dia sudah
seperti yakin bahwa aku butuh informasi tentang apa saja yang dilakukannya.
Hahaa, dasar kepedean. Tapi aku sendiri merasa lebih dihargai memang jika
seperti itu, berarti dia menganggapku meski kami belum sedekat itu.
“Tidur
ah.”
“Heh
ngawur, kalo ketiduran gimana, kan mau Jum’atan.”
“Gak,
gak.”
“Yaudah”
Setelah
itu dia menghilang, mungkin dia benar-benar tidur. Setelah beberapa saat dia
kembali mengirim pesan. Dan, aku semakin berpikir betapa anehnya anak ini.
“Ketiduran,
gak bangun Jum’atan.”
“Ya
ampun, bener kana pa kataku. Ngeyel sih. Tau gitu tadi aku bangunin, aku pikir
emang kamu udah pergi Jumatan.”
“Hehee,
terus aku ngumpet di lantai 3, jadi gak ketahuan anak-anak kos kalo aku gak
Jumatan.”
Gila,
ini anak benar-benar gila. Dengan santainya dia menceritakan kejelakannya
padaku. Apa dia tidak takut aku akan illfeel
dan malah menjauh? Apa jangan-jangan memang dia sengaja ingin mengetesku saja?
Aku jadi heran. Tapi justru karena aku penasaran kemudian hubungan kami tetap
aku lanjutkan.
“Nanti
malem bisa ke luar?”
“Duh,
aku nanti malem ada janji sama temen-temen. Ada temen dateng dari Surabya sama
Padang. Jadi yang nemeni mumpung di sini, besok mereka pada pulang soalnya.
Sorry ya.”
“Ooh
iya gakpapa, besok masih ada waktu.”
Sabar
banget ini anak, tetap tabah meski sudah kutolak dua kali ajakannya untuk ke
luar. Tapi kali ini aku benar-benar jujur, aku memang sedang ada janji waktu
itu. Jadi yasudahlah, gagal lagi untuk bertemu Sang Pangeran. Malam harinya aku
memang bersama teman-teman nongkrong di salah satu spot tongkrongan Jogja, kami
duduk-duduk di area Monumen Serangan 1 Maret di titik 0km Jogja. Tidak banyak
yang kami lakukan, hanya bersenda gurau, bernyanyi bersama diiringi gitar,
dengan beberapa bungkus kacang rebus dan segelas kopi hangat, menikmati malam
di Jogja. Dan aku masih tidak terlepas dari Pangeran, kami masih terus
berkomunikasi.
“Aku
masih di 0km, abis ini mau makan di angkringan daerah Wijilan. Kalau BBM aku
gak bisa berarti HP ku mati, ini baterai low bat. Paling tengah malem nanti aku
baru pulang. SMS aja gimana?”
“Oke,
nomermu berapa?”
“089xxxxxxxx”
“Okesip”
Sebenarnya
aku sedikit mengadu nyali saat mengaku selarut itu hampir pukul 00.00 aku masih
berada di luar. Aku takut di cap tidak baik, tapi aku jujur saja, karena memang
aku tidak melakukan hal aneh di luar sana. Tapi aku lihat responnya tidak
terlalu kaget dan merasa aku melakukan hal jelek.
Yak,
aku rasa sebuah fase pedekate yang diawali dari media sosial memang menjadi one step closer jika sudah saling mengetahui
nomor telepon. Entah iya atau tidak menurut kalian, tapi menurutku ketika kita
bisa berkomunikasi di saat sedang off
line dari medsos rasanya jadi lebih dekat. Dan benar, ketika HP ku mati dia
mulai mengirim SMS. Sewajarnya seorang pria, dia hanya menasihatiku saja agar tidak
pulang terlalu pagi. Meski hanya bereaksi seperti itu, aku yakin sebenarnya
dalam hatinya dia tidak suka. Hahaa. Kami pun terus saling mengirim SMS sampai
aku pulang ke kos dan tertidur.
Hello Saturday,
jadi deg-deg an pagi itu saat aku terbangun. Sudah dua kali ajakannya untuk
bertemu aku tolak, saat itu malam Minggu, apakah dia akan tetap mengajakku
bertemu ataukah dia akan menyerah? Entahlah, tapi HP mulai bordering, dia masih
mengiriku pesan. Kami saling berbalas chat
sampai akhirnya dia masih memberanikan diri untuk mengajakku bertemu.
“Malam
ini masih ada acara? Kalo ke luar bisa gak?
“Gak
ada kok, malam ini free. Boleh
boleeh.”
“Oke,
nanti aku jemput ya. Kost mu mana tepatnya?”
Tanpa
berpikir terlalu panjang aku iyakan saja ajakannya. Aku merasa tidak enak hati
jika harus menolaknya lagi. Dan ternyata dia masih berusaha meski sudah
mengalami penolakan berulang. Aku pikir berarti dia ada sedikit keseriusan
untuk mendekatiku. Sore pun datang, namun hujan mengguyur cukup deras saat itu.
Benar saja, saat itu adalah bulan April, jadi wajar jika setiap hari hujan
turun. Aku berpikiran, apa iya janji malam ini akan batal lagi jika hujan terus
turun? Hmmm
“Hujan
e.”
“Iya,
lha gimana enaknya?”
“Ya
tunggu aja kalau jam 8 nanti udah gak hujan ya tak jemput.”
“Emang
mau ke mana nanti?”
“Gampang
lah, pikir nanti, yang penting hujannya berhenti dulu.”
Dengan
mengharap hujan berhenti, kami masih terus berkirim pesan. Selain itu aku sibuk
memilih baju apa yang akan aku pakai. Aku sebenarnya agak cuek dalam
berpenampilan, yang penting aku nyaman ya aku pakai, tapi hari itu mendadak aku
bingung mau pakai apa. Rasanya aku tidak ingin salah kostum, tapi aku
pikir-pikir lagi, jika aku terlalu berlebihan pasti juga akan terlihat aneh. Jadi
aku putuskan saja untuk berpenampilan seperti biasa, toh paling hanya akan
nongkrong entah di mana. Aku pakai kaos jersey
Real Madridku yang berwarna pink cerah (yang ini beli sendiri, bukan hadiah
dari Raka, Hahaa), karena kaosnya lengan pendek, aku memakai cardigan warna
hitam, kemudian aku pakai celana jeans berwarna
abu-abu, dan aku pakai kerudung segi empat berwarna pink soft. Dengan tas kecil berbentuk bulat garis-garis berwarna coklat
aku siapkan segala isi tas yang biasa aku bawa.
“Situ
masih hujan gak?”
“Udah
gak, cuma grimis dikit, jadi?”
“Jadi,
tunggu ya, aku berangkat jemput.”
“Oke,
ati-ati.”
Yakk,
jantung mulai berdebar. Karena hal semacam ini rasanya tidak sering aku lalui.
Aku biasa jatuh cinta dengan orang yang memang sudah aku kenal atau yang berada
di satu lingkungan denganku, bukan dengan seseorang yang sama sekali asing
bagiku. Bismillah lancar. Hahaaa.
Aku
menunggu di depan kost, dan seseorang berpawakan kurus, agak tinggi, kulit sawo
matang, dengan kaos polo merah marun, celana jins gelap, tas kecil, menaiki sebuah
motor sc**py berhenti di sebrang jalan. Ia berhenti dan mengeluarkan HP nya,
kemudian aku menghampirinya, langsung saja aku megulurkan tangan dan
menyalaminya.
“Putri.”
“Pangeran.”
“Hmmm,
mau ke mana kita?”
“Kalau
nobar mau gak?”
“Nobar
apa?”
“MU
vs Chelsea.”
“Boleh.”
Aku
pun menaiki motornya, dan kami pergi menuju tempat yang dituju, meski aku tidak
tahu di mana tepatnya karena tidak aku tanyakan. Di jalan kami sedikit
mengobrol untuk sekedar basa-basi saja. Sampailah kami di sebuah café, sebelumya aku juga sudah beberapa
kali ke tempat itu, jadi sudah tidak asing. Sesampainya kami di sana ternyata
dia tak sendiri, kami menghampiri sebuah meja di mana sudah ada tiga orang pria
di sana, ternyata mereka adalah teman-teman Pangeran. Oh My God, pertama bertemu ternyata tidak hanya kami berdua, tapi
dia beramai-ramai. Alamaaak.
Meskipun
agak aneh tapi aku berusaha santai dan membaur dengan mereka. Setelah memesan
minuman aku mulai ngobrol dengan Pangeran. Dari obrolan kami akhirnya terkuat
bahwa dia tinggal tidak jauh dari rumahku, kami hanya beda desa, bahkan dulu
kami bersekolah di TK yang sama meski saat dia masuk aku sudah lulus. Obrolan
pun semakin asik karena kami mulai membahas banyak hal. Dan ternyata dia pun
begitu humoris, aku banyak tertawa karena guyonannya dan teman-temannya. Kami
mengobrol tanpa henti, selalu sambung menyambung, tak pernah ada sedikit pun
kesempatan untuk krik-krik dan membuat salting. Aku tidak menyangkan, kami
bersenda gurau layaknya sudah saling mengenal lama sebelumnya. Benar-benar
tidak terasa bahwa dia sebenarnya adalah orang asing yang belum pernah aku
kenal.
Tak
terasa pertandingan sudah dimulai, kami pun bergeser posisi untuk menghadap ke
layar. Sesekali aku mengecek HP ku dari dalam tas, saat aku mulai membuka HP
Pangeran terlihat menengok kea rah HP ku. Aku pikir kepo sekali ini anak dengan
apa yang ingin aku lakukan, tapi aku membiarkannya saja, toh tidak ada yang
perlu kurahasiakan.
Kami
fokus menonton bola, meskipun aku tidak begitu mengikuti bola, namun jika suatu
waktu aku harus mengikuti sebuah pertandingan aku akan serius dan bahkan bisa
terbawa. Jadi aku tidak merasa bosan jika memang harus menonton, apalagi jika
MU dan Chelsea saja aku masih sedikit tahu karena mereka memang terkenal di
kalangan orang awam bola. Saat sedang fokus, sesekali Pangeran menyanyi-nyanyi
lirih,
“Cinta
itu kayak marmut lucu warna merah jambu.”
Sekali
dua kali dia menyanyikan reff lagu itu, aku baru sadar bahwa bajuku warna merah
jambu alias pink. Dan kalian tahu aku sensitive terhadap lirik, mungkin saja
dia menyanyikan lagu itu memang karena sedang suka lagunya, tapi aku pun tetap
saja baper dan merasa lagu itu untukku sehingga aku merasa berbunga-bunga dan
senyum-senyum sendiri. Aaaaah, aku kembali merasakan bunga-bunga itu lagi dalam
hatiku, padahal aku sudah hampir lupa bagaimana rasanya, tapi ternyata meski
sudah bukan ABG lagi aku masih bisa merasakan bahagianya. Aku pun belum bisa
berkata bahwa aku sudah mulai mencintainya, tidak secepat itu memang, tapi
setidaknya benih-benih itu mulai muncul. That’s
why kadang jika mendengar lagu itu sampai saat ini aku masih bisa merasakan
euphoria hatiku saat itu.
Sepanjang
pertandingan meski kami fokus menonton, sesekali kami saling menatap dan
tersenyum. Entah, meski saat itu situasi begitu riuh namun aku masih bisa
merasakan sisi romantisnya. Sesekali kami juga masih mengobrol membicarakan
berbagai macam hal sampai pertandingan selesai. Kemudian beberapa orang
tiba-tiba datang.
“Penuh
Men, kita duduk di mana, gak ada tempat.”
“Ah
masa?”
“Ya
udah terserah kalian mau ke mana nanti aku menyusul.”
Mereka
berbicara dengan Pangeran. Aku pun bertanya-tanya siapa mereka. Mereka terlihat
seperti orang Jawa karena mereka berbicara menggunakan Bahasa Jawa ala kami,
dan mereka tidak saling menyapa dengan kawan-kawan Pangeran yang sudah ada di
situ. Aku simpulkan berarti itu teman Pangeran yang lain. Mereka pun kemudian
pergi.
“Siapa?”
“Ya
itu tadi si Deny, anak Bu Mia, guru TK kita. Sekampus sama aku, tapi beda
jurusan.”
“Oalah
gitu to.”
Kami
lanjut berbincang-bincang dan tertawa. Kemudian Pangeran mengajakku berdiri dan
kami pun pergi ke café sebrang jalan. Ternyata kami mau menghampiri
teman-temannya tadi. Setelah masuk, kami menemui mereka, kami duduk se meja,
aku dan Raka memesan minum. Mereka pun ngobrol, sesekali aku pun diajak
ngobrol. Ternyata mereka juga berasal dari Kota yang sama denganku, mereka
semua sedang menempuh pendidikan di Jogja. Mereka begitu akrab, namun aku tidak
terlalu suka karena mereka terkesan agak kasar bagiku. Setelah lewat tengah
malam pun kami akhirnya kembali ke café awal untuk pulang. Sssstt, yang sampai
sekarang aku sesali adalah, mereka tadi memesan sepiring penuh kentang goring dan
tidak mereka habiskan, padahal aku sangat suka tapi aku malu jika makan banyak
di pertemuan pertama. Heheee
Setelah
sampai di depan café, terlihat kawan-kawan Pangeran tadi berusaha menyalakan
sebuah motor Var*o berwarna putih ungu. Terlihat sangat susah, kemudian
Pangeran yang mencoba dan akhirnya hidup. Kemudian kami pun pulang dengan
situasi grimis dan dingin.
“Itu
tadi motor siapa?”
“Motorku.”
“Hloh,
lha ini?”
“Motor
cungkring tadi.”
“Kok
kita gak pake motormu?”
“Panjang
ceritanya.”
“Oooh,
kok kamu gak pake jaket sih, gak dingin?”
“Gak
kok.”
Bohong
banget ding itu, sok kuat aja pasti. Aku saja yang memakai jaket masih merasa
dingin. Hahaaa. Aku pun diantar pulang ke kost dan dia langsung pamit.
Sesampainya di kost dia mengirimiku chat
selamat tidur. Hmmmm, saat itu pun aku penasaran apa yang akan terjadi besok,
bagaiamana first impression tentangku
menurutnya, apakah dia kapok atau bagaimana. Dengan bertanya-tanya aku pun
tertidur dan menunggu waktu esok untuk menjawabnya.
#ToBeContinued #GambarBukanHakMilikPenulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar